Pengertian Akhlak serta Ayat dan Hadits tentang Akhlak

Pengertian Akhlak serta Ayat dan Hadits tentang Akhlak, Ibn Miskawaih (w. 421 H/ 1030 M), yang terkenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk mwlakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Jika membahas perihal akhlak, maka timbullah pertanyaan tentang etika, moral dan sopan santun. Apakah sama diantara akhlak dengan etika, moral dan sopan santun?
Menurut Ki Hajar Dewantara mendefinisikan etika adalah sebagai ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan kejelekan didalam hidup manusia semuanya, terutama mengenai gerak gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.

Sedangkan perihal moral, James Rachels mengemukakan moral dengan menggambarkan suatu konsep minimum bahwa moralitas adalah usaha untuk membimbing tindakan seseorang dengan aka yaitu untuk melakukan apa yang paling baik menurut akal, seraya memberi bobot yang sama menyangkut kepentingan setiap indvidu yang akan terkena dengan tindakan itu. Rachels menekankan pada fungsi akal menentukan apakah suatu perbuatan bermoral atau tidak.

     A.   Pengertian Akhlak
Kata “akhlaq” berasal dari bahasa Arab, yaitu jama’ dari kata “khuluqun” yang secara linguistik diartikan dengan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, tata krama, sopan santun, adab, dan tindakan. Kata “akhlak” juga berasal dari kata “khalaqa” atau “khalqun”, artinya kejadian, serta erat hubungannya dengan “khaliq”, artinya menciptakan, tindakan atau perbuatan, sebagaimana terdapat kata “al-khaliq”, artinya pencipta dan “makhluq”, artinya yang diciptakan.

Ibn Miskawaih (w. 421 H/ 1030 M), yang terkenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk mwlakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[1]

Jika membahas perihal akhlak, maka timbullah pertanyaan tentang etika, moral dan sopan santun. Apakah sama diantara akhlak dengan etika, moral dan sopan santun?
Menurut Ki Hajar Dewantara mendefinisikan etika adalah sebagai ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan kejelekan didalam hidup manusia semuanya, terutama mengenai gerak gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.

Sedangkan perihal moral, James Rachels mengemukakan moral dengan menggambarkan suatu konsep minimum bahwa moralitas adalah usaha untuk membimbing tindakan seseorang dengan aka yaitu untuk melakukan apa yang paling baik menurut akal, seraya memberi bobot yang sama menyangkut kepentingan setiap indvidu yang akan terkena dengan tindakan itu. Rachels menekankan pada fungsi akal menentukan apakah suatu perbuatan bermoral atau tidak.[2]

Sedangkan sopan santun adalah ketentuan-ketentuan yang mengukur baik atau tidaknya perbuatan seseorang sebagaiana etika dan moral dalam perspektif masyarakat Indonesia. Jadi sopan santun lebih mengarah pada bagaimana perkataan, perilaku seseorang dinilai baik (sopan) dalam prespektif masyarakat berdasarkan kebiasaan, adat istiadat yang berlaku.[3]

. Persamaan diantara akhlak, etika, moral dan sopan santun adalah obyek kajian dan fungsi dari keempatnya. Obyek kajian akhlak, etika, moral dan sopan santun adalah mengkaji perilaku dan perbuatan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan fungsinya adalah untuk menentukan apakah perilaku, sifat, perkataan dan perbuatan manusia itu benar atau salah, baik atau buruk, sah atau tidak, legal atau illegal dan sebagainya. Namun demikian, terdapat berbagai perbedaan antara keempatnya, salah satunya jika ditinjau dari sumbernya.

Ditinjau dari sumbernya maka terdapat perbedaan antara akhlak, etika moral dan sopan santun. Etika bersumber dari olah pikir manusia yang dijadikan patokan dan ukuran dalam menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Sebagai contoh etika dalam berpakaian, etika pergaulan lain jenis dan lain sebagainya. Aturan-aturan yang berkaitan dengan perilaku tersebut, dirumuskan melalui pikiran manusia yang didasarkan pada pandangan dunia masyarakat setempat. Sedangkan moral bersumber dari kebiasaan, adat istiadat suatu masyarakat, meskipun adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat tidak dapat dilepaskan dari pandangan dunia, sudut pandang terhadap perilaku tertentu. Contoh moral dalam menghadapi kelahiran, kematian adalah berbeda pada setiap daerah berdasarkan adat istiadat dan kebiasaan daerah setempat. Sementara akhlak adalah bersumber dari ajaran Islam yang disarikan dari ketentuan dan aturan al-Qur’an, al-Hadis danperkataan para ulama. Misalnya, ajaran-ajaran tentang rendah hati, dermawan, menghormati tamu, menghormati tetangga bersumber dari ajaraajaran al-Qur’an dan al-Hadis.[4]

Dengan demikian, secara terminologis pengertian akhlak adalah tindakan yang berhubungan dengan tiga unsur penting, yaitu sebagai berikut.
a.       Kognitif, yaitu pengetahuan dasar manusia melalui potensi intelektualitasnya.
b.      Afektif, yaitu pengembangan potensi akal manusia melalui upaya menganalisis berbagai kejadian sebagai bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan.
c.       Psikomotorik, yaitu pelaksanaan pemahaman rasional kedalam bentuk perbuatan yang konkret.[5]
1.    Pembagian Akhlak secara Umum
Akhlak secara umum terdiri atas dua macam, yaitu sebagai berikut.
a). Akhlak terpuji atau akhlak mulia yang disebut dengan al-akhlaq al-mahmudah atau al-akhlaq al-karimah.
b). Akhlak tercela atau akhlak yang dibenci, yakni disebut akhlaq al- mazmumah.
Akhlak yang terpuji adalah akhlak yang dikehendaki oleh Allah SWT. Dan dicontohkan oleh Rosulullah SAW. Akhlak ini dapat diartikan sebagai akhlak orang-orang yang beriman dab bertakwa kepada Allah SWT. Adapun akhlak yang tercela adalah akhlak yang dibenci oleh Allah SWT., sebagaimana akhlak orang-orang kafir, orang-orang musyrik, dan orang-orang munafik. Allah SWT. Berfirman dala Al-Quran surat Al-Fatihah ayat 1-7:

بسم الله الر حمن الر حيم ١
الحمد لله رب العا لمين ٢الرحمن الر حيم٣ملك يوم الدين٤ايا ك نعبد و ايا ك نستعين٥ اهد نا الصرط المستقيم٦ صر ط الذ ين انعمت عليهم غير المغضو ب عليهم ولا الضالين   
Artinya: ”Dengan menyebut nama Allah yang Maha pengasih, Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Yang Maha Pengasih, Maha penyayang, Pemilik hari pembalasan. Hanya kepada engkaulah, kami memohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) yang sesat.” (Q.S. Al-Fatihah: 1-7)

Surat Al-Fatihah di atas, menjelaskan akhlak orang-orang yang terpuji dan yang tercela. Orang-orang yang terpuji adalah yang memulai setiap tindakan dan perilaku dengan membaca bismillah; selalu bertekad kuat hanya untuk beribadah dan meminta pertolongan kepada Allah SWT; selalu berdoa kepada Allah SWT. Agar dibimbing ke jalan yang lurus, jalan yang penuh nikmat dan rida-Nya.
Sebaliknya, akhlak orang-orang yang tercela adalah orang-orang yang berprilaku atas nama selain Allah SWT. Orang-orang yang menghambakan diri pada hawa nafsunya. Orang-orang yang selalu berada di jalan yang bengkok, yaitu jalan yang menuju neraka, jalan yang nikmatnya sementara, dan jalan yang dibenci oleh Allah SWT.[6]

