Makalah HIKMATUT TASYRI dalam Kajian Fiqh
November 13, 2019
Kata Pengantar, Alhamdulillah
hirobbil alamin, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah
melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita dapat
menyelesaikan makalah Fikih tentang
Hikmatut Tasyri`.
Sholawat dan salam semoga tetap
tercurah limpahkan kepada Sang Proklamator dunia, Nabi Muhammad SAW, yang telat mengangkis kita dari alam kejahilan
menuju alam yang terang benderang ini dengan adanya agama islam.
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah fikih.
Kita berharap makalah ini dapat menambah wawasan. Kita menyadari bahwa makalah
ini jauh dari kata sempurna, untuk itu kita mengharapkan kritik dan saran dari
para pembaca atau pendengar, sehingga makalah ini bisa mencapai kesempurnaan.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam diturunkan Allah SWT, dengan membawa
syariat dan pelajaran agar dijadikan sebagai aturan hidup dalam segala masa dan
iwalnya. Oleh karena itu setiap perkara telah ditentukan prinsip hukumnya dalam
penerapannya, begitu juga tabiat manusia sangat diperhatikan. Segala sesuatu
memiliki hakikat, dan hakikat segala sesuatu adalah itu sendiri. Logika
fenomenologis inilah yang didambakan oleh setiap orang yang bergaul dengan
filsafat. Objek ada dan yang mungkin ada adalah bahasa tentang keberadaan
segala yang ada, baik ada karena kasat mata atau mata tidak memiliki
kemungkinan untuk melihatnya sehingga dibutuhkan media dan alat yang
menunjangnya.
Oleh karena itu hakikat segala sesuatu adalah
tidak ada yang tidak ada, sebab ketiadaan adalah keadaan tentang sesuatu yang
ada yang berbeda dengan keberadaan yang terbayangkan oleh hukum lahiriyah
alami. Kaitannya dengan hukum islam hal ini berkaitan dengan ontology hukum
yang memang bersifat tesentris, maka hal ini sama halnya dengan membicarakan
tentang siapa sesungguhnya yang melahirkan hukum islam.
Dengan demikian, muncul pertanyaan
selanjutnya, bagaimana ia ditetapkan dan diperlakukan, untuk siapakah hukum
itu, dan masih banyak lagi pertanyaan sekitar permasalahan ontologis, epistemologis
dan aksiologis dari adanya sesuatu. Untuk memahami hal tersebut diperlukan
upaya pemahaman filosifis yang menghantarkan kita untuk menemukan hakikat
sesuatu tersebut. Disinilah dibutuhkan filsafat. Dan untuk mengetahui hikmah
perlu adanya upaya mendalam tentang hakikat dari hukum islam. Setelah
mengetahui hukum islam maka kitapun dapat menemukan hikmah dari ditetapkannya
hukum tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian dari Hikmatut Tasyri`?
2.
Bagaiman
Pertumbuhan dan Perkembangan Filsafat Hukum Islam?
3.
Apa
saja objek kajian filsafat hukum islam?
4.
Bagaimana
contoh dari Hikmatut Tasyri`?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari Hikmatut Tasyri`
2.
Untuk
mengetahui Pertumbuhan dan perkembangan filsafat hukum islam.
3.
Untuk
mengetahui objek kajian filsafat hukum islam.
4.
Untuk
mengetahui contoh dari Hikmatut Tasyri`
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
HIKMATUT TASYRI’.
1.
Pengertian
Hikmah
Kata hikmah merupakan bentuk masdar dari
hakamah. Terdapat dua bentuk masdar kata hakamah tersebut yaitu hukuman dan hikmatun.
