Metode Pengajaran dalam Prespektif Al Quran dan Penafsiran Al Qur’an mengenai Metode Pengajaran
Mei 22, 2017
Metodologi pengajaran banyak ragamnya, sebagai pendidik tentu harus memiliki metode mengajar yang beraneka ragam, agar dalam proses belajar mengajar tersebut tidak menggunakan hanya pada satu metode saja, tetapi harus bervariasi, yaitu disesuaikan dengan tipe belajar siswa dan kondisi serta situasi yang ada pada saat itu, sehingga tujuan pengajaran yang telah dirumuskan sendiri oleh pendidik dapat tercapai.
Pengajar tidak hanya memberikan pengetahuan dan pemahaman pada yang diajar, namun lebih diarahkan pada pembentukan sikap, perilaku dan kepribadiannya. Mengingat perkembangan komunikasi informasi dan kehadiran media cetak maupun elektronik tidak selalu membawa pengaruh positif bagi masyarakat. Tugas pengajar dalam konteks ini membantu mengkondisikan masyarakat pada sikap, perilaku, atau kepribadian yang benar, agar mampu menjadi agent of modernization bagi dirinya sendiri, lingkungan, masyarakat dan siapa saja yang dijumpai.
Al Qur'an merupakan sumber utama ajaran Islam dan pedoman hidup bagi setiap muslim. Al Qur'an bukan sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hablum min Allah wa hablum min an-nas), serta manusia dengan alam sekitarnya. Untuk memahami ajaran Islam secara sempurna (kuffah), diperlukan pemahaman terhadap kandungan al-Qur'an dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten.[1]
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam adalah
agama yang sempurna. Kesempurnaan
Islam dapat dilihat dari Al Qur’an
yang merupakan sumber hukum dan pedoman hidup bagi setiap muslim.
Didalam Al Qur’an juga mencangkup ayat-ayat
tentang pendidikan atau tarbiyah, baik secara tersirat maupun tersurat.
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan potensi Sumber Daya
Manusia melalui kegiatan pengajaran. Ada dua buah konsep kependidikan yang
berkaitan dengan lainnya, yaitu belajar (learning) dan pembelajaran
(intruction). Konsep belajar berakar pada pihak peserta didik dan konsep
pembelajaran berakar pada pihak pendidik.
Mengajar
merupakan istilah kunci yang hampir tak pernah luput dari pembahasan mengenai
pendidikan karena keeratan hubungan antara keduanya.
Metodologi
mengajar dalam dunia pendidikan perlu dimiliki oleh pendidik, karena
keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) bergantung pada cara/mengajar
gurunya. Jika cara mengajar gurunya enak menurut siswa, maka siswa akan tekun,
rajin, antusias menerima pelajaran yang diberikan, sehingga diharapkan akan
terjadi perubahan dan tingkah laku pada siswa baik tutur katanya, sopan
santunnya, motorik dan gaya hidupnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Metode Pengajaran dalam Prespektif Al
Quran?
2. Bagaimana Penafsiran Al Qur’an mengenai Metode Pengajaran?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan metode pengajaran dalam prespektif A Qur’an.
2.
Menjelaskan penafsiran Al Qur’an mengenai metode pengajaran.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Metode pengajaran dalam prespektif Al Qur,an
Pendidikan adalah
merupakan usaha sadar untuk menumbuh kembangkan potensi Sumber Daya Manusia
(SDM) melalui kegiatan pengajaran. Ada dua buah konsep kependidikan yang
berkaitan dengan lainnya, yaitu belajar ( learning ) dan pembelajaran (
intruction ). Konsep belajar berakar pada pihak peserta didik dan konsep
pembelajaran berakar pada pihak pendidik.
Mengajar merupakan istilah kunci yang hampir tak
pernah luput dari pembahasan mengenai pendidikan karena keeratan hubungan
antara keduanya.
Metodologi mengajar dalam dunia pendidikan perlu dimiliki oleh pendidik, karena keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) bergantung pada cara/mengajar gurunya. Jika cara mengajar gurunya enak menurut siswa, maka siswa akan tekun, rajin, antusias menerima pelajaran yang diberikan, sehingga diharapkan akan terjadi perubahan dan tingkah laku pada siswa baik tutur katanya, sopan santunnya, motorik dan gaya hidupnya.Tujuan pembelajaran yang diinginkan tentu yang optimal, untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pendidik, salah satu diantaranya adalah metodologi pengajaran.