Membahas tentang akhlak yang terpuji ingatkah kita terhadap suri tauladan kita sebagai cerminan dalam berprilaku, sepertihalnya yang akan dikemukakan dalam hadis:
حد يث انس بن ما لك ر ضي الله عنه قال: خدمت رسول الله صلى الله عليه وسلم عشر سنين والله ما قال لي اف قطو لا قال لي شيئ لم فعلت كذا.{ متفق عليه.}
Artinya: Aku pernah melayani Rsulullah Saw selama sepuluh tahun. Demi Allah, beliau sama sekali tidak pernah mengatakan kepadaku “Hus...”, tidak pernah mengomentariku karena sesuatu yang aku lakukan dengan kata-kata : “Kenapa kamu kerjakan seperti itu? (tetapi beliau mengucapkan kata-kata yang halus) tidakkah kamu sebaiknya mengerjakan pekerjaan itu seperti ini.” (Muttafaq Alaih)[7]

2.    Faktor Yang Mempengaruhi Akhlak
Manusia sebagai makhluk yang berakal, dituntut untuk memiliki akhlak yang baik. Untuk iyu manusia harus mengupayakan pembentukan dan pembinaan akhlak tersebut, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya, dan hal tersebut sangat menentukan dalam keberhasilan seseorang dala mencapai derajat/tingkatan yang mulia, baik disisi Allah maupun disisi esama manusia. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan pembinaan akhlak tersebut adalah sebagai berikut:

A.   Faktor Keturunan
Arthur Scopenheur (1788-1860) dengan berangkat dari aliran nativisme meyakini bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh pembawaan yang diterima dari orang tuanya, sedangkan pengalaman/lingkungan tidak berpengaruh sama sekali.[8]

B.   Faktor Lingkungan
John Lock (1632-1704) dengan berangkat dari aliran empirisme dengan keyakinan yang berbalik dengan aliran nativisme. Paham utama aliran ini adalah “tabularasata” suatu istiah dari bahasa Latin yang berarti lembaran kosong. Paham ini menekankan pentingnya pengalaman, lingkungan dan pendidikan sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan. Dengan kata lain bahwa perkembangan manusia hanya tergantung kepada lingkungan dan pendidikan, sedangkan pembawaan tidaklah mempengaruhinya sama sekali.
Dengan demikian lingkungan yang mempengaruhi akhlak seseorang terdiri dari:
a.    Lingkungan Keluarga
b.    Lingkungan Sekolah
c.    Lingkungan Masyarakat Sekitar[9]

C.   Faktor Hidayah
Faktor hidayah dalam prespektif Islam adalah sangat menentukan dalam membentuk dan membina akhlak Islami. Hidayah merupakan petunjuk kejalan allah yang hanya diberikan kepada yang dikehendaki-Nya. Dengan demikian hidayah merupakan otoritas dan kewenangan Allah.[10]

3.    Ruang Lingkup Akhlak
a). Akhlak Terhadap Allah
Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai khalik.
b). Akhlak Terhadap Sesama Manusia
Akhlak kepada sesama manusia sebagai sikap sosialitas yang harus dijaga, bukan hanya menjaga sesuatu yang terlarang dalam suatu aturan. Namun juga, menjaga agar tidak menyakiti hati, menjaga aibnya dan lain sebagainya.
c). Akhlak Terhadap Lingkungan
    Yang dimaksud dengan lingkungan disini adalah segala sesuatu yang di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa.[11]

