Makalah Epistimologi Irfani dan Akhlak Menurut Al-Ghazali (Makalah Lengkap)
Mei 12, 2017
Epistimologi
irfani adalah salah satu model
penalaran yang dikenal dalam tradisi keilmuan islam, di samping bayani dan burhani. Epistimologi ini dikembangkan dan digunakan dalam
masyarakat sufi, berbeda dengan epistimologi burhani yang dikembangkan oleh para filsuf dan epistimologi bayani yang dikembangkan dan digunakan
dalam keilmuan-keilmuan islam pada umumnya.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Mungkin kita baru mengenal kata irfani. irfan sendiri berasal dari bahasa arab ‘arafa, semakna dengan makrifat, yang berarti pengetahuan, tetapi
berbeda dengan ilmu (‘ilm). Irfan
atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari
Tuhan (kasif) lewat olah ruhani (riyadhah) yang dilakukan atas dasar hub (cinta) atau iradah (kemauan yang kuat), sedangkan ilmu menunjukkan pada
pengetahuan yang diperoleh lewat tranformasi (naql) atau rasionalitas (aql).
Kata akhlak sudah sangat akrab di
tengah kehidupan kita. Mungkin hampir semua orang mengetahui arti kata akhlak
karena perkataan akhlak selalu dikaitkan dengan tingkah laku manusia. Akan
tetapi, agar lebih jelas dan meyakinkan, kata akhlak masih perlu untuk
diartikan secara bahasa maupun istilah. Dengan demikian, pemahaman terhadap
kata akhlak tidak sebatas kebiasaan praktis yang setiap hari kita dengar,
tetapi sekaligus dipahami secara filosof, terutama makna substansinya.
Sedangkan tasawwuf adalah
membersihkan hati dari apa yang mengganggu makhluk, berjuang meninggalkan
pengaruh budi yang asal kita memadamkan sifat-sifat yang merupakan kelemahan
kita, menjauhkan diri dari seruan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat kerohanian,
bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih
kekal.
B.
Rumusan
Masalah
1) Apa
yang dimaksud dengan epistimologi irfani?
2) Apa
yang dimaksud dengan akhlak menurut al-Ghazali?
C.
Tujuan
1) Untuk
mengetahui pengertian epistimologi irfani
2) Untuk
mengetahui akhlak menurut al-Ghazali
BAB II
PEMBAHASAN
A. IRFANI
Epistimologi irfani adalah salah satu model penalaran
yang dikenal dalam tradisi keilmuan islam, di samping bayani dan burhani.
Epistimologi ini dikembangkan dan digunakan dalam masyarakat sufi, berbeda
dengan epistimologi burhani yang
dikembangkan oleh para filsuf dan epistimologi bayani yang dikembangkan dan digunakan dalam keilmuan-keilmuan
islam pada umumnya.[1]
Secara singkat
dapat dikatakan bahwa epistimologi merupakan salah satu cabang filsafat yang
mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan. Dengan kata lain
epistimologi merupakan disiplin filsafat yang secara khusus hendak memperoleh
pengetahuan dengan pengetahuan.[2]
Dengan
kepustakaan yang membicarakan epistimologi terdapat sejumlah istilah yang
mempunyai pengertian sama atau hampir sama dengan pengertian yang di kandung
oleh epistimologi.[3]
Secara
etimologis, epistimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya
pengetahuan; logos biasanya dipakai
untuk menunjukkkan pengetahuan sistematik. Sehingga dapat disimpulkan
epistimologi adalah pengetahuan sistematik tentang pengetahuan.[4]
Istilah irfan sendiri berasal dari bahasa arab ‘arafa, semakna dengan makrifat, yang
berarti pengetahuan, tetapi berbeda dengan ilmu (‘ilm). Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang
diperoleh secara langsung dari Tuhan (kasif)
lewat olah ruhani (riyadhah) yang
dilakukan atas dasar hub (cinta) atau
iradah (kemauan yang kuat), sedangkan
ilmu menunjukkan pada pengetahuan yang diperoleh lewat tranformasi (naql) atau rasionalitas (aql).[5]
Kemudian, kata
ini lebih dikenal sebagai terminologi mistik dengan kata ma’rifah dalam pengertian “pengetahuan tentang Tuhan”. Sedangkan
pengetahuan irfan (pengetahuan
esoteris) adalah pengetahuan yang diperoleh qalb,
melalui kasyf, dan iyan (persepsi langsung).[6]
Menurut kalangan
irfaniun (para penganut nalar
gnostik), pengetahuan tentang Tuhan (hakikat Tuhan) tidak dapat diketahui
melalui bukti-bukti empiris rasional, tetapi dapat diketahui melalui pengalaman
langsung (mubasyarah). Untuk dapat
berhubungan langsung dengan Tuhan, seseorang harus mampu melepaskan diri dari
segala ikatan dengan alam yang menghalanginya. Dalam konsep irfani, Tuhan dipahami sebagai realitas
yang berbeda dan tidak berhubungan dengan alam. Sementara itu akal, indera dan
segala yang ada di dunia ini merupakan bagian dari alam sehingga tidaklah
mungkin mengetahui Tuhan dengan itu. Satu-satunya perangkat yang dapat
digunakan untuk mengetahui hakikat Tuhan adalah melalui nafs, sebab ia merupakan bagian dari Tuhan yang terlempar dari alam
keabadian dan terpasung kealam dunia. Ia akan kembali kepada-Nya apabila telah
terbebas dari berhubungan dengan alam dan bersih dari segala dosa.[7]
Konsep irfani ini kemudian dikembangkan oleh ashab al-Akhwal wa al-Syath sebagai mauqif yaitu keadaan dimana pemahaman
seseorang terhadap dirinya untuk menemukan jati diri yang sebenarnya sehingga
dia mampu melepaskan diri dari alam dan menyatu dengan Tuhan. Ketika bertemu
dengan Tuhan, segala hakikat yang lain tertanam dengan sendirinya di dalam
kalbunya. [8]
Hal diatas
tersebut, kemudian dikembangkan oleh ahli-ahli filsafat batini dan kalangan
Syiah Ismailiyah menjadi teori-teori pemikiran guna memberikan interprestasi
terhadap realitas alam, manusia, asal-usul, dan tujuan akhirnya. Pengetahuan
ini kemudian di klaim sebagai kebenaran tertinggi yang dapat dicapai oleh
manusia sebab langsung diberikan oleh Tuhan.[9]
B.
AKHLAK
Istilah akhlak
sudah sangat akrab di tengah kehidupan kita. Mungkin hampir semua orang
mengetahui arti kata akhlak karena perkataan akhlak selalu dikaitkan dengan
tingkah laku manusia. Akan tetapi, agar lebih jelas dan meyakinkan, kata akhlak
masih perlu untuk diartikan secara bahasa maupun istilah. Dengan demikian,
pemahaman terhadap kata akhlak tidak sebatas kebiasaan praktis yang setiap hari
kita dengar, tetapi sekaligus dipahami secara filosof, terutama makna
substansinya. [10]
Kata akhlak berasal
dari bahasa Arab, yaitu jama’ dari
kata “khulukun” yang secara
linguistik diartikan dengan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat,
tatakrama, sopan santun, adab, dan tindakan. Kata akhlak juga berasal dari kata
“khalaqa” atau “khalqun”, artinya kejadian, serta erat hubungannya dengan “khaliq”, artinya menciptakan, tindakan
atau perbuatan, sebagaimana terdapat kata “al-khaliq”,
artinya pencipta dan makhluk, artinya yang diciptakan.[11]
Sedangkan yang
dimaksud ilmu akhlak dalam arti istilah adalah:
1.
Menurut al-Ghazali adalah
“sifat yang tertanam dalam jiwa
yang menimbulkan berbagai jenis perbuatan dengan gampang dan mudah, dengan
tidak membutuhkan pertimbangan dan perenungan”.
2.
Menurut ibn Maskawih adalah
“sifat yang
tertanam dalam jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa
melalui pemikiran dan pertimbangan”.[12]
Dengan
definisi-definisi diatas, maka akhlak dapat digambarkan sebagai berikut: pertama,
akhlak adalah perbuatan yang
tertancap dalam jiwa manusia secara kuat dan mendalam sehingga telah menjadi
watak, karakter dan kepribadiannya. Sehingga ketika seorang mempunyai akhlak
tertuntu maka dia akan memperlihatkan sifat dan perangai yang disandang
kepadanya. [13]
Kedua, akhlak seseorang bersifat mudah untuk
dikerjakan. Ciri ini menggambarkan bahwa seorang yang memiliki akhlak tertentu
maka dia dengan mudah melakukannya tanpa di paksa dan di suruh sekalipun,
karena pekerjaan itu telah menjadi kebiasaan sehari-hari.[14]
Ketiga, adalah
bahwa akhlak adalah sifat, perangai
yang ketika akan melaksanakannya tidak memerlukan pertimbangan dan pemikiran.[15]
Dengan demikian
yang dimaksud Ilmu Akhlak adalah ilmu yang mempelajari sifat/ perbuatan/
amalan/ perilaku yang menghasilkan keutamaan dan kemuliaan serta cara-cara yang harus ditempuh untuk
mencapainya, disamping itu, dia juga mempelajari sifat/ perbuatan/ amalan/
perilaku yang mengakibatkan kehinaan dan kerendahan.[16]
Dalam banyak
riwayat disebutkan bahwa, ketinggian dan keluhuran akhlak sangat menentukan
derajat manusia baik di hadapan Allah maupun di hadapan sesama manusia. Karena akhlak
dapat menjadikan seseorang dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang menjadi
tanggung jawab sebagai seorang muslim.[17]
Ada dua macam
akhlak yang harus kita ketahui yaitu:
a) Akhlak
Terpuji
Yang dimaksud
dengan akhlak yang terpuji adalah sikap/perilaku dan perbuatan yang
mendatangkan manfaat dan kebaikan kepada diri sendiri dan makhluk lainnya. Nabi
Muhammad SAW sebagai pembawa dan penyampai risalah terakhir ketauhidan menjadi
mukjizat wajah dunia ( terutama bangsa Arab pada saat itu) dari kejahiliyahan
menjadi bangsa yang terang benderang, beradab dan penuh dengan rasa kemanusiaan
dan kecintaan antara sesama.[18]
Akhlak yang
terpuji sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah Muhammad SAW dapat di bagi
menjadi tiga yaitu:
·
Akhlak kepada Allah
Akhlak kepada Allah adalah sifat,
perilaku dan perbuatan yang baik dan terpuji dalam hubungan seseorang dengan
Allah. Akhlak ini mencakup segala bentuk pengabdian dan peradaban seorang hamba
kepada Allah dalam bentuk keyakinan, ucapan, dan perbuatan. Dalam bentuk
keyakinan, akhlak kepada Allah segala bentuk kepercayaan, keyakinan dan
keimanan yang benar kepada Allah SWT.
·
Akhlak kepada sesama manusia, adalah
semua sifat, perilaku seseorang yang baik dengan hubungannya dengan manusia
lain.
·
Akhlak kepada hewan dan lingkungan
sekitar
Islam mengajarkan agar ummatnya
menjaga alam sekitar dan memperlakukan hewan dengan tidak kasar.[19]
b) Akhlak
Tercela
Yang dimaksud
dengan akhlak tercela adalah sifat, perilaku dan perbuatan yang merugikan
kepada diri sendiri dan orang lain. Dalam pandangan al Ghazali, akhlak yang
tercela disebut dengan al mazdmumah,
yaitu segala perilaku yang dicela oleh Allah dan oleh makhluk.[20]
Dalam alquran
disebutkan, bahwa manusia memiliki akhlak tercela karena ia memiliki nafsu yang
mengajaknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah.[21]
Macam-macam
akhlak tercela antaranya sebagai berikut:
·
Menceritakan kejelekan/kejahatan orang
lain
·
Sombong
·
Iri dan Dengki.[22]
C.
TASAWWUF
Terdapat
beberapa pendapat dari para ahli tentang asal muasal kata tasawwuf, yaitu:
Pertama, mereka
yang menyatakan bahwa tasawwuf berasal dari kata Ahlu Suffaah yaitu dinisbatkan kepada sebagian sahabat Rasulullah
SAW yang hidupnya selalu menempati ruangan-ruangan di serambi masjid Rasulullah
di Madinah. Mereka makan, minum, tidur di serambi masjid ini. Mereka memusatkan
perhatian dalam hidupnya untuk beribadah kepada Allah untuk mencari
keridhaannya.[23]
Kedua, kata
tasawwuf berasal dari kata shafa yang
berarti bersih/suci. Kata ini dinisbatkan kepada orang-orang yang selalu
menjaga kebersihan dan kesucian hatinya dengan selalu menjauhi segala bentuk
pelanggaran dan kemaksiyatan kepada Allah serta selalu melakukan ketaatan
kepada Allah.[24]
Ketiga, mereka
yang menyatakan bahwa tasawwuf berasal dari kata shaff, yang dinisbatkan kepada barisan perang. Mereka kaum Sufi,
mereka yang selalu berada di shaf depan dalam sholat bersama Rasulullah.[25]
Keempat, mereka
menyatakan bahwa tasawwuf berasal dari kata saufi
yang berarti kebijaksanaan. Kata ini dinisbatkan kepada kaum Sufi yang
selalu cinta kepada kebenaran dan kebijaksanaan.[26]
Kelima, mereka
yang menyatakan bahwa kata tasawwuf berasal dari shuff yang berarti bulu domba. Kata ini dinisbatkan kepada kaum Sufi
yang dalam kesehariannya selalu menggunakan kain shuff, yaitu kain kasar terbuat dari bulu domba.[27]
Keenam, mereka
yang menyatakan bahwa tasawwuf berasal dari kata shaufanah, yaitu buah-buahan kecil yang berbulu banyak yang tumbuh
di padang pasir. Ini juga dinisbatkan kepada kehidupan kaum Sufi yang selalu
sederhana.[28]
Adapun pengertian
tasawwuf dari segi istilah, Dalam perspektif ini tasawwuf dapat memiliki
berbagai definisi yang bergantung kepada sudut pandang para ahli. Abu Bakar
Al-Kattani menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tasawwuf adalah
penyangkalannya pada pendapat bahwa tasawwuf dalam bentuk dari ilmu. Ia
menyatakan bahwa tasawwuf adalah moral. Demikian juga menurut Abil Husain al
Nuri yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tasawwuf bukan merupakan
disiplin ilmu tapi merupakan moral, karena kalau tasawwuf merupakan suatu
bentuk ilmu maka dapat dicapai dengan cara belajar. sedangkan tasawwuf adalah berakhlak dengan akhlak. Tuhan yang
tidak dapat dicapai dengan ilmu atau gambaran.[29]
Al Junaid
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tasawwuf adalah membersihkan hati dari
apa yang mengganggu makhluk, berjuang meninggalkan pengaruh budi yang asal kita
memadamkan sifat-sifat yang merupakan kelemahan kita, menjauhkan diri dari
seruan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat kerohanian, bergantung pada ilmu-ilmu
hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih kekal.[30]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1) Epistimologi
irfani adalah salah satu model
penalaran yang dikenal dalam tradisi keilmuan islam, di samping bayani dan burhani. Epistimologi ini dikembangkan dan digunakan dalam
masyarakat sufi, berbeda dengan epistimologi burhani yang dikembangkan oleh para filsuf dan epistimologi bayani yang dikembangkan dan digunakan
dalam keilmuan-keilmuan islam pada umumnya.
2) Menurut
al-Ghazali adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan berbagai
jenis perbuatan dengan gampang dan mudah, dengan tidak membutuhkan pertimbangan
dan perenungan.
B.
Saran
Saya
harapkan dengan makalah ini penulis dan pembaca dapat lebih mengenal tantang irfani: 1) Akhlak, 2) Tasawwuf. Dan saya
sangat berharap kritik dan sarannya karena saya juga sambil belajar dan
memahami materi ini dan mengupayakan untuk menerapkan jika sudah tepat pada
waktunya.
DAFTAR PUSTAKA
Sholichin, Mohammad Muchlis. Ilmu Akhlak Dan Tasawwuf. pamekasan: STAIN Pamekasan, 2009
Sholichin, Mohammad Muchlis. Akhlak Dan Tasawwuf Dalam Wacana Kontemporer. Surabaya: Pena
Salsabila, 2014
Soebani, Beni Ahmad. Ilmu Akhlak. Bandung: Pustaka Setia,
2010
Soleh, Khudori. Filsafat
Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2014
Susanto, Edi. Dimensi
Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016
Wahyudi, Imam Pengantar
Epistimologi, Yogyakarta: Badan Penerbit Filsafat UGM, 2007
[1]
Khudori Soleh, Filsafat Islam,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2014), hlm, 253
[2] Imam Wahyudi Pengantar Epistimologi, (Jogyakarta: Badan Penerbit Filsafat UGM,
2007), hlm, 1
[3] Imam Wahyudi Pengantar Epistimologi, hlm, 1
[4] Imam Wahyudi Pengantar Epistimologi, hlm, 1
[5]
Khudori Soleh, Filsafat Islam,
hlm, 253
[6]
Edi Susanto, Dimensi Studi Islam
Kontemporer, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hlm, 116
[7]
Edi Susanto, Dimensi Studi Islam
Kontemporer, hlm, 117
[8]
Edi Susanto, Dimensi Studi Islam
Kontemporer, hlm, 118
[9]
Edi Susanto, Dimensi Studi Islam
Kontemporer, hlm, 118
[10] Beni Ahmad Soebani, Ilmu Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia,
2010), hlm, 13
[11]
Beni Ahmad Soebani, Ilmu Akhlak,
hlm, 13
[12] Mohammad Muchlis Sholichin, Ilmu Akhlak Dan Tasawwuf, (pamekasan:
STAIN Pamekasan, 2009), hlm, 3
[13] Mohammad Muchlis sholichin, Akhlak Dan Tasawwuf Dalam Wacana Kontemporer,
(Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm, 4-5
[14] Mohammad Muchlis sholichin, Akhlak Dan Tasawwuf Dalam Wacana Kontemporer,
hlm, 5
[15] Mohammad Muchlis sholichin, Akhlak Dan Tasawwuf Dalam Wacana Kontemporer,
hlm, 5
[16] Mohammad Muchlis sholichin, Akhlak Dan Tasawwuf Dalam Wacana Kontemporer,
hlm, 6
[17] Mohammad Muchlis sholichin, Akhlak Dan Tasawwuf Dalam Wacana Kontemporer,
hlm, 6
[18] Mohammad Muchlis sholichin, Akhlak Dan Tasawwuf Dalam Wacana Kontemporer,
hlm, 64
[19] Mohammad Muchlis sholichin, Ilmu Akhlak Dan Tasawwuf, hlm, 75-81
[20] Mohammad Muchlis sholichin, Akhlak Dan Tasawwuf Dalam Wacana Kontemporer,
hlm, 89
[21] Mohammad Muchlis sholichin, Akhlak Dan Tasawwuf Dalam Wacana Kontemporer,
hlm, 89
[22] Mohammad Muchlis sholichin, Akhlak Dan Tasawwuf Dalam Wacana Kontemporer,
hlm, 89-100
[23] Mohammad Muchlis sholichin, Akhlak Dan Tasawwuf Dalam Wacana Kontemporer,
hlm, 117
[24]
Mohammad Muchlis sholichin, Ilmu
Akhlak Dan Tasawwuf, hlm, 106
[25]
Mohammad Muchlis sholichin, Ilmu
Akhlak Dan Tasawwuf, hlm, 107
[26]
Mohammad Muchlis sholichin, Ilmu
Akhlak Dan Tasawwuf, hlm, 107
[27]
Mohammad Muchlis sholichin, Ilmu
Akhlak Dan Tasawwuf, hlm, 107
[28]
Mohammad Muchlis sholichin, Ilmu
Akhlak Dan Tasawwuf, hlm, 108
[29]
Mohammad Muchlis sholichin, Akhlak
Dan Tasawwuf Dalam Wacana Kontemporer, hlm, 119
[30]
Mohammad Muchlis sholichin, Akhlak
Dan Tasawwuf Dalam Wacana Kontemporer, hlm, 120