Metodologi mengajar dalam dunia pendidikan perlu dimiliki oleh pendidik, karena keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) bergantung pada cara/mengajar gurunya. Jika cara mengajar gurunya enak menurut siswa, maka siswa akan tekun, rajin, antusias menerima pelajaran yang diberikan, sehingga diharapkan akan terjadi perubahan dan tingkah laku pada siswa baik tutur katanya, sopan santunnya, motorik dan gaya hidupnya.Tujuan pembelajaran yang diinginkan tentu yang optimal, untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pendidik, salah satu diantaranya adalah metodologi pengajaran.
Metodologi pengajaran banyak ragamnya, sebagai
pendidik tentu harus memiliki metode mengajar yang beraneka ragam, agar dalam
proses belajar mengajar tersebut tidak menggunakan hanya pada satu metode saja,
tetapi harus bervariasi, yaitu disesuaikan dengan tipe belajar siswa dan
kondisi serta situasi yang ada pada saat itu, sehingga tujuan pengajaran yang
telah dirumuskan sendiri oleh pendidik dapat /tercapai.
Pengajar tidak hanya memberikan pengetahuan dan
pemahaman pada yang diajar, namun lebih diarahkan pada pembentukan sikap,
perilaku dan kepribadiannya. Mengingat perkembangan komunikasi informasi dan
kehadiran media cetak maupun elektronik tidak selalu membawa pengaruh positif
bagi masyarakat. Tugas pengajar dalam konteks ini membantu mengkondisikan
masyarakat pada sikap, perilaku, atau kepribadian yang benar, agar mampu
menjadi agent of modernization bagi dirinya sendiri, lingkungan, masyarakat dan
siapa saja yang dijumpai.
Al Qur'an merupakan sumber utama ajaran Islam dan
pedoman hidup bagi setiap muslim. Al Qur'an bukan sekedar memuat petunjuk
tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia
dengan sesamanya (hablum min Allah wa hablum min an-nas), serta manusia
dengan alam sekitarnya. Untuk memahami ajaran Islam secara sempurna (kuffah),
diperlukan pemahaman terhadap kandungan al-Qur'an dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten.[1]
Adapun ayat-ayat tentang metode pengajaran yang akan
dibahas dalam makalah ini, yaitu a, sebagai berikut :
1. Surah
Ali Imran 164
2. Surah
Al-Maidah: 67
3. Surah
Al-Nahl: 125
4. Surat
Ibrahim 24-25
5. Surah
al-Haqqah 1-3
B. Penafsiran
Al Qur’an mengenai metode pengajaran
1. Al_Imran ayat 164:
(لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ
وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَوَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن
قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ) ال عمران : 164
Artinya:
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang
yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan
mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan
mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya
sebelum itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”
Ungkapkan dalam ayat ini adalah bahwa manhaj atau
metode Nabi dalam menyampaikan pengajaran kepada orang – orang beriman /
sahabat-sahabanya kala itu adalah dengan memakai tiga cara;
Penjelasan
Ayat:
1. Kata مَنَّ dalam al-Quran mempunyai beberapa pengertian,
diantaranya adalah:
a. Sejenis
makanan yang turun dari langit. Seperti yang terdapat dalam surat Al-Baqarah:
57, yang berbunyi: وَأَنْزَلْنَا
عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى (dan Kami turunkan kepadamu "manna" dan
"salwa). Manna adalah sebuah makanan yang berbentuk seperti
jeli atau madu.
b. Perbuatan
mengungkit-ungkit sebuah amalan. Seperti yang tertera dalam surat Al-Baqarah:
254, yang berbunyi: يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى (jangan kalian batalkan shadaqah-shadaqah kalian
dengan mengungkit-ungkitnya dan mengganggu orang yang diberi shadaqah).
c. Memutus.
Seperti yang disebut dalam surat Al-Qalam: 3, yang berbunyiوَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ (dan sesungguhnya engkau memiliki pahala yang tiada
terputus).
d. Memberikan
karunia kepada seseorang tanpa mengharap balasan. Dalam ayat ini (164) adalah
yang dimaksud dengan kata manna. Jadi maksudnya, Allah Ta’ala
memberikan karunia berupa diutusnya seorangRasul dari kalangan manusia
tanpa mengharap balasan dari hamba-Nya.
2. Mengapa dalam
ayat ini hanya disebutkan orang mukmin saja? Bukankah Rasulullah saw. itu
diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam? Jawabannya adalah karena orang yang
mampu menerima manfaat dari kenikmatan dan hidayah itu hanya orang mukmin. Maka
disini disebutkan khusus bagi orang mukmin, sebagai bentuk penghormatan dan
kemuliaan.
3. Para
ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata (مِنْ أَنْفُسِهِمْ):
a. Min
anfusihim dimaksudkan dari kalangan orang Arab. Karena kita tahu bahwa
Nabi Muhammad saw. diutus pertama kali di negeri Arab. Allah mengutus beliau
dari kalangan Arab sehingga mereka lebih memahami apa yang disampaikan oleh
beliau. Walaupun risalah beliau tidak khusus bagi orang arab.
b. Min
anfusihim dimaksudkan dari kalangan manusia. Allah mengutus Nabi dari
golongan manusia. Bukan jin atau malaikat. Karena kalau dari golongan selain
manusia, umat manusia akan kesulitan memahami apa yang disampaikan.
4. Tugas
seorang Rasul antara lain:
a. يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ kata talaa-yatlu-tilawatan mempunyai 2 makna:
1. Membacakan
ayat-ayat Allah, yaitu al-Qur`an kepada umatnya secara benar. Membaca
dengan tartil sesuai dengan tajwid, makhraj dan sifat-sifat
hurufnya. Dan sudah menjadi kebiasaan Rasulullah saw. tadarusan bersama dengan
Jibril setahun sekali. Di tahun Rasulullah meninggal, beliau tadarusan bersama
Jibril sebanyak dua kali. Hal ini dilakukan untuk menjaga keaslian al-Qur`an.
2. Rasulullah
saw. membuka pengetahuan umatnya, baik melalui bacaan al-Qur`an atau sabda
beliau, disamping hukum agama, juga tentang ayat-ayat kekuasaan Allah, agar
manusia mengimani-Nya dan mampu meningkatkan kualitas keimanannya.
b. يُزَكِّيهِمْ artinya: dan dia mensucikan mereka. Zakka yuzakki
tazkiyatan artinya membersihkan dan mensucikan. Makna asli tazkiyah
adalah membersihkan dan mensucikan dari segala noda, baik dhahir maupun batin.
Yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah membersihkan dari berbagai
kepercayaan-kepercayaan jahiliyah, atau pemahaman-pemahaman yang salah.
Rasulullah diutus kepada umat manusia untuk meluruskan mereka dari pemahaman,
pola hidup, kepercayaan, cara pikir yang tidak benar, dengan menegakkan amar
ma`ruf nahi mungkar dan menyebarkan kebenaran risalah Islam.
c. وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ artinya: dan dia mengajari Al-Kitab dan Al-Hikmah
kepada mereka. Maksudnya adalah Rasul bertugas mentransfer (memindahkan) ilmu
yang diberikan oleh Allah kepada beliau untuk umatnya. Ilmu tersebut
ada di dalam Al-Qur`an dan hadits. Al-Kitab di sini maksudnya adalah Al-Qur`an.
Al-Hikmah adalah Hadits. Secara umum, hikmah adalah setiap kalimat yang
mengandung kebaikan dan berguna sepanjang masa (tidak
lekang ditelan zaman).
5. Pengutusan
Nabi Muhammad saw. kepada manusia ini adalah suatu anugerah yang begitu besar.
Beliau datang membawa Islam dan mengubah kebiasaan-kebiasaan jahiliyyah mereka.
Mengentaskan mereka dari kegelapan berupa kesalahan cara berpikir, adat
istiadat, akhlak dan sebagainya. Kita tengok sejarah. Sebelum Islam datang,
mereka menganggap punya anak perempuan adalah sesuatu yang memalukan. Sehingga
mereka tega membunuh anak perempuan mereka sendiri dengan cara dikubur
hidup-hidup. Mereka mengelilingi ka’bah dalam keadaan telanjang bulat, sebab
mereka menganggap pakaian mereka telah dilumuri dosa. Karena masalah sepele,
peperangan antar kabilah bisa berkobar sampai bertahun-tahun. Contoh-contoh ini
hanyalah sebagian kecil saja dari kesesatan mereka sebelum Islam datang. Maka
hadirnya Islam di tengah manusia yang sangat jahiliyyah itu, seakan seperti
pelita di tengah kelamnya malam. Islam sangat memuliakan wanita. Wanita di
dalam Islam selalu dijaga dan dilindungi. Islam juga mengatakan bahwa setiap
manusia punya aurat yang harus ditutupi. Islam mengajarkan saling memaafkan dan
berbagai ajaran lainnya yang memuliakan manusia.
6. Dalam
ayat ini dapat kita ambil pelajaran tentang tiga prinsip dasar pendidikan.