      B.   Pengertian Iman
Secara etimologis, kata “al-iman” berasal dari kata “aamana-yu’minu-iimaanan, fahuwa mu’minun” artinya percaya. “Amina-yu’manu-amnan, amanan, wa amaanan” (aman dan damai), “wa amanatan” (amanat atau titipan), dan sebagainya. Percaya adalah suatu pengakuan atau keyakinan seseorang terhadap sesuatu. Ia mengakui dan meyakini suatu kebenaran itu secara benar dan meyakini kesalahan secara benar pula. Mengakui dan meyakini sesuatu itu benar, artinya meyakini bahwa sesuatu itu memang merupakan kesalahan yang harus diyakini, dan diakui sebagai kesalahan yang benar-benar salah.
Tanpa kepercayaan, manusia tidak mungkin hidup. Ia akan dihantui oleh keraguan yang mematikan. Misalnya, orang tidak yakin atau tidak percaya pada sesuatu maka ia akan diliputi keraguan; dan keraguan itu menyebabkan hidupnya tidak aman dan tidak tenang. Apabila duduk di rumahnya, ia akan cemas dan gelisah, bagaimana jika atap rumahnya jatuh karena ia tidak yakin dan tidak percaya padanya. Dalam keadaan gelisah, ia tinggalkan tempat duduk dan keluar dari rumahnya. Diluar rumahnya, ia tetap gelisah dan ragu, bagaimana jika langit yang berada diatas sana itu jatuh. Ia tetap tidak yakin dan tidak percaya. Kemudian, ia lari dan mencari perlindungan di bawah mea, etapi di bawah mejapun, ia tidak percaya juga, bagaimana jika meja itu juga jatuh. Untuk itu, diapun lari menghindar dari bahaya tertimbun meja, dan entah kemana. Jika keraguan ini tetap saja meliputi kehidupan sehari-hari dan selalu tidak ada keyakinan dan kepercayaan kepada sesuatu, orang tersbut akan mengalami kesulitn hidup, dan akhirnya mati konyol.
Ada dua risiko yang akan dihadapi setiap orang yang memiliki kepercayaan terhadap sesuatu.
1.    Kebahagiaan dan keberuntungan, apabila orang meyakini dan percaya pada sesuatu, kemuian sesuatu yang diyakini dan dipercayai itu sesuai dengan keyakinannya atau antara keyakinan dan kenyataan itu bersesuaian.
2.    Kerugian dan kehancuran. Sebaliknya, jika seseorang meyakini dan percaya kepada sesuatu, setelah dibuktikan tidak sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan, ia akan rugi dan hancur.[12]

       C.   Hubungan Iman Dengan Akhlak
Jika kita meninjau sejenak sejarah peradaban manusia, diketahui bahwa agama adalah kekuatan raksasa yang telah mewujudkan perkembangan manusia seperti sekarang ini. Bahwa semua yang baik dan mulia dalam diri manusia itu dihayati oleh iman kepada Allah, dan ini merupakan kebenaran yang tak dapat dibantah lagi, sekalipun oleh orang ateis (yang tak percaya kepada Allah). Seorang Ibrahim, seorang Musa, Seorang Isa, Seorang Buddha, seorang Muhammad, secara bergiliran dan sesuai derajat masing-masing, telah mengubah sejarah manusia dan   mengangkat derajat mereka dari lembah kehinaan menuju puncak ketinggian akhlak yang tak pernah dimimpikan. Hanya melali ajaran Nabi besar ini atau Nabi besar, seseorang mampu menaklukkan hawa nafsunya dan menempatkan cita-cita luhur di hadapannya dengan pengorbanan yang tanpa pamrih guna kepentingan umat manusia.
Jika mempelajari perasaan luhur yang pada dewasa ini membangkitkan semangat manusia, anda pasti akan menemukan bahwa perasaan luhur itu berasal dan ajaran dn suri telaan dari beberapa orang suci yang mempunyai iman yang kuat kepada Allah, yang benih iman ini ipersemaikan beliauu kedalam batin manusia. Jika perkembangan akhlak dan budi pekerti manusia pada tingkat sekarang ini terjadi karena suatu sebab, sebab itu ialah agama. Umat manusia masih harus mempelajari apakah perasaan luhur yang membangkitkan semangat manusia sekarang ini akan tetap hidup setelah timbulnya satu atau dua generasi yang tak percaya adanya Allah, dan perasaan-perasaan apakah nantinya yang akan ditularkan oleh materialisme? Jika yang berkuasa itu marerialisme, muncullah tabiat mementingkan diri sendiri. Matangnya rencana untuk membagi kekayaan secara merata tidaklah membangkitkan perasaan luhur yang dewasa ini menjadi kebanggaan manusia, dan yang berabad-abad lamanya dimasukkan oleh agama dalam batin manusia.
Jika pada saat ini sanki-sanksi agama ditiadakan, rakyat yang bodoh- dan rakyat  jelata selamanya tetap bodoh. Sekalipun dapat sedikit membaca dan menulis – dia akan terjerumus kembali ke dalam kebiadaban – sudah tentu, sedikit demi sedikit. Adapun orang-orang yang menganggap dirinya lebih tinggi kedudukannya, tak lagi diilhami oleh cita-cita luhur dan mulia. Sebab, hal ini hanya diperoleh dengan jalan iman kepada Allah saja. (Muhammad Ali, 1976: 5)[13]
Jika kita kaji diantara iman dan akhlak, maka kita kembali kepada hadis:

قال رسو ل الله صلى الله عليه وسلم اكمل المؤمنين ايمانا احسنهم خلقا. اخرجه ابو داود و التر ميذى و غير هما.{ رواه الترمذي و ابو داود}
“Orang mukmin yang sempurna imannya ialah orang yang baik budi pekertinya”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan lainnya).[14]

Sedangkan hadis yang kajiannya lebih mencakupi terhadap budi pekerti, ini merupakan  sebagian kecil dari hal yang besar sebagai berikut:

وعن انس رضي الله عنه قال: كا ن رسو ل الله صلى الله عليه وسلم" احسن الناس خلقا".{ متفق عليه.}
Dari Anas r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. itu adalah sebaik-baik manusia dalam
hal budipekertinya.” (Muttafaq ‘alaih)[15]

و عن ابي هريرة رضي الله عنه قال:" سئل رسو ل الله صلى الله عليه وسلم عن اكثر ما يدخل الناس الجنة؟ قال: تقى الله وحسن الخلق. وسئل عن اكثر ما يدخل الناس النار؟ فقال: الفم والفرج".{ رواه التر مذي}
Dari Abu Hurairah r.a. katanya: "Rasulullah s.a.w. ditanya tentang apakah
sebagian besar amalan yang memasukkan para manusia itu dalam syurga. Beliau menjawab: "Yaitu bertaqwa kepada Allah dan bagusnya budipekerti." Beliau ditanya pula tentang apakah sebagian besar amalan yang memasukkan para manusia dalam neraka. Beliau menjawab: "Yaitu karena perbuatan mulut dan kemaluan." (Imam Tarmidzi)[16]




[1]Beni Ahmad Saebani & Abdul Hamid. Ilmu Akhlak. hlm. 13-14.
[2]Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak & Tasawuf (Surabaya: Salsabila Putra Pratama, 2011) hlm. 23-25.
[3]Ibid, hlm. 27.
[4]Ibid,hlm.  27-28.
[5] Beni & Abdul. Akhlak, hlm. 13-16.
[6] Ibid, hlm. 199-200.
[7] Ahmad Mudjab Mahalli & Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-hadis Muttafaq’alaih (Jakarta: Prenada Media,2004) hlm. 430.
[8]Mohammad muchlis Solichin, Akhlak & Tasawuf. hlm. 33.
[9]Ibid, hlm. 35-42.
[10]Ibid, hlm. 48.
[11]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia(Jakarta: RajaGrafindo Persada,2015), hlm.126-129.
[12] Taufik, Tauhid, hlm. 29-30.
[13]Taufik, Tauhid, hlm. 93-94.
[14]Bustami Said dkk. Ayat Dan Hadits Tentang Pendidikan (Pamekasan: Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan, 2006) hlm. 77.
[15]Imam Nawawi. Pdf  Riyadhus Shalihin, hlm. 320.
[16]Ibid, hlm. 321.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel