Tinjauan Beberapa Tradisi dan Budaya di Madura
Istilah tradisi sering digunakan dan dijumpai dalam berbagai literatur, seperti tradisi Madura, tradisi Jawa, tradisi Keraton, tradisi Petani, dan tradisi Pesantren. Di Indonesia sendiri, tradisi berarti segala sesuatu seperti adat, kebiasaan, ajaran dan sebagainya, yang turun-temurun dari nenek moyang, atau segala sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu ke masa sekarang. Secara umum tradisi dimaksudkan untuk menunjuk kepada suatu nilai, norma dan adat kebiasaan yang berbau lama dan hingga kini masih diterima, diikuti bahkan dipertahankan oleh kelompok masyrakat tertentu.[1]
Hassan Hanafi
memberikan pengertian tradisi sebagai semua warisan masa lampau yang sampai
kepada kita dan masuk ke dalam kebudayaan yang sekarang berlaku. Dalam teori
lain dikatakan bahwa tradisi lahir melalui dua cara. Pertama, muncul dari bawah
melalui mekanisme kemunculan secara spontan dan tak diharapkan serta melibatkan
rakyat banyak. Sedangkan yang kedua, muncul dari atas melalui mekanisme
paksaan. Sesuatu yang dianggap sebagai tradisi dipilih dan dijadikan perhatian
umum atau dipaksakan oleh individu yang berpengaruh dan berkuasa.[2]
Sebagian besar masyarakat di Indonesia mempercayai bahwa
kehidupan manusia selalu diiringi dengan masa-masa kritis, yaitu suatu masa
yang penuh dengan ancaman dan bahaya. Masa-masa itu adalah peralihan dari
tingkat kehidupan yang satu ke tingkat kehidupan lainnya (dari manusia masih
berupa janin sampai meninggal dunia). Oleh karena masa-masa tersebut dianggap
sebagai masa yang penuh dengan ancaman dan bahaya, maka diperlukan adanya suatu
usaha untuk menetralkannya, sehingga dapat dilalui dengan selamat. Usaha
tersebut diwujudkan dalam bentuk upacara yang kemudian dikenal sebagai upacara
lingkaran hidup individu yang meliputi: kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan
kematian. Tulisan ini terfokus pada upacara masa kehamilan yang disebut sebagai
pelet kandhung atau pelet betteng (pijat perut) pada masyarakat Madura,
Masyarakat
Madura mempunyai banyak tradisi yang sampai detik ini masih terjaga kelestariannya.
Tradisi yang tetap eksis, yakni anatara lain tradisi Lamaran/Pertunangan,
tradisi Toron Tana, tradisi Tahlilan,
dan tradisi Pelet Kandung/Pellet Petteng.
Pertama; Pinangan (meminang/melamar)
atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju
pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah
perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan
pengantar kesana. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan
pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki
terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.
Kedua; Toron Tana (Turun Tanah). Entah budaya ini
berasal dari mana, upacara Toron Tana merupakan kepercayaan masyarakat
Madura yang belum bisa ditinggalkan. Bahkan ada beberapa orang tua yang tidak
meletakkan putra-putrinya di tanah sebelum dilakukan upacara Toron Tana.
Beberapa peralatan yang diperlukan dalam upacara Toron
Tana antara lain bubur dan tanah yang dibungkus daun pisang yang dibuat Takèr,
selanjutnya diletakkan di atas telanan atau nampan. Selain itu, juga
diletakkan buku, Al-Qur’an, Sisir, bolpen, baju, songkok, makanan pokok dan
lainnya dalam satu wadah.
Ketiga; Sebagai salah satu suku yang kaya akan tradisi,
Madura memaknai setiap fase kehidupan manusia. Termasuk juga fase kematian.
Selain kewajiban memandikan, mengkafani, menshalatkan dan mengubur, masyarakat
Madura juga ‘memiliki kewajiban’ alalabet (melayat).
Mungkin bagi masyarakat kota, melayat itu cukup hari saat
kematian. Tapi bagi masyarakat Madura desa, melayat itu berlaku sampai 7 hari.
Sehingga ada istilah 7 harian, 40 harian, 100 harian, satu tahun, dan 1000 hari
mengenang kematian seseorang.
Selama 7 hari termasuk hari kematian, biasanya di rumah duka
dilaksanakan tahlilan bagi kaum laki-laki sekitar. Sedangkan kaum ibu-ibu
melayat dengan cara membawa jenis sembako. Jenis sembako yang paling umum
dibawa ialah beras.
Keempat; ritual
pelet kandung atau tingkepan yang dilakukan pada kehamilan pertama. Seiring
berkembangnya zaman, tradisi syukuran tujuh bulan usia kehamilan atau yang
biasa disebut ‘Pelet Betteng’ di Pamekasan, Madura, Jawa Timur masih
tetap dilestarikan. Beberapa ritual keagamaan, seperti membaca salawat dan
tahlil bersama serta ritual memandikan sang ibu dengan kembang tujuh rupa menjadi
kepercayaan masyarakat untuk mendoakan sang bayi yang masih berada dalam
kandungan.
A. Tradisi Lamaran atau Peminangan
1. Pengertian Lamaran
atau Peminangan
Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa
Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut
bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah
(pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan
proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki
atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.
Khitbah adalah pendahuluan (langkah awal)
dalam proses menuju pernikahan yang telah disyariatkan dalam agama, sebelum
disatukan dengan akad pernikahan, agar masing-masing dari calon mempelai
mengetahui calon pendampingnya, dan selanjutnya melaju kejenjang perkawinan
dengan mengetahui hal-hal yang dianggap perlu.[3]
Meminang berarti menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang
laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang
yang dipercayai. Meminang dengan cara tersebut dibolehkan oleh agama Islam
terhadap gadis atau janda yang telah habis iddahnya, kecual perempuan yang
masih dalam iddah ba’in sebaiknya dengan cara sindiran saja.[4]
Seluruh kitab/kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar)
dan"zawaj" (kawin/menikah), adat/kebiasaan juga
membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah
menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua istilah
tersebut.
Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan untuk
menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan)
merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai
batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.
Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan
dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang
intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan
ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal penting yang
perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti
menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka
sudah menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah)
belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki
maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh
syariat.
Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah
jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah
sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan
saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal
dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada
takdir Allah yang menghendaki lain.
Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak
lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun
keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan
hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya
2. Macam-macam alat dan makna yang
digunakan dalam tradisi lamaran atau pinangan
a)
Lamaran adalah pertemuan kedua keluarga besar dimana salah satu dari kedua
anggota keluarganya saling ingin rasanya saling mengenal antara si laki-laki
dan perempuan dari kedua keluarga. Dan ada hubungan saling mengikat yang harus
dijaga, biasanya ditandai dengan cincin yang melingkar di telunjuk manis si
perempuan itu tandanya sudah ada yang punya.
b) Cincin
: symbol atau tanda pengikat antara laki-laki dengan perempuan yang di
lamarnya.
c) Pinang
: merupakan buah-buahan yang harus ada di acara lamaran, itu menandakan jika
pinagnya masih muda atau berwarna hijau itu tandanya proses menuju ke
pelaminan/pernikahan masih lama, sedangkan jika pinangnya sudah tua atau
berwarna kuning kemerah-merahan itu tandanya proses kejenjang pernikahan akan
segera dilaksanakan.
d) Sirih
: merupakan daun-daunan yang berkhasiat bisa dikatakan daun sirih merupakan
jamu mujarap sebagai jamu agar si perempuan subur ketika sudah menikah nanti
e) Pisang
: ada yang mengatakan sebagai penanda alat kejantanan laki-laki, dan ada juga
yang mengatakan karena pisang merupakan buah yang pohonya tumbuh terus walupun
mati akan tumbuh pohon lagi disampingnya Karena itulah pohon pisang merupakan
pohon yang tumbuh subur, dan rezekinya akan tumbuh dan lancar.
f)
Jajan atau kue :
kocor, merupan kue yang menandakan
sebagi alat kemaluan si perempuan, tettel
dan bejhi’, merupakan kue yang lama
proses pembuatannya agar hubungan tali kasih sayangnya selamanya dan merupakan
kue yang paling erat dan lengket supaya hubungan keduanya lengket selamnya, dan
masih banyak lagi yang harus ada hanya saja sebagian hanyalah jajan formalitas
saja.
3. Respon
atau Tanggapan Tokoh Ulama, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Budayawan Mengenai
Tradisi Pertunangan di Pamekasan
a) Kyai
H. Sirajuddin mengatakan; mengenai tradisi pertunangan/lamaran yang terjadi di
masyarakat pedesaan Pamekasan ini sudah biasa terjadi, ketika proses menuju ke
jenjang pernikahan biasa mengadakan suatu acara lamaran yang dimana pada proses
lamaran tersebut pihak keluarga si laki-laki itu datang kerumah pihak perempuan
untuk melakukan upacara nale’e pagher (mengikat
pagar) ke keluarga perempuan, acara ini biasanya membawa jajan seperti leppet, tali yang diikat sewaktu membuat
lepat dianggap sebagai lambang penyengset
(pengikat), tetel, bejhik dianggap
sebagai jajan yang lengket dan proses pembuatannya lama sehingga dikatakan biar
hubungannya semakin lengket dan berjalan sangat lama hubungan tali kasih
sayangnya. Pisang menandakan kejantanan sang laki-laki dan kocor menandakan kemaluan si perempuan, sedangkan penang sama sere itu, jika penangnya yang dibawa masih muda itu menandakan
proses menuju ke jenjang pernikahannya masih lama sedangkan kalau yang dibawa
penangnya sudah tua itu menandakan proses ke jenjang pernikahan akan segera
dilakukan. Cincin itu sebagai tanda bukti pengikat kalau si perempuan sudah diikat
oleh suatu hubungan atau bisa dikatakan sudah ada yang punya. Sebaliknya
keluarga pihak perempuan datang kerumah pihak laki-laki untuk tongkebbhan (napoe lolos) dan biasanya juga di tandai dengan membawa kue atau jajan.
b) Haris
Ahmadi engatakan hal yang sama dengan pendapat yang diatas hanya saja dia
mengatakan jajan atau kue itu hanyalah kebiasaan masyarakat pedesaan Pamekasan
terdahulu untuk membagi-bagikan kue kepada tetangga dan kebiasaan tersebut
mungkin dibawa ketika acara lamaran terjadi. Ketika terjadi pertunangan pasti
akan ada kata matuah, bisan dan mantoh. Matuah berarti hormat papadeh ka oreng tuanah dhibik, bisan berasal dari kata bi-ihsan yang berarti saling berbuat
kebaikan agar baik selamanya, dan mantoh itu
berarti panyaman aberrik potoh. Dan
memaklumatkan (pengumuman) kepada tetangga bahwa mereka sudah sah bertunangan.
c) Muhammad
Elman mengatakan lamaran adalah suatu proses pengikatan seorang laki-laki
dengan seorang perempuan yang diikat oleh sebuah cincin sebagai tanda bukti
bahwa mereka sudah ada yang punya, ketika proses lamaran banyak yang harus
dibawa seperti tenong –jhudeng barang bawaannya di tabbhu (di pukul) bahwa hari ini ada acara lamaran (pemberitahuan)
supaya tidak menimbulkan fitnah. Jajan yang biasa di bawa tetel-bejhik (jajan
yang paling erat atau kental), keddheng (pisang) buah-buahan yang mudah
disajikan tidak rombuh dan karena pisang merupakan tumbuhan yang berada di
sekitar halaman atau lingkungan jadi kalau ada pohon pisang dan berbuah dan
ditanyakan tidak ada yang mesan biasanya menandakan bahwa si pemilik mempunyai
anak gadis yang masih single dan jika ditanyakan sudah ada yang mesan itu
berarti anak gadis yang berada di dalam rumah tersebut sudah ada yang mau
melamar. Penang dan sere, yaitu untuk ramuan ketika
melakukan hubungan suami istri nanti, kocor memang makanan yang dari dulu
hingga sekarang yang masih dilestarikan karena merupakan sebagai tanda rasa
manis didalam kehidupan kelak. Sedangkan cincin sebagai tanda pengikat saja.
B. Tradisi Toron Tana
1. Pengertian
Toron Tana
Istilah
toron sendiri berarti turun, sedangkan tana adalah tanah, toron
tana berarti acara turun tanah atau menginjak tanah pertama kali bagi
seorang anak yang berusia tujuh bulan dengan rangkaian acara tertentu. Di Jawa
tradisi toron tana ini dikenal sebagai Tedak Siten. Tradisi
itu menjadi simbol bagi kalangan masyarakat guna mengisyratakan bahwa dalam
usia tersebut seorang anak sudah saatnya untuk belajar mandiri.
Tradisi toron tana ini
diberlakukan bagi bayi usia 7 bulan yang pada saat usia tersebut bayi mulai
mengenal benda-benda yang dilihat dan disentuh (diambil) dihadapannya. Maka tak
heran, tradisi ini ada sementara pihak keluarga menandai dengan cara
besar-besaran dengan mendatang sejumlah anak sanak keluarga dan tentangga yang
nantinya akan menjadi saksi bahwa bayi tersebut sudah tidak lagi
mempunyai pantangan menyentuh atau menginjak tanah atau bumi.
Sebagai
sebuah tradisi, toron tana tentunya memiliki keunikan dan makna
tersendiri bagi masyarakat Madura. Ada pesan moral yang tersirat dalam
rangkaian tradisi tersebut, salah satunya ketika sang anak disuruh mengambil
beberapa pilihan barang yang biasanya terdiri dari sebuah buku, kitab, sisir,
baju, bolpoin, uang, dan lain semacamnya. Dan pilihan pertama itulah yang akan
menentukan pilihan terakhir yang menjadi simbol kehidupannya di masa mendatang.
Bila ternyata sang bayi merah sisir
misalnya, diyakini kelak dia akan suka besolek dan selalu tampil dengan rapi.
Demikian pula, bila dia meraih fulpen atau pensil, bayi tersebut diyakini akan
pandai menulis. Alat atau benda tersebut merupakan simbol yang menunjukkan
bahwa sejak usia dini tersebut, anak-anak sudah mulai mengenal apa yang ia
harus ia lakukan kelak.
Namun demikian, pada hakikatnya
dengan melakukan tradisi ritual toron tana ini sebagai bentuk harapan
agar kelak anak bisa menjadi orang yang berguna.
2. Prosesi pelaksanaan tradisi Toron Tana
Sebelum acara digelar.
Dijelaskannya, dalam ritual toron tana ini ada beberapa tahap
a) seperti
memandikan anak, yang bermakna bahwa anak dalam keadaan suci seperti pertama
kali ia dilahirkan. “Maknanya adalah, seorang anak lahir dalam keadaan fitrah
dan kelak ketika meninggalkan dunia diharapkan kembali ke fitrahnya. Sedangkan tamu – tamu yang diundang
dalam tradisi ini adalah anak – anak. Tokoh masyarakat dan biasanya guru ngaji
yang pada saatnya nanti sang orang tua akan “menitipkan putra/putrinya” itu
untuk berguru padanya. Sang guru tersebut membacakan doa-doa demikian
keselamatan dan keberlangsungan hidup sang bayi.
b) Setelah doa selesai, bayi dibiarkan
mengambil barang – barang yang disediakan didepannya seperti buku, pulpen,
tasbih dan Al Qur’an agar kelak anak menjadi rajin, pintar dan tumbuh menjadi
anak yang sholeh.
c) Proses ritual selanjutnya adalah
menginjak bubur. Hal ini memiliki makna tersendiri agar kaki sang bayi kuat dan
kokoh saat berjalan. Tradisi ini merupakan turun temurun yang harus
dilaksanakan agar sang bayi menjadi orang kuat dan bijaksana. Bayi yang telah
merayakan tradisi toron tana diperbolehkan menyentuh tanah serta bermain
dengan anak – anak sebayanya ditandai dengan makan bubur bersama.
d) Sementara
tahapan terakhir, melempar uang, orang Madura menyebutnya nabur pesse,
yaitu sebuah wadah yang berisikan beras kuning, bunga dan uang receh
dilemparkan ke perkumpulan orang atau tamu untuk diambil sebagai sedekah.
“Diharapkan bahwa sang anak kelak menjadi orang yang dermawan dan dikaruniai
banyak rizki, dan saling berbagi kepada siapa saja yang membutuhkan. Diakhir acara, anak – anak ini
diberi sentuhan sapu lidi dengan harapan anak tidak nakal dan patuh terhadap
orang tua.
3. Respon
atau Tanggapan Tokoh Ulama, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Budayawan Mengenai
Tradisi Toron Tana di Pedesaan
Pamekasan
a) Kyai
H. Sirojuddin mengatakan tradisi toron tana biasanya dilaksanakan kepada anak
yang berusia 7 bulan yang dilaksanakan
diatas tikar yang di siapkan oleh orang tua anak tersebut dimana diatas
tikar sudah dipersiapkan talam yang
berisi beberapa perlengkapan seperti Al-Qur’an, bulpen, sisir, kaca, padi,
jagung, dan sebagainya sesuai dengan keinginan orang tua. Anak akan di lepaskan
untuk merangkak diatas tanah dan
diarahkan ke talam yang sudah
disediakan untuk memeilih apa kemauannya dan apa yang diambil pertama kalinya
itulah yang menjadi kegemarannya ketika dewasa nanti
b) Haris
Ahmadi mengatakan tradisi toron tana ini hanya merupakan symbol dari tradisi
saja dimana kita dapat melaksanakan ataupun tidak itu tergantung keluarganya.
Mengenai pelaksanaanya sama saja seperti pemaparan yang diatas
c) Muhammad
Elman mengatakan tradisi toron tana sebelum 7 bulan biasanya anak tersebut
masih pakek kaos kaki tidak langsung menyentuh ke tanah itu diartikan biar
ketika berumur 7 bulan barulah anak tersebut menyentuh tanah atau menginjak
tanah, mengenai barang apa saja yang keinginan orang tua yang ingin di
tempatkan di talam maka taruklah, karena acara seperti ini hanyalah sebagai
kebiasaan masyarakat terdahulu yang sudah melaksanakannya masak ia kita tidak
mengikuti, takut terjadi fitnah di dalam masyarakat nantinya. Kenapa toron tana
identik berumur 7 bulan ? ,acara seperti ini hanyalah ritual saja, nasib
kedepannya kita yang bisa mengatur, masalah takdir kita serahkan kepada Allah
SWT.
B. Tradisi Tahlilan
1. Pengertian dan Filosofi Tahlilan
Merupakan kewajiban bagi orang
Madura yang hidup untuk menyelenggarakan upara penguburan bagi setiap orang
yang meninggal dunia sesuai dengan tuntutan agama Islam yang dianut. Akan
tetapi berbeda dengan praktik keagamaan yang disunahkan oleh Nabi Muhammad,
beberapa upacara tambahan sering dilakukan orang, sesudah mayat dibaringka
diliang lahat dikumandangkan azan dan iqamat yang tidak pada tempatnya sebab
orang yang wafat tidak mungkin lagi diajak bersembahyang, sesudah pengebumian
selesai dan nisan dipasang, dibakar kemenyan dan dibacakan talekken (talkin) untuk menuntun jenazah itu menjawab
pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.[5]
Mungkin bagi masyarakat kota,
melayat itu cukup hari saat kematian. Tapi bagi masyarakat Madura desa, melayat
itu berlaku sampai 7 hari. Sehingga ada istilah 7 harian, 40 harian, 100
harian, satu tahun, dan 1000 hari mengenang kematian seseorang.
Selama 7 hari termasuk hari kematian, biasanya di rumah duka dilaksanakan
tahlilan bagi kaum laki-laki sekitar. Sedangkan kaum ibu-ibu melayat dengan
cara membawa jenis sembako. Jenis sembako yang paling umum dibawa ialah beras.
Tradisi ini meski tidak wajib secara
syariat, namun wajib dalam norma sosial. Kalau kata masyarakat Madura,
diistilahkan dengan tèngka. Tèngka merupakan norma yang tidak ada
sekolahnya. Hanya bisa dipelajari langsung dari prakteknya dalam masyarakat.
Dan orang atau keluarga yang prilaku atau tindakannya tidak sesuai dengan
masyarakat, dianggap tidak tahu tèngka. Dan hal itu justru memicu ghibah
atau bahan gosip yang berkepanjangan.
Misalnya ada orang yang tidak pernah
ikut tahlilan. Atau pihak perempuan dalam satu keluarga tidak melayat dengan
membawa sembako pada tetangga dekatnya yang meninggal. Maka keluarga tersebut
akan menjadi bahan omongan. Ia akan disebut sebagai orang atau keluarga yang
tidak tahu tèngka. Sehingga menjaga tèngka sama halnya
menjaga diri, keluarga, dan masyarakat dari perbuatan dosa ghibah.
2. Sejarah Tradisi Tahlilan
Kelompok yang anti tahlil kerap
menuduh tahlil sebagai bid’ah karena
sebagai warisan tradisi agama pra-Islam di Jawa, yaitu Budha dan Hindu,
sehingga praktek tahlil hukumnya haram dilakukan karena menyerupai dengan
tradisi agama lain. Tuduhan ini dilakukan sebagaimana ketika mereka
mengharamkan perayaan maulid nabi Muhammad Saw. karena menyerupai perayaan
kelahiran dalam agama lain, yaitu perayaan Natal (Kristen).[6]
Pandangan yang serba membuat
kesamaan antara tradisi Islam dengan tradisi non-Islam ini beranggapan jika
bukan orang Islam yang melakukan pertama kali, berarti itu bid’ah sesat, haram,
bahkan kafir jika dilakukan oleh orang Islam. Perlu juga diingat bahwa budaya
sarungan itu bukan budaya Islam. Pada masa nabi Muhammad Sawa. tidak ada.
Budaya sarungan umat Islam yang cuma di Indonesia. Itu pun juga berangkat dari
budaya agama Hindu yang ada di Indonesia. Anggap saja orang Madura yang kentara
dengan budaya sarungnya, dan lihat agama nenek moyang orang Madura sebelum
Islam datang, tak lain mayoritas menganut Hindu.
Begitu pula dengan budaya celana
yang sudah banyak digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Tempo dulu budaya
memakai celana di kalangan Islam Indonesia haram. Hal tersebut dengan suatu
dalil dan alasan bahwa orang yang menyerupai suatu, maka mereka merupakan
bagian dari mereka. Karena dianggap menyerupai dengan orang Belanda atau Jepang
yang beragama non-Islam, maka memakai celana diharamkan. Itu semua merupakan
buah dari fanatisme dalam beragama yang mengekang dan mempersulit hidupnya sendiri.
Baru ketika mereka sadar bahwa memakai celan itu penting, pengharaman lambat
laun menyusut dan rata-rata kiai memakai celana.
Diakui atau tidak, latar belakang
tahlil itu memang awalnya merupakan budaya masyarakat Indonesia yang beragama
non-Islam sebelum Islam masuk ke Nusantara ini. Namun karena di satu sisi nabi
Muhammad Saw. khususnya Islam sendiri yang memiliki sifat menghargai (toleran),
maka ekspansi Islam tidak dengan cara merusak dan meniadakan apa yang telah
menjadi tradisi masyarakat non-Islam sebelumnya. Namun, upaya ekspansi Islam
ini dengan fleksibelitasnya mampu mengislamkan orang Nusantara ini dengan mudah
dan tanpa kekerasan apapun. Tentunya kelenturan dan cara beradaptasi baik yang
dijadikan senjata ampuh oleh penyebar Islam tempo dulu.
Secara historis, keberadaan tahlil
adalah salah satu wujud keberhasilan islamisasi terhadap tradisi-tradisi
masyarakat Indonesia pr-Islam. Tradisi masyarakat Indonesia ketika ada orang
meninggal dunia adalah berkumpul di rumah duka pada malam hari untuk berjudi,
mabuk-mabukan dan sebagainya. Lambat laun seiring dengan Islam yang mulai
menyentuh mereka, acara tersebut diisi dengan nilai-nilai keislaman yang dapat
mendatangkan manfaat kepada orang yang meninggal dunia, keluarga duka, serta
masyarakat secara umum. Dari sini kemudian tradisi tahlilan berkembang luas di
tengah masyarakat seperti yang diamalkan oleh masyarakat saat ini.
Tradisi kumpul-kumpul yang dilakukan
oleh masyarakat non-Islam dulu itu tidak dirusak dan tidak disuruh bubar begitu
saja oleh penyebar agama Islam dahulu. Jika sebaliknya yang terjadi, maka entah
seperti apa lagi Islam di mata masyarakat non-Islam dahulu hingga sekarang.
Maka dari itu, masyarakat non-Islam yang berkumpul ketika ada acara kematian
itu diubah melalui pendekatan pengaplikasian dengan nilai-nilai keislaman
sebagai dakwah yang paling jitu dan tidak harus merusak yang sudah ada. Hingga
akhirnya acara itu bernilai sebagaimana yang diamanatkan oleh syariat Islam.
Buku Tahlil Bid’ah Hasanah ini tak
lain merupakan rasionalisasi dan penalaran dengan menggunakan dalil-dalil dari
Al-Qur’an dan al-Hadits mengenai acara tahlilan yang sering diharamkan oleh
kalangan non-Nahdliyyin. Pemantapan pemahaman mengenai tradisi, kedamaian, dan
eksistensi Islam itu sendiri disuguhi dengan beraneka dalil yang cukup jelas.
Bagi mereka yang mengerti metode penyebaran Islam, silakan melihat sejarah
tentang penyebaran Islam dan bagaimana Islam ketika itu. Tentunya dengan
sifatnya yang fleksibel Islam mampu masuk ke Indonesia. Dengan fleksibelitasnya
pula penyebaran Islam di Nusantara ini tidak harus banyak menumpahkan darah
seperti.
3. Respon
atau Tanggapan Tokoh Ulama, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Budayawan Mengenai
Tahlilan di Pedesaan Pamekasan
a) Kyai
H. Sirajuddin mengatakan tahlilan itu yang ada hanyalah masyarakat yang
mengikuti NU, Islam sendiri pada waktu masuk ke Madura itu sudah mengenal
kumpul bareng ketika suatu tetangga atau sanak saudara meninggal dunia pasti
berkumpul untuk menyaksikan ataupun mendoakan yang meninggal, lalu kemudian NU
mensiasati dari pada kumpul-kumpul itu percuma mending dzikir untuk mendoakan
si mayit, karena simayit sampai 1, 3 (lo’-tello’)-7
(to’-petto’), 40 (pa’ polo), 100 (nyatos), 1000 (nyebu) hari,
itu akan diperiksa amal baik dan jeleknya untuk dipertanggung jawabkan di
akhirat kelak, munkin dari situlah kebiasaan yang terjadi akan menjadikan adat
dan tradisi yang sampai sekarang sangat mellekat jika ada orang yang meninggal
mesti dilaksanaan kegiatan seperti tahlilan dan ngaji bersama untuk meringankan
dosa bagi simayit.
b) Haris
Ahmadi engatakan bahwa tahlilan merupakan suatu acara yang diadakan keluarga
yang ditinggal mati oleh salah satu keluarganya untuk mendoakan agar kuburannya
tidak sempit, menerangkan didalam kuburannya dan dosa-dosa si mayit agar
diperingankan atas kesalahan yang dibuat di dunia.
c) Muhammad
Elman mengatakan tahlilan itu merupakan tradisi peninggalan Budha yang
terdahulu, ketika ada orang mati maka disjikan minuman dan makanan ringan bagi
yang menjenguk atau ngelayat dan biasa dilihat oleh sebagian orang sebelum
masuk ke agama Islam, dan masuklah Wali Songo dan memerintahkan supaya tidak
sia-sia maka diadakanlah suatu acara tahlilan untuk mendoakan si mayit agar
sedikit terkurangi dosanya.
C. Tradisi Pelet betteng
1. Pengertian
tradisi Pelet Petteng
Masyarakat
Madura mempunyai banyak tradisi yang sampai detik ini masih terjaga
kelestariannya. Salah satu tradisi yang tetap eksis, yakni ritual pelet kandung
atau tingkepan yang dilakukan pada kehamilan pertama.
Seiring
berkembangnya zaman, tradisi syukuran tujuh bulan usia kehamilan atau yang
biasa disebut ‘Pelet Betteng’ di Pamekasan, Madura, Jawa Timur masih
tetap dilestarikan. Beberapa ritual keagamaan, seperti membaca salawat dan
tahlil bersama serta ritual memandikan sang ibu dengan kembang tujuh rupa
menjadi kepercayaan masyarakat untuk mendoakan sang bayi yang masih berada
dalam kandungan.
Pada
saat dimandikan, sang ibu memegang dua kelapa gading (Nyior Gadding),
seekor ayam, dan dua telur yang diletakkan di pangkuannya. Kemudian, dua telur tersebut
dijatuhkan supaya pecah dengan harapan agar apabila tiba pada waktu melahirkan
diberi kemudahan serta kelancaran oleh sang maha kuasa.
2. Prosesi
pelaksanaan tradisi pellet betteng
Untuk persiapan
upacaranya sendiri, yaitu alat-alat untuk mandi dan sajiannya berupa :
a) kain putih, untuk menutup badan siibu, yang dimandikan
b) Air bunga satu Penay (satu belanga). Bunga yang dipakai untuk
campuran air mandinya tidak boleh bunga yang bergetah atau gatal
c) Gayung dari kelapa, yaitu tempurung dengan kelapa yang disisakan,
sehingga econgap, menengadah, tangkai
gayungnya terbuat dari ranting beringin yang masih disisakan daun-daunnya
d) Telur ayam mentah sebutir dan yang masak sebutir
e) Satu Leper ketan kuning yang sudah masak, seekor ayam muda, dan
minyak kelapa yang dibuat sendiri, sepasang Cengker kelapa gading yang muda
3. Arti
dari barang-barang yang akan dipakai dalam upacara ini, menurut keterangan
dukun adalah sebagai berikut:
a) Air Komkoman, air dengan berbagai macam bunga, biasanya
berjumlah 40 jenis, merupakan air suci. Dengan demikian air untuk memandikan
ibu hamil ini adalah air suci, yang diharumkan karena ramuan berbagai ragam
bunga.
b) Gayung dari kelapa, menurut keterangan dukun, merupakan pohon
yang selalu berbuah tanpa tergantung kepada musim. Dengan kelapa itu diharapkan
agar rezeki ibu serta bayi yang dikandung akan selalu ada. Sedangkan tangkai
yang berupa ranting beringin, diharapkan agar si anak kelak dapat terpenuhi
segala keinginannya, serta senang hidupnya. Dalam ungkapan masyarakat agar si
anak : rampak naong beringin kurung
c) Seekor ayam muda disiapkan untuk dijadikan pak-tem- pak, yaitu
benda yang akan disepak. Ayam itu diikat pada tiang dalam rumah da kasih
Makanan yang dihidangkan dalam upacara tersebut mempunyai arti agar rezeki si anak
selalu mudah diperoleh.
4. Jalannya
Upacara.
Setelah
para undangan hadir, yaitu para undangan laki- laki, mengambil tempat diserambi
muka, duduk di atas tikar. Seorang Kyae, diminta untuk memimpin pembacaan
surat Yusuf dan surat Maryam, dari Al-Qur’an. Sementara para undangan laki-laki
ini membaca ayat-ayat Al-Qur’an (surat Yusuf atau surat Maryam), pelet kandhung
mulai berlangsung. Dukun memelet, atau memijit dengan menggunakan minyak
kelapa, dengan maksud untuk mengatur letak bayi, dalam kandungan. Sementara
dukun itu memijat perutnya, secara bergantian para kerabat yang tua-tua,
dimulai oleh emba nyae, (yaitu nenek),
matowa bine, (mertua perempuan), embu’ majadi’, (yaitu bibi, atau adik
perempuan ayahnya), epar bine, (ipar
perempuan), secara bergantian mendatangai, mengusap perut yang tengah di pelet
itu. Sambil mengusap perut itu, semua kerabat dan undangan itu memanjatkan
harapan/doa agar bayi dan ibunya selamat. Sementara itu suara orang yang
membaca ayat suci terus bergumam upacara pemeletan pada tahap
pertama selesai. Dengan dibantu oleh Dukun, didudukkan dari pembaringan,
kemudian dibimbing kedekat kolong, dimana seekor ayam yang sudah disiapkan itu
diikat pada kaki tempat tidur. Serta merta, menyepak ayam tadi, dengan sepekan
yang keras sehingga ayam itu kesakitan
Menurut
petunjuk dukun, sepakan itu memang harus keras, sampai ayam itu berbunyi
“keok”. Dengan terdengarnya keok ayam yang kesakitan itu, tahap pertama upacara
selesai. Ayam yang masih terikat di kaki tempat tidur tadi kemudian ikatan nya
dilepaskan oleh Matoa bine,
selanjutnya ayam itu dikurung, dan nanti setelah upacara selesai, ayam itu
diberikan kepada Dukun.
Tahap
kedua pelet betteng, adalah upacara mandi. Dukun dengan bantuan matoa bine’nya, menyelimuti badan dengan
kain putih yang sudah disiapkan itu. Kemudian dengan bimbingan dukun, disuruh
berdiri dengan kaki kanan menginjak kelapa muda, kaki kiri menginjak telur
mentah. Nampaknya tugas itu agak sukar dilakukan oleh yang nampak gugup itu,
akhirnya dukun mengambil telur yang tidak jadi diinjak kaki kiri itu, dengan
cekatan dukun meletakkan telur tersebut di atas perut, sambil dilepaskan.
Telur yang digelindingkan dari perut yang hamil itu, pecah, dan serentak yang
hadir disitu berucap : jebing, jebing,
artinya perempuan. Dengan ucapan yang hadir itu kelak diramalkan bayi yang
dikandungnya akan lahir perempuan. Sesudah itu, dibimbing oleh dukun baji’, itu ke belakang rumah, dimana
persiapan untuk mandi itu akan dilakukan. Dengan diantar beramai-ramai, para
wanita yang hadir mengikuti ke belakang rumah. didudukkan di sebuah bangku kayu
yang rendah. Di dekatnya tersedia air Komkoman pada sebuah periuk tanah. Maka
berturut-turut Dukun Bayi, memandikan dengan lebih dulu memasukkan uang logam
ke dalam air komkoman itu. Si Dukun menyauk air komkoman dengan gayung belahan
kelapa yang sudah dibersihkan dari ijuknya itu, gayung yang tangkainya dari
ranting beringin. Sesudah itu kerabat dekatnya baik dari fihak ibunya sendiri
maupun dari mertuanya perempuan, mulai memandikan seperti yang dilakukan oleh
dukon baji’. Setelah air yang
tersedia habis, maka selesailah tahap kedua upacara Pelet Kandhung ini.
5. Respon
atau Tanggapan Tokoh Ulama, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Budayawan Mengenai Pelet Betteng di Pedesaan Pamekasan
a) Kyai
H. Sirajuddin mengatakan pelet betteng
ialah istri yang mengandung 4/7 bulan pada saat itu pula diadakan acara selamettan untuk keselamatan si bayi
agar sehat di dalam kandungan. Karena setiap 40 hari dari usia kandungan 0-1
hari itu terjadi proses didalam kandungan, 40 hari pertama masih berbentuk
sperma, 40 hari selanjutnya masih berbentuk darah, 40 hari selanjutnya sudah berbentuk
daging dan 40 hari berikutnya roh dan takdir si bayi itu sudah ditentukan. 4/7
bulanan merupakan pemandian terhadap ibu yang mengandung dan biasanya di pijat
kandungannya agar si bayi bertempat pada porosnya. Dibacakan surat Yusuf agar
sibayi tampan seperti Nabi Yusuf dan dibacakan surat Maryam agar sibayi cantik
seperti Sitti Maryam, biasanya dipangkuannya ada ayam yang berbulu bagus dan
kelapa yang sudah ditulis anacaraka, beraneka angka dan huruf serta tulisan
Arab agar sibayi kelak tidak buta huruf.
b) Haris
Ahmadi mengatakan pellet betteng suatu
acara prosesi siraman bagi ibu yang hamil dimana sudah ada beberapa
perlengkapan yang disediakan kurang lebihnya seperti penjabaran diatas agar
sibayi selamat, sehat dan juga ketika melahirkan gampang untuk keluar bagi si
bayi.
c) Muhammad Elman mengatakan pellet betteng di dalam Islam sendiri sudah ditentukan oleh Allah
Qadha dan Qadharnya pada waktu kandungan masih berusia 4 bulan, setiap desa di
pamekasan mempunyai banyak cirri dan karakter mengenai apa yang harus digunakan
ketika pellet betteng ada yang pakek
kelapa tua (nyior) di tulis angka,
huruf dan tulisan Arab agar anak tidak buta huruf dan biasa dipegang setelah
selesai mandi pas dibuang dan ditendang
untuk memperlancar keluarnya bayi kelak jika melahirkan, telur diinjak, dan
kembang tujuh rupa diletakkan di air dan yang lainnya hanya pelengkap saja.
KESIMPULAN
A. Pinangan
(meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan
pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat
dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan)
bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses
meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau
permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.
B. Istilah
toron sendiri berarti turun, sedangkan tana adalah tanah, toron
tana berarti acara turun tanah atau menginjak tanah pertama kali bagi
seorang anak yang berusia tujuh bulan dengan rangkaian acara tertentu. Di Jawa
tradisi toron tana ini dikenal sebagai Tedak Siten. Tradisi
itu menjadi simbol bagi kalangan masyarakat guna mengisyratakan bahwa dalam
usia tersebut seorang anak sudah saatnya untuk belajar mandiri.
C. Tahlilan merupakan kewajiban bagi
orang Madura yang hidup untuk menyelenggarakan upacara penguburan bagi setiap
orang yang meninggal dunia sesuai dengan tuntutan agama Islam yang dianut. Akan
tetapi berbeda dengan praktik keagamaan yang disunahkan oleh Nabi Muhammad,
beberapa upacara tambahan sering dilakukan orang, sesudah mayat dibaringka diliang
lahat dikumandangkan azan dan iqamat yang tidak pada tempatnya sebab orang yang
wafat tidak mungkin lagi diajak bersembahyang, sesudah pengebumian selesai dan
nisan dipasang, dibakar kemenyan dan dibacakan talekken (talkin) untuk menuntun jenazah itu menjawab
pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.
D. Masyarakat Madura mempunyai banyak tradisi yang sampai detik ini
masih terjaga kelestariannya. Salah satu tradisi yang tetap eksis, yakni ritual
pelet kandung atau tingkepan yang dilakukan pada kehamilan pertama. Seiring
berkembangnya zaman, tradisi syukuran tujuh bulan usia kehamilan atau yang
biasa disebut ‘Pelet Betteng’ di Pamekasan, Madura, Jawa Timur masih
tetap dilestarikan. Beberapa ritual keagamaan, seperti membaca salawat dan
tahlil bersama serta ritual memandikan sang ibu dengan kembang tujuh rupa
menjadi kepercayaan masyarakat untuk mendoakan sang bayi yang masih berada
dalam kandungan.
Kebudayaan ini yang sulit di hilangkan oleh masyarakat islam
Madura sampai sekarang masih di lestarikan karena sudah mendarah daging,
beberapa alasan kuat yang melatar belakangi alasan tersebut.
Pertama,Apreasi yang
luar biasa dari masyarakat terhadap warisan leluhur. Kedua, kemudahan tatacara
dan pelaksanaan tradisi sesuai dengan keadaan social,ekonomi serta keterbatasan
masyarakat. Ketiga, menanamkan keislman terhadap warisan budaya.Tradisi nenek
moyang ,yang awalnya tidak ada nilai ke agamaan sekarang berkembang dengan
mengkodifikasikan antara budaya dan agama sehingga tradisi yang skarang
mengandung unsur ibadah.
DAFTAR PUSTAKA
M.F. Zenrif. Realitas Keluarga Muslim. UIN Malang Press. Malang. 2008.
Ahmad
Tirmidzi. futuhal arifin. dan Farhan Kurniawan. Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabi’. Pusta al-Kautsar. Jakarta.
2014.
Sulaiman Rasjid. Hukum Fiqh Islam. Sinar Baru Algensindo. Bandung. 2013.
Muhammad
Ma’ruf Khozin, Tahlil Bid'ah Hasanah
Berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah, Muara Progresif, Cetakan: I, Juli 2013.
Mien Ahmad Rifai. Manusia Madura. Pilar Media. Yogyakarta.
2007.
[1]M.F. Zenrif, Realitas Keluarga Muslim, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm.
21.
[2] Ibid, hlm. 22.
[3] Ahmad Tirmidzi, futuhal arifin,
dan Farhan Kurniawan, Ringkasan Fikih
Sunnah Sayyid Sabiq (Jakarta: Pusta al-Kautsar, 2014), hlm. 408.
[4] Sulaiman Rasjid, Hukum Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru
Algensindo,2013), hlm, 380.
[5] Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura (Yogyakarta: Pilar Media,
2007), hlm. 87.
[6] Muhammad
Ma’ruf Khozin, Tahlil Bid'ah Hasanah
Berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah, Muara Progresif, Cetakan: I, Juli 2013,
Hlm. 15.