Yaitu:
a. Tilawah.
Hal ini memberikan isyarat bahwa dalam pendidikan perlu diajarkan sebuah skill
atau yang sekarang dikenal dengan kemampuan afektif. Karena tilawah adalah
salah satu bentuk skill membaca yang sungguh sangat penting. Karena denganya
terbuka berbagai cakrawala pengetahuan. Dalam praktekanya, Rasulullah
menghasung umatnya untuk mengembangkan berbagai skill, seperti belajar memanah,
menunggang kuda, berenang, menguasai bahasa asing, dll.
b. Tazkiyah.
Hal ini menunjukkan perlu adanya pendidikan emosional atau yang dikenal dengan
istilah psikomotorik. Maka tidak heran jika Rasulullah selalu membina umatnya
tentang pentingnya akhlak-akhlak yang mulia, seperti jujur, pemaaf, tidak mudah
marah, sabar dan ridho terhadap sebuah musibah dll.
c. Ta’lim,
bisa disebut dengan kemampuan kognitif. Yaitu dengan adanya transfer ilmu
sehingga umat mempunyai kemampuan untuk berpikir dan mengamalkan.
Tiga
prinsip ini harus dimiliki oleh seorang pendidik. Entah itu guru, ustadz,
suami, istri, ayah, ibu atau yang lainnya.
7. Kebanyakan
orang tua hanya memikirkan bagaimana caranya supaya anak bisa mendapatkan
kecerdasan IQ dan prestaasi yang luar biasa, tetapi mereka melupakan kualitas
spiritual dan emosional mereka. Sehingga bila anak-anak belajar agama, mereka
hanya disuruh menghafal saja tanpa adanya pengamalan dan penghayatan dari apa
yang mereka lakukan. Mereka hafal cara berwudhu, shalat, dan sebagainya. Tetapi
hanya sebatas hafal sehingga apa yang mereka pelajari tidak berbekas apapun
dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, marilah kita didik anak-anak kita
dengan baik dan benar sesuai dengan Al-Qur`an dan hadits. Sebagai orang tua,
pendidik mereka yang pertama kali, kita harus mengarahkan mereka menjadi
tunas-tunas Islam yang berkualitas, yang mempunyai ilmu din Islam yang dalam,
disamping ilmu keduniaan. Tidak hanya berhenti sampai di situ. Tetapi juga
sampai pada tingkat mereka mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain.
Sebagaimana dikatakan oleh ulama Al-ilmu laisa lir riwayah walakin
lil amal. Ilmu itu bukan hanya diriwayatkan (ditransfer) saja.
Tapi perlu adanya pengamalan. Tidak ada gunanya hanya belajar saja tetapi
tidak mengamalkan ilmu tersebut.
8. Sebagai
orang tua ataupun guru, perlu adanya pemberian contoh yang benar selama
mengajarkan atau memerintah kebaikan kepada anak-anak. Sebab pemberian contoh
atau praktek dari seorang guru atau orang tua akan memberikan bekas yang lebih
mendalam didalam kepribadian anak-anak.
9. Kata-kata
jahiliyyah bukan hanya di masa sebelum Islam datang. Bahkan setelah Islam
datang, banyak bentuk kejahiliyahan dilakukan. Jahiliyyah adalah bentuk-bentuk
keadaan dan kelakuan di mana norma kebaikan sudah tak ada lagi di dalamnya. Di
era modern ini banyak sekali perbuatan jahiliyyah dilakukan.
10. Semakin
banyak ilmu din atau ilmu keduniaan seseorang, seharusnya dia semakin takut
pada Allah karena bisa membaca kekuasaan-Nya. Bukan semakin sombong dan semakin
jauh dari-Nya. Ibadahnya semakin banyak. Keikhlasannya selalu terasah. Kedekatannya
kepada Allah semakin tidak diragukan lagi. Karena di dalam setiap ilmu itu
menggambarkan betapa kuasanya Allah atas segala sesuatu. Sebagaimana Allah
berkalam, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama”(al-Fathir : 28).[2]
2. Surah Al-Maidah Ayat 67
Diantara ayat-ayat mengenai metode pengajaran yang
kami bahas adalah sebagai berikut :
يا أيها الرسول بلغ ما أنزل اليك من ربك وان لم تفعل فما
بلغت رسالته والله يعصمك من الناس ان الله لا يهدى القوم الكفرين
Artinya :
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu. Dan jika kamu tidak kerjakan (apa yang diperintahkan itu berarti)
kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)
manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir”.
Mufrodat
يَاأَيُّهَا
الرَّسُولُ :
Hai rasul
بَلِّغْ :
Sampaikanlah
مَا
أُنْزِلَ إِلَيْكَ :
Apa yang di turunkan kepadamu
مِنْ
رَبِّكَ :
Dari tuhanmu.
وَإِنْ
لَمْ تَفْعَلْ :
Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan
itu)
فَمَا
بَلَّغْتَ :
Kamu tidak menyampaikan
رِسَالَتَه :
Amanat-Nya
وَاللَّهُ
يَعْصِمُكَ :
Allah memelihara kamu
مِنَ
النَّاسِ :
Dari (gangguan) manusia
إِنَّ
اللَّهَ :
Sesungguhnya allah
لَا
يَهْدِي :
Tidak memberi petunjuk
الْقَوْمَ
الْكَافِرِينَ :
Kepada orang-orang yang kafir
Penjelasan
:
Allah berfirman yang ditujukan kepada hamba sekaligus
Rasul-Nya, Muhammad saw, atas nama kerosulan, serta menyuruhnya untuk
menyampaikan semua yang dibawanya dari Allah. Maka sungguh beliau telah
mentaati dan mengajarkan perintah itu dengan sempurna.
Dalam menafsirkan ayat tersebut, al-Bukhari mengatakan
dari ‘Aisyah: “Barang siapa yang menceritakan kepadamu bahwa Muhammad
menyembunyikan sesuatu dari apa yang telah diturunkan oleh Allah kepadanya,
sungguh orang itu telah berdusta. Sebab Allah SWT berfirman: ‘Hai Rasul,
sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu.’’’
Firman-Nya: “dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” Yakni,
jika engkau menyembunyikan satu ayat yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu,
berarti engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.
Firman Allah: “Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia.” Maksudnya, sampaikanlah risalah-Ku,
niscaya Aku akan menjaga, menolong dan mendukungmu dalam menghadapi
musuh-musuhmu, serta memenangkan dirimu atas mereka. Maka janganlah engkau
takut dan bersedih, karena tidak akan ada seorang pun yang dapat berlaku jahat
terhadap dirimu dan menyakitimu. Sebelum ayat ii turun Rasulullah dalam keadaan
dijaga (dikawal), sebagaimana Imam Ahmad berkata: ‘Aisyah memberitahuhkan,
bahwa Rasulullah pada suatu malam pernah tidak tidur malam, ketika itu ia
(‘Aisyah) berada ke sisi beliau. Ia berkata: ‘lalu kutanyakan: ‘Ya
Rosulullah, apa yang terjadi denganmu?’ Beliau menjawab: ‘Aku berharap
ada seorang yang shalih dari para sahabatku yang menjagaku pada malam ini.’
‘Aisyah berkata: ‘ketika dalam keadaan itu, tiba-tiba aku mendengar suara
senjata.’ Lalu beliau bertanya: ‘Siapa itu?’ orang itu menjawab: ‘Ini
aku, Sa’ad bin Malik.’ Beliau bertanya: ‘Apa yang menjadikanmu datang ke
sini?’ Ia menjawab: ‘Aku datang untuk menjagamu, ya Rosulullah.’
‘Aisyah berkata: ‘Maka aku pun mendengar suara tidur Rosulullah.’” (Al-Bukhari
dan Muslim juga meriwayatkan dalam ash-shahihain)
Firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” Maksudnya, sampaikanlah risalah
Rabbmu, sebab Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya, sebagaimana Allah
berfirman: “Bukanlah kewajibanmu memberi petunjuk kepada mereka, tetapi
Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikendaki-Nya,”
(QS. Al-Baqarah: 272)[3]
Thabathaba’i juga
membahas penempatan ayat ini, menegaskan bahwa ayat ini berbicara tentang satu
masalah agama yang sangat khusus, yang bila tidak disampaikan, maka ajaran
agama secara keseluruhan tidak beliau sampaikan. Thahir Ibn ‘Asyur menambahkan
bahwa ayat ini mengingatkan Rasul agar menyampaikan ajaran agama kepada Ahl
al-Kitab tanpa menghiraukan kritik dan ancaman mereka, apalagi teguran-teguran
yang dikandung oleh ayat-ayat lalu harus disampaikan Nabi saw. Itu merupakan
teguran keras, seperti banyak di antara mereka yang fasiq dan
frman-Nya: ”Apakah akan aku beritakan kepada kamu tentang yang lebih buruk
dari itu pembalasannya di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuk dan
dimurkai Allah” dan lain-lain teguran tegas ini, pada hakikatnya tidak
sejalan dengan sifat Nabi saw.[4]
3.
Surah Al-Nahl 125
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ
هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”
Penjelasan Ayat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hikmah
diartikan sebagai kebijaksanaan, kesaktian dan makna yang dalam. Secara bahasa
al-hikmah berarti ketepatan dalam ucapan dan amal. Menurut ar-Raghib,
al-hikmah berarti mengetahui perkara-perkara yang ada dan mengerjakan hal-hal
yang baik. Menurut Mujahid, al-hikmah adalah pemahaman, akal, dan kebenaran
dalam ucapan selain kenabian. At-Thabary mengatakan bahwa Hikmah dari Allah
SWT bisa berarti benar dalam keyakinan dan pandai dalam din dan akal
Kesimpulannya, jumhur mufasir menafsirkan kata hikmah dengan hujjah atau
dalil. Dari ungkapan para mufasir di atas juga dapat dimengerti, bahwa hujjah yang
dimaksud adalah hujjah yang bersifat rasional (‘aqliyyah/fikriyyah),
yakni hujjah yang tertuju pada akal. Sebab, para mufasir
seperti al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi
mengaitkan seruan dengan hikmah ini kepada sasarannya yang
spesifik, yakni golongan yang mempunyai kemampuan berpikir sempurna.Al-burhân
al-‘aqlî (argumentasi logis) yang di maksud adalah argumentasi
yang masuk akal, yang tidak dapat dibantah, dan yang memuaskan. Yang dapat
mempengaruhi pikiran dan perasaan siapa saja. Sebab, manusia tidak dapat
menutupi akalnya di hadapan argumentasi-argumentasi yang pasti serta pemikiran
yang kuat. Argumentasi logis mampu membongkar rekayasa kebatilan, menerangi
wajah kebenaran, dan menjadi api yang mampu membakar kebobrokan sekaligus
menjadi cahaya yang dapat menyinari kebenaran. Hikmah, memang,
kadangkala berarti menempatkan persoalan pada tempatnya; kadangkala jugaberarti
hujjah atau argumentasi. Dalam ayat ini, tidak mungkin ditafsirkan dengan makna
menempatkan persoalan pada tempatnya. Makna hikmah dalam ayat ini adalah hujah
dan argumentasi
Dakwah atau pengajaran dengan cara hikmah, umumnya
diberikan oleh seseorang untuk menjelaskan sesuatu kepada pendengarnya yang
ikhlas untuk mencari kebenaran. Hanya saja, ia tidak dapat mengikuti
kebenaran kecuali bila akalnya puas dan hatinya tenteram.[5]
2. Makna Mau‘izhah
Al-hasanah.
Sebagian mufasir menafsirkan mau’izhah hasanah (nasihat/peringatan
yang baik) secara global, yaitu nasihat atau peringatan al-Quran (mau’izhah
al-Qur’an). Demikian pendapat al-Fairuzabadi, as-Suyuthi, dan al-Baghawi.
Namun, as-Suyuthi dan al-Baghawi sedikit menambahkan, dapat juga maknanya
perkataan yang lembut (al-qawl ar-raqîq).
Merinci tafsiran global tersebut, para mufasir
menjelaskan sifat mau’izhah hasanahsebagai suatu nasihat yang
tertuju pada hati (perasaan), tanpa meninggalkan karakter nasihat itu yang
tertuju pada akal. Sayyid Quthub menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai
nasihat yang masuk ke dalam hati dengan lembut (tadkhulu ilâ al-qulûb
bi rifq). An-Nisaburi menafsirkanmau’izhah hasanah sebagai
dalil-dalil yang memuaskan (ad-dalâ’il al-iqna’iyyah), yang tersusun
untuk mewujudkan pembenaran (tashdîq) berdasarkan premis-premis yang
yang telah diterima.
Al-Baidhawi dan
Al-Alusi menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai seruan-seruan
yang memuaskan/meyakinkan (al-khithâbât al-muqni‘ah) dan
ungkapan-ungkapan yang bermanfaat (al-‘ibâr al-nâafi‘ah). An-Nawawi al-Jawi
menafsirkannya sebagai tanda-tanda yang bersifat zhanni(al-amârât
azh-zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan. Al-Khazin menafsirkan mau’izhah
hasanah dengan targhîb (memberi dorongan untuk
menjalankan ketaatan) dan tarhîb (memberikan
ancaman/peringatan agar meninggalkan kemaksiatan).
Dari berbagai tafsir itu, karakter nasihat yang
tergolong mau’izhah hasanah ada dua:Pertama,
menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan ungkapan yang
digunakan para mufasir, seperti an-Nisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, yakni
kata dalâ’il (bukti-bukti), muqaddimah (premis),
dan khithâb (seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi
akal untuk memahami. Kedua, menggunakan ungkapan yang tertuju pada
hati/perasaan. Terbukti, para mufasir menyifati dalil itu dengan aspek kepuasan
hati atau keyakinan. An-Nisaburi, misalnya, mengunakan kata dalâ’il
iqnâ‘iyyah (dalil yang menimbulkan kepuasan). Al-Baidhawi dan al-Alusi
menggunakan ungkapan al-khithâbât al-muqni‘ah (ungkapan-ungkapan
yang memuaskan). Adanya kepuasan dan keyakinan (iqnâ‘) jelas tidak akan
terwujud tanpa proses pembenaran dan kecondongan hati. Semua ini jelas
berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini atau puas terhadap sesuatu dalil.
Di antara upaya untuk menyentuh perasaan adalah menyampaikan targhîbdan tarhîb,
sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Khazin.[6]
4. Surah Ibrahim Ayat 24-25
ألم تر كيف ضرب الله مثلا كلمة طيبة كشجرة طيبة أصلها
ثابت وفرعها فى السماء –
)24 (تؤتى أكلها كل حين باذن ربها ويضرب الله الآمثال للناس
لعلهم يتذكرون -)25(
Artinya :
“Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah
telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik,akarnya
teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit”. (24). “Pohon itu memberikan buahnya
pada setiap musim dengan seizin Tuhan-Nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan
itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”. (25).
Penjelasan
Ayat
Wahai manusia, tidakkah kalian mengetahui bagaimana
Allah memberikan perumpamaan mengenai kalimat yang baik seperti pohon yang baik.
Kalimat yang baik adalah kalimat Tauhid, kalimat orang Islam dan kalimat
menyeru dalam Al-qur’an. Dan pohon yang baik itu adalah pohon kurma. Pohon
kurma disifati dengan 4 sifat, yaitu :
1. Pohon
yang baik itu adalah pohon yang enak dipandang baik bentuknya, baik aromanya,
baik buahnya, baik kegunaannya (buahnya lezat) dan memberikan manfaat yang
sangat besar.
2. Akarnya
teguh (sisa akarnya melekat dan kuat tidak akan tercabut).
3. Cabangnya
menjulang ke langit (keadaannya sempurna dapat memanjangkan daun), dan apabila
daunnya jatuh maka akan membusuk didalam tanah, untuk itu buahnya harus bersih
dari berbagai kotoran.
4. Pohon
itu memberikan buahnya setiap musim dengan seizin Tuhan-Nya (akan berbuah
setiap waktu dengan seizin Allah, kekuasaan-Nya, penciptaan-Nya dan
Anugerah-Nya), dan apabila pohon-pohon itu memberikan buahnya setiap waktu itu
sudah merupakan aturan musim.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa kalimat yang baik
itu seperti ucapan : dan pohon yang baik itu adalah pohon kurma, begitu pula
menurut Ibnu Mas’ud.
Diriwayatkan pula dari Anas Bin Amr dari Nabi Muhammad
SAW dan hadits Ibnu Amr yang diriwayatkan oleh Bukhori berkata : “Rasulullah
SAW bersabda : beritakan aku mengenai pohon yang menyerupai sifat orang-orang
muslim, yang daunnya tidak berguguran baik di musim panas ataupun musim dingin
dan memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhan-Nya. Ibnu Amr
berkata : sebagaimana terjadi pada diriku ketika Abu Bakar dan Umar melihat
pohon kurma, kami tidak dapat berbicara apapun, sampai-sampai kami tidak dapat
mengucapkan sesuatu. Rasulullah SAW berkata : itulah yang dinamakan pohon
kurma.
(ويضرب
الله الآمثال) Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk
manusia, supaya dapat menambah pemahaman dan akal fikiran juga gambaran
mengenai pohon kurma tersebut, karena makna-makna perumpamaan itu harus dapat
diterima oleh akal dengan perasaan yang melekat, menghilangkan sesuatu yang
tersembunyi dan keraguan didalamnya sehingga dapat menjadikan makna tersebut
sesuatu yang dapat disentuh oleh perasaan dan fikiran. Dalam hal ini, manusia
mengajak kita untuk memikirkan adanya kebesaran Allah dengan adanya
perumpamaan-perumpamaan ini, dan memikirkan hal-hal yang tersirat didalamnya
untuk dapat memahami tujuan dari makna-makna tersebut.[7]
5. Surah Al-Haqqah 1-3
الْحَاقَّةُ ١
Artinya:
“Hari kiamat”
Al Haaqaah menurut bahasa berarti yang pasti terjadi.
Hari kiamat dinamakan Al Haaqqah karena ia pasti terjadi dan akan menimpa
makhluk, akan menjelaskan hakikat berbagai perkara dan apa yang disembunyikan
dalam hati. Allah Subhaanahu wa Ta'aala memperbesar urusannya dengan
pengulangan kata-kata Al Haaqqah seperti yang anda lihat.
مَا الْحَاقَّةُ ٢ وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحَاقَّةُ ٣
Artinya:
“Apakah hari kiamat itu?
Dan tahukah kamu apakah hari Kiamat itu?”
Yakni sesungguhnya urusannya begitu besar dan dahsyat,
dimana di antara kedahsyatannya adalah bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala
membinasakan umat-umat yang yang mendustakan hari Kiamat dengan azab yang
segera. Selanjutnya, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan salah satu
contohnya yang terjadi dan dapat disaksikan di dunia, yaitu azab yang Allah
timpakan kepada umat-umat yang melampaui batas.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan
al-Wahidi, yang bersumber dari Buraidah. Hadits ini tidak sah sebagai asbabun
nuzul ayat di atas. Bahwa Rasulullah saw bersabda kepada ‘Ali bin Abi Thalib:
“Aku diperintahkan supaya menjadikan engkau orang terdekatku dan tidak
menjauhimu, serta supaya aku mengajarimu dan engkaupun mau memperhatikan
nasehatku, karena Allah telah mewajibkan kepadamu untuk memperhatikannya.”[8]
Menurut Buraidah, ayat ini (al-Haaqqoh: 12) turun
berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang menegaskan bahwa ayat-ayat Allah akan
diperhatikan oleh orang-orang yang mau memperhatikannya.[9]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengajar tidak hanya
memberikan pengetahuan dan pemahaman pada yang diajar, namun lebih diarahkan
pada pembentukan sikap, perilaku dan kepribadiannya. Mengingat perkembangan
komunikasi informasi dan kehadiran media cetak maupun elektronik tidak selalu
membawa pengaruh positif bagi masyarakat.
Al Qur'an merupakan
sumber utama ajaran Islam dan pedoman hidup bagi setiap muslim.
B. Saran
Penulis sadarakan kelemahan dan kekurangan dalam pembuatan
makalah ini, baik dalam segi mengurai materi
dan masih kurang dalam pengambilan contoh-contoh. Oleh sebab itu, penulis sangat
menerima masukan yang bersifat positif dengan harapan kesempurnaan makalah yang
akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah
bin Muhammad Alu Syaikh, Labaabut Tafsir Min Ibni Katsir, Terjemah ‘Abdul
Ghoffur, Jakarta: Pustaka Imam Asy-syafi’i. 2008
Ahmad Tafsir,
DR. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. PT. Remaja Rosdakarya:
Bandung. 1994
Al-Khazin, Lubab
At Ta’wil Fi Ma’ani AT Tanjil, Mawaqi’u At Tafasir, t-tp, tt.
Jafar
Abu At-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, op.cit.
M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian Al-qur’an,
Jakarta: Lentera Hati.2002
[1] Ahmad Tafsir,
DR. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. PT. Remaja Rosdakarya:
Bandung. 1994,hal 126
[2] M. Quraish Shihab,
Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian Al-qur’an, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), hlm 253-255
[3] M. Quraish Shihab,
Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian Al-qur’an, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), hlm 151-152
[4] Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, Labaabut Tafsir Min Ibni Katsir, Terjemah
‘Abdul Ghoffur, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-syafi’i, 2008), hlm, 154-156.
[5] Abu Jafar
At-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, op.cit., Hal. 269/5
6. Al-Khazin, Lubab At Ta’wil Fi
Ma’ani AT Tanjil, Mawaqi’u At Tafasir, t-tp, tt. Hal.223/IV
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian
Al-qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm 52-53
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian
Al-qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm 409-410
[9] Abdullah bin Muhammad
Alu Syaikh, Labaabut Tafsir Min Ibni Katsir, Terjemah ‘Abdul Ghoffur, (Jakarta:
Pustaka Imam Asy-syafi’i, 2008), hlm, 154-