Pengertian Jujur disertai dengan Ayat Al-Qur’an dan Hadits

Jujur adalah mengatakan sesuatu apa adanya. Jujur lawannya dusta. Berdusta adalah menyatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Ada pula yang berpendapat bahwa jujur itu tengah-tengah antara menyembunyikan dan harus terang. Dengan demikian, jujur berarti keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka di katakan benar atau jujur, tetapi kalau tidak maka di katakan dusta.


     A.    Jujur
a.      Pengertian jujur
                        Dalam bahasa Arab, merupakan terjemahan dari kata siddiq yang artinya benar, dapat di percaya. Dengan kata lain jujur adalah perkataan dan perbuatan sesuai kebenaran. Jujur merupakan induk dari sifat terpuji (makhmudah). Jujur juga di sebut dengan benar atau sesuai dengan kenyataan seperti yang tertera dalam QS. At-Taubah ayat 119 :
ياأيهاالذين أمنوااتقوالله وكونوامع الصادقين
            Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah bersama-sama orang yang jujur” (Al-Taubah:119)
                        Jujur adalah mengatakan sesuatu apa adanya. Jujur lawannya dusta. Berdusta adalah menyatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Ada pula yang berpendapat bahwa jujur itu tengah-tengah antara menyembunyikan dan harus terang. Dengan demikian, jujur berarti keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka di katakan benar atau jujur, tetapi kalau tidak maka di katakan dusta.
                        Menurut Ibnu Katsir QS. Al-Taubah ayat 119 mengajarkan kepada kita untuk berlaku jujurlah dan terus berpegang dengan sikap jujur. Bersungguh-sungguhlah kalian menjadi orang jujur, jauhilah perilaku dusta yang dapat mengantarkan pada kebinasaan. Semogakalian mendapatkan kelapangan dan jalan keluar atas perilaku jujur tersebut.[1]
                        Di antara ciri benar atau jujur menurut al-Muhasibi adalah mengharapkan ke ridhoan Allah SWT. semata dalam semua perbuatan, tidak mengharapkan imbalan dari mahluk, dan benar dalam ucapan. Apa yang dituturkan al-Muhasibi sejalan dengan apa yang di katakan al-Ghazali. Ia menegaskan bahwa benar atau jujur yang sempurna adalah hendaklah seseorang menghilangkan sifat riya’ dari dirinya, sehingga bagi dirinya tidak ada perbedaan antara orang yang memuji dan mencelanya. Sebab, ia tahu bahwa yang memberikan manfaat atau bahaya hanyalah Allah SWT. Semata, sementara mahluk tidak memberikan apa-apa.[2]
        Dasar perintah berlaku benar atau jujur adalah:
عن ا بن مسعود رضي الله عنه٬ عن النبي صلى الله عليه وسلم قال (ان الصدق يهدي الى البر٬ وان البر يهدي الى الجنة٬ وان الرجل ليصدق حتى يكتب عندالله صديقا٬ وان الكذب يهدي الى الفجور٬ وان الفجوريهد الى النار٬ وان الرجل ليكذب حتى يكتب عندالله كذابا) متفق عليه.
Artinya: “Sesungguhnya kata benar itu menunjukkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan kepada surga dan sesungguhnya seseorang itu niscayalah berkata benar, sehingga dicatatlah ia di sisi Allah sebagai seorang yang ahli berkata benar. Dan sesungguhnya kata dusta itu menunjukkan kepada kecurangan dan sesungguhnya kecurangan itu menunjukkan kepada neraka dan sesungguhnya seseorang itu niscayalah berkata dusta sehingga dicatatlah ia di sisi Allah sebagai seorang yang ahli berkata dusta." (Muttafaq 'alaih).
                        Hadist diatas menjelaskan keharusan berlaku jujur dan dampaknya yaitu kejujuran akan membawa seseorang untuk selalu berbuat baik dan sudah barang tentu kebaikan adaklah jalan untuk masuk surga. Dan menjelaskan keharusan untuk meninggalkanperbuatan dusta dan menelaskan pula dampaknya. Yaitu perbuatana dusta akan selalu membawa kejahatan dan kejahatan itu mengantarkan ke neraka.
Rasulullah SAW. bersabda:
دع مايريبك ٳلى مالايريبك فٳن الصدق طمٲنينة والكذب ريبة. (رواه الترمذى)
Artinya: “tinggalkan apa yang engkau ragu-ragukan pada apa yang tidak engkau ragu-ragukan. Sesungguhnya kebenaran itu membawa pada ketenangan dan dusta itu menimbulkan keragu-raguan.”
        Jika kebenaran dan kejujuran telah membudaya dalam suatu masyarakat, akan terlihat suatu kehidupan yang serasi (harmonis), aman, dan damai dalam masyarakat itu. Seseorang yang benar-benar mukmin selalu berkata benar dan berpegang teguh pada apa yang di ucapkan dan Allah SWT. akan meneguhkan pendiriannya.

     b.      Bentuk-bentuk kejujuran
     Adapun bentuk macam pengelompokan kejujuran adalah sebagai berikut:
1)      Jujur niat dan kemauan
        Niat adalah melakukan sesuatu yang dilandasi motifasi dalam kerangka hanya mengharap ridha Allah SWT. Nilai sebuah amal dihadapan Allah SWT, sangat ditentukan oleh niat atau motifasi seseorang. Rasulullah SAW dalam sebuah hadist yang sangat populer menyatakan bahwa sesungguhnya segala amal manusia ditentukan oleh niatnya. Selain itu, seorang muslim harus senantiasa menimbang dan menilai segala sesuatu yang akan di lakukan apakah benar dan bermanfaat. Apabila sudah yakin akan kebenaran dan kemanfaatan sesuatu yang akan di lakukan, maka tanpa ragu-ragu lagi akan di lakukan
2)      Jujur dalam perkataan
        Jujur dalam pertuturan kata adalah bentuk kejujuran yang paling populer di tengah masyarakat. Orang yang selalu berkata jujur akan di kasihi oleh Allah SWT dan di percaya oleh orang lain. Sebaliknya, orang yang berdusta meski Hanya sekali apabila sering berdusta maka akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat.
3)      Jujur ketika berjanji
   Seorang muslim yang jujur akan senantiasa menepati janji-janjinya kepada siapapun,meskipun terhadap anak kecil. Sementara itu, Allah memberi pujian orang-orang yang jujur dalam berjanji. Dia menguji Nabi Ismail a.s. yang menepati janjinya sebagai berikut.
واذكرفى الكتب ٳسمعيل ٳنه كا ن صادق الوعدوكا ن رسولانبيا.
Artinya:”dan ceritakanlah (hai Muhammad) kisah ismail di dalam al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang jujur janjinya, dan dia adalah seorang Rasul dan Nabi” (Qs. Maryam[19]:54)
4)      Jujur dalam bermu’amalah
     Jujur dalam niat, lisan dan jujur dalam berjanji akan sempurna jika tidak di lengkapi dengan jujur ketika berinteraksi atau bermu’amalah dengan orang lain. Seorang muslim tidak pernah menipu, memalsu, dan berkhianat sekalipun tehadap non muslim. Ketika menjual tidak akan mengurangi takaran dan timbangan. Pada saat membeli tidak akan memperberat timbangan dan menambah takaran.
5)      Jujur dalam berpenampilan sesuai dengan kenyataan
     Seseorang yang jujur akan senantiasa menampikan diri apa adanya sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.[3]