Makna dasarnya adalah al-man’u (menghalangi), seperti yang terdapat dalam
ungkapan hakamtu yang berarti mana’tu atau radadtu.[1]
Menurut al-Jauhari ; hukum itu adalah hikmah
dari ilmu. Secara bahasa, kata hikmah sebagaimana dijelaskan dalam kamus lisanul
arab berasal dari kata (hakama) yang berarti adil, dan kata hikmah di
definisikan dengan :حكمة عبارة عن معرفة افضل
الاشياء بافضل العلوم
“hikmah adalah suatu ungkapan tentang
mengetahui keunggulan dari sesuatu (alam) dengan menggunakan disiplin ilmu yang
tertentu”.[2]
Dalam kamus fiqih dijelaskan bahwa hikmah
memiliki beberapa pengertian, diantaranya adalah :معرفة
افضل الاشياء بافضل العلومم الله وطعته, الكلم الذي يقل لفظه ويجل معناه الاصابة في القول والعمل,
Secara etimologi, hikmah adalah mengetahui
keunggulan sesuatu melalui suatu pengetahuan, sempurna, bijaksana dan sesuatu
yang tergantung padanya akibat sesuatu yang terpuji. Sedangkan secara
terminologi yang dikemukakan oleh ulama` ushul fiqh, hikmah adalah suatu
motivasi dalam pensyariatan hukum dalam rangka mencapai suatu kemaslahatan atau
menolak suatu kemafsadatan. Dengan kata lain, hikmah adalah sesuatu yang muncul
akibat adanya hukum berupa kemaslahatan baik berbentuk manfaat atau penolakan
terhadap kemodorotan.[3]
Hikmah dalam bahasa arab berarti besi kekang
atau besi pengekang hewan. Maksunya, dinamakan dengan hikmah karna ia mampu
mengekang dan mengendalikan serta menundukkan binatang liar.
Kata
hikmah dalam pengertian inilah yang kemudian dipakai dalam pengertian kendali
yang dapat mengekang dan mengendalikan manusia dalam berbuat bertindak buruk
melainkan mengendalikan untuk berbuat dna bertindak yang benar dan terpuji.[4]
Alqur’an menggunakan kata hikmah ini sebanyak 20 kali denga 3 pengertian,[5]
yaitu;
a.)
hikmah dalam pengertian al-istibshar fi
al-umur yaitu penelitian terhadap segala sesuatu secara cermat dan mendalam
dengan menggunakan akal dan penalaran, seperti di surat Ali Imron ayat 164.
b.)
hikmah berarti memahami rahasia-rahasia hukum
dan maksud-maksud nya. Seperti dalam Al-Baqarah ayat 269.
c.)
hikmah dengan pengertian kenabian atau
nubuwwah, seperti dalam surat An-Nisak ayat 54.
Dari beberapa pengertian hikmah diatas dapat disimpulkan bahwa hikmah
digunakan untuk merealisasikan kemaslahatan dan menolak kerusakan dan merupakan
tujuan akhir dari pensyariatan hukum.
2.
Pengertian
Tasyri`
Kata Tasyri` seakar dengan kata syariat,
adalah masdar dari fi`il tsulasi mazid
khumasi تفعيل dengan arti membuat atau menetapkan syariat. Bila syariat itu
dikatakan hukum atau tata aturan yang ditetapkan Allah yang menyangkut tindak
tanduk manusia, maka tasyri` dalam hal ini adalah penetapan hukum dan tata
aturan tersebut. Perbedaan syariat dengan tasyri` dilihat dari segi syariat itu
materi hukumnya sedangkan tasyri` penetapan hukum syariat tersebut. Dalam hal ini
pengetahuan tentang tasyri` berarti pengetahuan tentang cara, proses, dasar dan
tujuan Allah menetapkan hukum bagi tindak tanduk manusia dalam kehidupan
keagamaan dan keduniaan mereka. Pengetahuan tentang syariat berarti pengetahuan
tentang hakikat dan rahasia dari hukum-hukum syara` yang telah ditetapkan oleh
Allah.[6]
Menurut Manna al-Qathan, al-Tasyri` wa
al-Fiqh fi al-Islam : syariat adalah segala ketentuan Allah yang disyari`atkan
bagi hamba-hambanya baik menyangkut aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah.[7]
3.
Pengertian
Hikmatut Tasyri`
Hikmatut Tasyri` merupakan gabungan dari kata
hikmah dan kata tasyri`, setelah dibahas pengertian masing-masing kata maka
kata hikmatut tasyri` dapat
dipahami sebagai jawaban dari pertanyaan apa yang memotivasi suatu hukum
disyari`atkan kepada manusia. Secara umum tasyri` meliputi ketiga aspek syariat yaitu ibadah,
muamalah dan akhlak. Walaupun sesungguhnya dengan kata hikmah saja sudah
menunjukan pengertian tersebut, namun dengan menggabungkan kata tasyri` lebih
menekankan apa yang diinginkan dari pensyari`atan hukum taklifi kepada manusia.[8] Hikmatut Tasri’ juga biasa disebut dengan
ilmu yang membahas filsafat hukum islam.
B.
PERTUMBUHAN
DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM ISLAM.
Fakta sejarah
menunjukkan, bahwa nabi Muhammad membolehkan berijtihad dalam upaya menetapkan
suatu hukum, kebolehan Nabi dimaksud tercantum dalam hadits nabi ketika nabi
mengutus Mu’adz bin Jabal sebagai hakim di Yaman. Berijtihad dengan mebbunakan
akal dalam permasalahan hukum islam, yang pada hakikatnya merupakan pemikiran
falsafi dan itu direstui oleh rasulullah. Dalam memahami berbagai persoalan,
Allah berfirman (QS. Al-Baqarah {2}: 79), alih bahasanya:
“Ðan, dalam qishash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu wahai orang-orang yang berakal supaya kamu
bertakwa”.
Menurut Djamil,
ayat diatas menunjukkan bahwa menggunakan akal pikiran untuk menangkap makna
yang terkadang dalam syari’ah sesuai dengan petunjuk Al-qur’an termasuk yang
dianjurkan. Pemikiran yang mendalam tentang syari’ah atau hukum islam
melahirkan filsafat hukum islam. Pemikiran falsafi terhadap hukum islam yang
ada nash nya bermula pada masa Khulafaur Rasyidin, terutama Umar bin Khatab. Penghapusan
penerapan hukum potong tangan bagi pencuri, zakat bagi mualaf, penetapan talak
yang langsung jatuh talak tiga bagi setiap suami yang mentalak istrinya, dan
lain-lain yang dilakukan umar telah menunjukkan adanya penerapan hukum yang
menunjukkan adanya penerapan hukum dengan berdasarkan argument teleologis, yang
tidak lain merupakan corak atau bentuk pelaksanaan pendekatan filsafat terhadap
penetapan hukum islam. Hukum diciptakan untuk memelihara ketertiban dan
kesejahteraan masyarakat, sementara masyarakat senantiasa mengalami perubahan.
Tegasnya, kemaslahatan sebagai asas dan keadilan sebagai prinsip harus selalu
menjadi tujuan dari hukum islam.
Lalu, perkembangan
filsafat hukum islam semakin menunjukkan arti pentingnya seiring dengan
munculnya argument teleologis. Ketika ilmu pengetahuan berkembang, bidang
penjelasan teleologis menghilang lantern kajian ilmu pengetahuan menjadikan
realita yang berdasarkan pancaindra, yang tentu saja berbentuk fisik, sementara
filsafat merupakan kajian metafisik. Dalam perkembangannya pula terdapat
perkembangan antara filsafat dengan hikmah. Karena itu, orang dalam memahami
filsafat terhadap hukum islam dituntut juga memahami apa yang disebut dengan
hikmah. Intisari filsafat adalah berpikir secara mendalam tentang sesuatu untuk
mengetahui apa, bagaimana, dan nilai-nilai dari sesuatu itu. Adapun intisari
hikmah adalah memahami wahyu secara mendalam dengan yang ada pada diri manusia
sehingga mendorong orang yang mengetahuinya untuk beramal dan bertindak sesuai
dengan pengetahuannya yang mendalam itu. Penggunaan term hikmah di dunia islam
muncul untuk menunjukkan pemikiran filsafi yang disirami oleh wahyu. Sejak saat
itu, kedua istilah falsafi dan hikmah dipakai untuk makna yang sama kendatipun
keduanya dapat dibedakan, namun yang jelas term hikmah adalah term yang
terlahir secara khas dari islam.[9]
C.
OBJEK
KAJIAN FILSAFAT HUKUM ISLAM.
Hal-hal yang
terpenting sebagai objek kajian filsafat hukum islam adalah nilai, tujuan, dan
penerapan hukum islam. Yang dimaksud dengan pandangan hukum yang bersifat
teleologis, yakni terciptanya kedamaian didunia dan kebahagiaan di akhirat,
dijamin dapat diwujudkan. Inilah yang membedakan hukum islam dengan hukum
manusia yang hanya menghendaki kedamaian didunia saja. Objek filsafat hukum
islam meliputi objek teoretis dan objek praktis. Objek teoritis filsafat hukum
islam adalah objek keajian yang berkenaan dengan hal ihwal penetapan hukum
islam itu sneidiri yang berkaitan dengan hakikat dan tujuan, kajian objek
teoretis ini disebut falsafat tasyri’. Terdiri dari:
1.
Dasar-dasar
hukum islam (daa’im al-ahkam).
2.
Prinsip-Prinsip
hukum Islam (mabaadi’ al-ahkam).
3.
Pokok-Pokok
/ Sumber-sumber hukum islam (mashaadir al-ahkam).
4.
Tujuan-Tujuan
hukum islam (maqaashid al-ahkam).
5.
Kaidah-kaidah
hukum islam (qawaa’id al-ahkam)
Adapun objek praktis adalah filsafat yang diungkap dari materi-materi
hukum islam, seperti ibadah, muamalah, dan jinayat, untuk membicarakan hakikat
dan rahasia hukum islam, filsafat ini disebut
falsafat syari’ah , meliputi:
1.
Rahasia-rahasia
hukum islam (asrar al-ahkam).
2.
Ciri-ciri
khas hukum islam (khashaa il al-ahkam).
3.
Keutamaan-keutamaan
hukum islam (mahaasin al-ahkam).
4.
Karakteristik
hukum islam (Thawaabi’ al-ahkam).
Filsafat hukum islam bertujuan agar hukum islam bisa dikaji secara
mendasar sampai pada hal yang paling dasar dalam pembahasan hukum islam itu
sendiri, sekaligus membuka peluang bagi ahli hukuman untuk memiliki pengetahuan
yang mendalam tentang hukum sehingga membuat ahli hukum atau siapa saja lebih
meyakini kebenaran ajaran islam yang terkandung dalam hukum islam. Karena itu
pendekatan filsafat dalam pengkajian hukum islam sangat penting karena berguna
untuk menetapkan hukum.[10]
D.
CONTOH
HIKMATUT TASYRI’.
Adapun contoh-contoh hikmah itu banyak,
sebagian dari banyak adalah sebagai berikut :
1.
Hikmah
dan tugas para Rasul
Semua manusia harus meyakini adanya
syahadatain agar manusia dapat mengetahui apa yang ia tidak tahu, sehingga
untuk itulah rasul diutus yang mana memiliki tugas-tugas penting yaitu :
a.)
Memperkenalkan
siapa pencipta alam semesta yang harus disembah dengan memperkenalkan dzat dan
sifat-sifat Allah
b.)
Mengingatkan
manusia akan kebesaran sang pencipta, ada sifat-sifat yang wajib, muhal dan
jaiz baginya. Allah mampu mengangkat siapa yang dikehendaki dan sebaliknya.
Rasul juga wajib menyampaikan adanya janji-janji dan ancaman.
c.)
Mendorong
manusia agar berakhlak mulia dan berprilaku terpuji.
d.)
Mengajarkan
manusia cara beribadah yang baik agar hatii mereka selalu terpaut kepada Allah.
e.)
Membuat
peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia sehingga
terwujud rasa tentram, adil dan sejahtera.
f.)
Menjelaskan
kepada manusia ussaha yang dapat dilakukan untuk mendapatkan rezeki, seperti
rajin bekerja dan tidak bermalas-malasan.[11]
2.
Hikmah
mengqasar sholat bagi musafir
Ada perbedaan pendapat antara ulama mengenai
apakah sesungguhnya yang menjadi illat hukum bolehnya mengqasar sholat bagi
musafir. Ada yang berpendapat musafir, ada yang berpendapat musyakkah atau
kesulitan. Bagi yang berpendapat musafir, diisyaratkan bahwa musafirnya tidak
untuk berbuat maksiat. Boleh mengqasar sholat adalah bentuk rasa kasih sayang
Allah kepada manusia, sehingga diharapkan bahwa manusia akan selalu ingat dan
bersyukur kepada Allah. Hal ini terdapat di dalam Al-Qur`an surat an-Nisa` ayat
101.[12]
3.
Hikmah
sholat
Banyak sekali hikmah sholat yang bisa kita rasakan, salah satunya :
a.)
Perwujudan
rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah diberikan. Diawali dari
sholat shubuh, dimana cuaca pada saat itu membuat jiwa tenang serta hati masih
dalam keadaan bersih terlepas dari segala rutinitas, sholat dzuhur dan ashar
adalah sebagai wujud rasa syukur kita kepada pemberi rezeki, sholat maghrib pun
juga untuk mensyukuri nikmat yang telah terkumpul sedangkan sholat isya` untuk
mensyukuri nikmat yang Allah berikan pada hari tersebut.
b.)
Dari
jumlah rakaat pun ada hikmah yang terkandung, yakni konsep dasar bahwa hukum
islam ituu mudah dan tidak menyulitkan. 2 rakaat waktu shubuh karena waktu yang
pendek dan lemahnya kondisi badan setelah bangun dari tidur. 4 rakaat di waktu
dzuhur, ashar dan isya` karena waktu yang cukup panjang dan kondisi tubuh
manusia fit. Sedangkan, 3 rakaat waktu maghrib adalah waktu ganjil dan
pertengahan antara sholat di siang hari dan di malam hari.
c.)
Ada
waktu yang disirkan dijaharkan adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah. Pada
waktu sholat di siang hari kondisinya ribut karena aktivitas manusia di siang
hari maka dengan mensirkan bacaan lebih membuat orang yang sholat khusyuk kalau
dibaca pelan, sedangkan sholat di waktu malam hari kondisi kesibukan manusia
sudah berkurang dan kondisi tenang maka dengan menjaharkan bacaan akan lebih membuat
manusia dekat karena memahami bacaan yang dibaca.[13]
d.)
Hikmah
tayammum
e.)
Ada dua
hikmah tayammum yaitu :
f.)
Menunjukkan
bahwa manusia tidak pantas sombong karena debu (benda hina) diusapkan kepada
wajah bagian tubuh yang paling mulia.
g.)
Menunjukkan
keistimewaan umat nabi Muhammad, karena syariat tayammum tidak ada pada umat
nabi sebelumnya.
h.)
Sedangkan,hikmah
menggunakan debu adalah karena tidak ada tempat di buni ini yang tidak terdapat
debu. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk manusia tidak sholat.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kata
hikmah merupakan bentuk masdar dari hakamah. Terdapat dua bentuk masdar kata
hakamah tersebut yaitu hukuman dan hikmatun. Makna dasarnya adalah al-man’u
(menghalangi), seperti yang terdapat dalam ungkapan hakamtu yang berarti
mana’tu atau radadtu. Kata Tasyri` seakar dengan kata syariat, adalah masdar
dari fi`il tsulasi mazid khumasi تفعيل
dengan arti membuat atau menetapkan syariat. Hikmatut Tasyri` merupakan
gabungan dari kata hikmah dan kata tasyri`, setelah dibahas pengertian
masing-masing kata maka kata hikmatut tasyri` dapat dipahami sebagai jawaban dari pertanyaan
apa yang memotivasi suatu hukum disyari`atkan kepada manusia.
Fakta
sejarah menunjukkan, bahwa nabi Muhammad membolehkan berijtihad dalam upaya
menetapkan suatu hukum, kebolehan Nabi dimaksud tercantum dalam hadits nabi
ketika nabi mengutus Mu’adz bin Jabal sebagai hakim di Yaman. Berijtihad dengan
menggunakan akal dalam permasalahan hukum islam, yang pada hakikatnya merupakan
pemikiran falsafi dan itu direstui oleh rasulullah. Dalam memahami berbagai
persoalan, Allah berfirman (QS. Al-Baqarah {2}: 79),
Dalam
perkembangannya pula terdapat perkembangan antara filsafat dengan hikmah.
Karena itu, orang dalam memahami filsafat terhadap hukum islam dituntut juga
memahami apa yang disebut dengan hikmah. Intisari filsafat adalah berpikir
secara mendalam tentang sesuatu untuk mengetahui apa, bagaimana, dan
nilai-nilai dari sesuatu itu. Adapun intisari hikmah adalah memahami wahyu
secara mendalam dengan yang ada pada diri manusia sehingga mendorong orang yang
mengetahuinya untuk beramal dan bertindak sesuai dengan pengetahuannya yang
mendalam itu. Penggunaan term hikmah di dunia islam muncul untuk menunjukkan
pemikiran filsafi yang disirami oleh wahyu.
Yang
dimaksud dengan pandangan hukum yang bersifat teleologis, yakni terciptanya
kedamaian didunia dan kebahagiaan di akhirat, dijamin dapat diwujudkan. Inilah
yang membedakan hukum islam dengan hukum manusia yang hanya menghendaki
kedamaian didunia saja.
B.
SARAN
Diharapkan pembaca dapat mengetahui dan memhami tentang apa itu makna
sebenarnya dari pendidik serta bagaimana tugas dan peran dari seorang pendidik.
Khususnya bagi yang mempunyai profesi sebagai pendidik, diharapkn dapat
mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
bin Mukrim Ibnu Manzur, Jamal al Din Muhammad. Lisanu al-Arab.
jilid XII. Daar al-Fikr. Beirut. 1990.
Harun, Nasrun. Ushul Fiqh. Jakarta :
Logos. 1996.
Izzomiddin.
Pemikiran dan Filsafat Hukum Islami. Jakarta : Prenadamedia Group. 2018.
Jaib, Sa`di Abu. al-illat yuqolu hukum.
Madkur, Ibrahim Bashuni. Dur’us fi al tarikh wa al-falsafah.
Kairo : Al-Amirah. 1942.
Mansur, Ibnu. lisanul al-arab. Kairo :
Daarul Ma`arif. 1119. jilid 2.
Nabhan, Faruq. Al-Madhkal li al-Tasyri` al-Islami.
Beirut : Dar al-Shadir,tt.
Praja,
Juhayah S.. Tafsir Hikmah Seputar Ibadah, Muamalah, Jin, dan Manusia.
Jakarta : Kencana. 2008.
Sebaini, Beni Ahmad. filsafat hukum islam.
Bandung : Pustaka Setia. 2007.
Syah, Ismail Muhammad. filsafat hukum
islam. Jakarta : Bumi Aksara. 1999.
[1] Jamal al Din Muhammad bin Mukrim
Ibnu Manzur, Lisanu al-Arab, jilid XII, Daar al-Fikr, Beirut, 1990, hlm
141.
[2] Ibnu Mansur, lisanul al-arab,
(Kairo : Daarul Ma`arif, 1119),jilid 2, hal 951.
[4] Ibrahim Bashuni Madkur, Dur’us
fi al tarikh wa al-falsafah, (Kairo : Al-Amirah, 1942)
[5]Juhayah S. Praja, Tafsir
Hikmah Seputar Ibadah, Muamalah, Jin, dan Manusia, (Jakarta : Kencana,
2008) hlm. 35.
[6] Ismail Muhammad syah, filsafat
hukum islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1999), hlm.13.
[7] Faruq Nabhan, Al-Madhkal li
al-Tasyri` al-Islami, (Beirut : Dar al-Shadir,tt), hlm.10-13.
[9] Izzomiddin, Pemikiran dan
Filsafat Hukum Islami, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2018) hlm, 37-41.
[10] Izzomiddin, Pemikiran dan
Filsafat Hukum Islami, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2018) hlm, 41-43.
[11] Beni Ahmad Sebaini, filsafat
hukum islam, ( Bandung : Pustaka Setia, 2007), hlm. 137
[12] Ibid, hlm. 138
[13] Beni Ahmad Sebaini, filsafat
hukum islam, ( Bandung : Pustaka Setia, 2007), hlm. 68-69.