     B.     Menepati Janji
1)      Pengertian menepati janji
          Dalam islam, janji merupakan utang. Utang harus dibayar (ditepati). Kalau kita mengadakan suatu perjanjian pada hari tertentu, kita harus menunaikannya tepat pada waktunya. Janji mengandung tanggung jawab. Apabila tidak kita penuhi atau tidak kita tunaikan dalam pandangan Allah SWT. kita termasuk orang yang berdosa. Adapun dalam pandangan manusia, mungkin kita tidak dipercaya lagi, dianggap remeh, dan sebagainya. Akhirnya, kita merasa canggung, merasa rendah diri, jiwa gelisah, dan tidak tenang.
          Disamping sebagai perintah agama, menepati janji dalam pandangan Al-Mawardi (386-450 H) merupakan salah satu kewajiban seorang pemimpin, bahkan menjadi tonggak berdirinya pemerintahan yang dipimpinnya. Sebab, jika seorang pemimpin tidak dapat dipercaya dengan janjinya terjadi banyak pembangkangan dari rakyat. Dengan demikian, tonggak pemerintah pun terancap roboh.
            Rasulullah SAW. bersabda:
عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ايةالمنافق ثلاث٬٬ اذاحدث كذب واذاوعداخلف٬ واذٲتمن خان٬ؘ٬متفق عليه. زادفي رواية المسلم٬٬ وان صاموصلى وزعم انه مسلم ٬٬
Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tandanya orang munafik itu ada tiga,yaitu: jikalau ia berbicara berdusta, jikalau ia berjanji menyalahi dan jikalau ia dtpercaya berkhianat." (Muttafaq 'alaih).la menambahkannya dalam riwayat Imam Muslim: "Sekalipun   orang   itu   berpuasa   dan   bersembahyang   dan mengaku bahwa dirinya adalah seorang Muslim".
            Firman Allah dal surat al-Isra’:34
ولاتقربوامالاليتيمالابالتيهيٲحسن حتى يبلغ اشده واوفوابالعهد ۚ ان العهد كان مسئولا

Artinya:”dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai dia dewasa, dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggung jawabannya”
Dan Rasulullah bersabda:
وعن عبد الله بن العاهى رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:اربع من كن فيه كان منا فقا خالصىا٬ ومن كا نت فيه خصلة. منهن كا نت فيه خصلة من النفاق حتى بدعها :اذاؤتمن خان ٬واذاحدثكدب واذاعاهد غدر واذاخاهم فجر٬٬ متفق عليه
Artinya:”Dari Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash radhiallahu 'anhuma bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Ada empat perkara, barangsiapa yang empat perkara itu semuanya ada di dalam dirinya, maka orang itu adalah seorang munafik yang murni - yakni munafik yang sebenar- benarnya - dan barangsiapa yang di dalam dirinya ada satu perkara dari empat perkara tersebut, maka orang itu memiliki pula satu macam perkara dari kemunafikan sehingga ia meninggalkannya, yaitu: jikalau dipercaya berkhianat, jikalau berbicara berdusta, jikalau berjanji bercidera yakni tidak menepati dan jikalau bertengkar maka ia berbuat kecurangan  yakni tidak melalui jalan yang benar lagi." (Muttafaq 'alaih).
Keterangan: Nifaq atau kemunafikan adalah suatu sifat yang ada di dalam hati manusia dan tidak dapat diketahui oleh orang lain. Kemunafikan adalah suatu penyakit rohani yang tidak dapat disembuhkan kecuali oleh orang itu sendiri. Kita dapat mengetahui seseorang itu dihinggapi oleh penyakit kemunafikan, hanyalah semata-mata dari tanda-tandanya yang lahiriyah belaka.

2)      Macam-macam menempati janji
          Sayyid Ridha dalam tafsir al-Manar, membagi janji itu ke dalam tiga bagian, yaitu:
1.      Janji kepada Allah SWT.
            Ketika kita menjalankan shalat pada do’a iftitah kita mengucapkan:
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, hanyalah untuk Allah tuhan semesta Alam”. Ini adalah merupakan janji manusia yang harus ditepati. Yakni dengan jalan melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya. Yang menurut syari’ah dinamakan taat, karena manusia ataupun jin diciptakan manusia untuk beribadah kepadanya.
2.      Janji kepada diri sendiri
     Misalnya: seorang mahasiswa mengatakan, “jika saya lulus ujianku, aku akan menyembelih kambing untuk diberikan kepada orang lain”.
Seorang yang sakit yang serius, kala itu dia mengucapkan jika aku sembuh dari penyakitku, aku akan berpuasa tiga hari”. Kedua hal itu merupakan janji manusia terhadap diri sendiri yang harus ditunaikan, yang dalam bahasa agama disebut dengan nadzar. Ini harus dilaksanakan karena Allah telah berfirman: “ Dan hendaklah menyempurnakan(memenuhi) nadzar mereka”. (Qs.al-Hajj:29). Tentu saja nadzar yang harus dipenuhi adalah nadzar yang tidak menyimpang dari syari’at agama Islam. Tapi misalnya ada orang yang mengatakan, “kalau saya lulus ujian, saya akan potong tangan Ibuku”. Itu haram dilaksanakan, karena manusia oleh Allah tidak diperkenankan untuk menyiksa diri sendiri ataupun orang lain.
3.      Janji terhadap manusia
              Ini banyak ragamnya. Ada yang berjanji dengan seseorang untuh hidup semati, ada yang janji mau membayar hutang setelah rumahnya laku terjual, ada yang janji memberangkatkan haji kepada orang tuanya nanti setelah proyeknya selesai dll.
     Dan janji ini berlaku dalam berbagai segi kehidupan, sejak di lingkungan keluarga, kehidupan dalam masyarakat hingga urusan kenegaraan. Yang jelas, selagi orang bergaul dan saling membutuhkan dan sementara apa yang di butuh kan belum terwujud, maka janjilah yang dianggap sebagai solusi sementaranya.

      C.    Hikmah berprilaku jujur dan menepati janji
a.       Beberapa hikmah menepati janji
1.      Dengan menepati janji, kita terhindar dari sifat munafik. Sebab, prilaku orang yang munafik salah satunya adalah ingkar janji.
2.      Dengan menepati janji dapat menjadi jalan untum masuk surga firdaus. Surga firdaus ini hanya untuk diperuntukkan bagi orang yamg memiliki sifat-sifat baik.
3.      Dengan menepati janji kita akan terbebas dari tuntutan baik dunia maupun di akhirat.setiap janji akan di minta pertanggung jawabannya.
4.      Dengan menepati janji, kita meneladani sifat Allah, yang tidak pernah mengingkari janji-Nya.
5.      Dengan menepati janji, kita akan dipercayai orang lain. Salah satu sifat Nabi SAW. yang mengantarkannya dipilih Allah menjadi Nabi dan Rasul-Nya adalah karena ia adalah orang yang terpercaya.
6.      Dengan menepati janji, kita akan menjadi pribadi yang berwibawa, tidak di lecehkan, dan akan mendapatkan prasangka baik dari orang lain.
7.      Dengan menepati janji kita akan terhindar dari dosa besar dan akan meraih keutamaan. Mengingkari janji antara sesama muslim hukumnya haram, sekalipun terhadap orang kafir, lebih-lebih terhadap sesama muslim. Jadi, memenuhi janji termasuk keutamaan, sedangkan mengingkarinya dosa besar.
8.      Dengan menepati janji, jalinan antar invidu akan terjalin harmonis dan semakin erat. Menepati janji merupakan wujud dari memuliakan, menghargai, dan menghormati manusia.
9.      Dengan menepati janji, kita di golongkan menjadi golongan Nabi Muhammad SAW.
b.      Ada beberapa hikmah perilaku jujur yang dapat kita petik antara lain sebagai berikut:
1.      Perasaan nyaman dan hati teneng, jujur akan membuat kita menjadi tenag, nyaman, tidak takut akan di ketahui kebohongannya karna memang tidak berbohong.
2.      Memperoleh kemudahan dalam hidupnya.
3.      Selamat dari azab dan bahaya
4.      Di jamin masuk surga
5.      Di cintai oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
     Kita harus menanamkan kesadaran pada diri kita untuk selalu berprilaku jujur baik kepada Allah SWT., orang lain, maupun diri sendiri. Jika kita sudah terbiasa berprilaku jujur, kita akan mendapatkan hikmah yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin memang sulit, tapi harus kita lakukan agar hidup kita menjadi berkah baik di dunia maupun di akhirat.



[1]Mengenai Saya,” Makalah tentang perilaku jujur”, Maklahku, di akses dari maklahku.blogspot.co.id/2017/01/makalah-tentang-perilaku-jujur.html?=1, pada tanggal 16 Maret 2017 jam 13:45

[2]Rosihon Anwar, AkhlakTasawuf(Bandung: CV PustakaSetia, 2010), hlm. 102.
[3]Imam Abdul Mukmin Sa’aduddin, meneladani akhlak nabi membangun kepribadian muslim(Bandung: Rosdakarya, 2006), hlm. 189-191.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel