Pengertian Akhlak serta Ayat dan Hadits tentang Akhlak
April 25, 2017
Pengertian Akhlak serta Ayat dan Hadits tentang Akhlak, Ibn Miskawaih (w. 421 H/ 1030 M), yang terkenal sebagai
pakar bidang akhlak terkemuka mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk mwlakukan perbuatan tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Jika membahas perihal akhlak, maka timbullah pertanyaan
tentang etika, moral dan sopan santun. Apakah sama diantara akhlak dengan
etika, moral dan sopan santun?
Menurut Ki Hajar Dewantara mendefinisikan etika adalah
sebagai ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan kejelekan didalam hidup manusia
semuanya, terutama mengenai gerak gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan
pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan
perbuatan.
Sedangkan perihal moral, James Rachels mengemukakan moral
dengan menggambarkan suatu konsep minimum bahwa moralitas adalah usaha untuk
membimbing tindakan seseorang dengan aka yaitu untuk melakukan apa yang paling
baik menurut akal, seraya memberi bobot yang sama menyangkut kepentingan setiap
indvidu yang akan terkena dengan tindakan itu. Rachels menekankan pada fungsi
akal menentukan apakah suatu perbuatan bermoral atau tidak.
A. Pengertian Akhlak
Kata “akhlaq”
berasal dari bahasa Arab, yaitu jama’ dari kata “khuluqun” yang secara
linguistik diartikan dengan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat,
tata krama, sopan santun, adab, dan tindakan. Kata “akhlak” juga berasal
dari kata “khalaqa” atau “khalqun”, artinya kejadian, serta erat
hubungannya dengan “khaliq”, artinya menciptakan, tindakan atau
perbuatan, sebagaimana terdapat kata “al-khaliq”, artinya pencipta dan “makhluq”,
artinya yang diciptakan.
Ibn Miskawaih (w.
421 H/ 1030 M), yang terkenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka mengatakan
bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk
mwlakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[1]
Jika membahas
perihal akhlak, maka timbullah pertanyaan tentang etika, moral dan sopan
santun. Apakah sama diantara akhlak dengan etika, moral dan sopan santun?
Menurut Ki Hajar
Dewantara mendefinisikan etika adalah sebagai ilmu yang mempelajari soal
kebaikan dan kejelekan didalam hidup manusia semuanya, terutama mengenai gerak
gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai
mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.
Sedangkan perihal
moral, James Rachels mengemukakan moral dengan menggambarkan suatu konsep
minimum bahwa moralitas adalah usaha untuk membimbing tindakan seseorang dengan
aka yaitu untuk melakukan apa yang paling baik menurut akal, seraya memberi
bobot yang sama menyangkut kepentingan setiap indvidu yang akan terkena dengan
tindakan itu. Rachels menekankan pada fungsi akal menentukan apakah suatu
perbuatan bermoral atau tidak.[2]
Sedangkan sopan
santun adalah ketentuan-ketentuan yang mengukur baik atau tidaknya perbuatan
seseorang sebagaiana etika dan moral dalam perspektif masyarakat Indonesia.
Jadi sopan santun lebih mengarah pada bagaimana perkataan, perilaku seseorang
dinilai baik (sopan) dalam prespektif masyarakat berdasarkan kebiasaan, adat
istiadat yang berlaku.[3]
. Persamaan diantara
akhlak, etika, moral dan sopan santun adalah obyek kajian dan fungsi dari
keempatnya. Obyek kajian akhlak, etika, moral dan sopan santun adalah mengkaji
perilaku dan perbuatan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan fungsinya
adalah untuk menentukan apakah perilaku, sifat, perkataan dan perbuatan manusia
itu benar atau salah, baik atau buruk, sah atau tidak, legal atau illegal dan
sebagainya. Namun demikian, terdapat berbagai perbedaan antara keempatnya,
salah satunya jika ditinjau dari sumbernya.
Ditinjau dari
sumbernya maka terdapat perbedaan antara akhlak, etika moral dan sopan santun.
Etika bersumber dari olah pikir manusia yang dijadikan patokan dan ukuran dalam
menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Sebagai contoh etika dalam
berpakaian, etika pergaulan lain jenis dan lain sebagainya. Aturan-aturan yang
berkaitan dengan perilaku tersebut, dirumuskan melalui pikiran manusia yang
didasarkan pada pandangan dunia masyarakat setempat. Sedangkan moral bersumber
dari kebiasaan, adat istiadat suatu masyarakat, meskipun adat istiadat dan
kebiasaan masyarakat setempat tidak dapat dilepaskan dari pandangan dunia,
sudut pandang terhadap perilaku tertentu. Contoh moral dalam menghadapi
kelahiran, kematian adalah berbeda pada setiap daerah berdasarkan adat istiadat
dan kebiasaan daerah setempat. Sementara akhlak adalah bersumber dari ajaran
Islam yang disarikan dari ketentuan dan aturan al-Qur’an, al-Hadis danperkataan
para ulama. Misalnya, ajaran-ajaran tentang rendah hati, dermawan, menghormati
tamu, menghormati tetangga bersumber dari ajaraajaran al-Qur’an dan al-Hadis.[4]
Dengan demikian,
secara terminologis pengertian akhlak adalah tindakan yang berhubungan dengan
tiga unsur penting, yaitu sebagai berikut.
a. Kognitif, yaitu pengetahuan dasar manusia melalui potensi
intelektualitasnya.
b. Afektif, yaitu pengembangan potensi akal manusia melalui
upaya menganalisis berbagai kejadian sebagai bagian dari pengembangan ilmu
pengetahuan.
c. Psikomotorik, yaitu pelaksanaan pemahaman rasional
kedalam bentuk perbuatan yang konkret.[5]
1. Pembagian Akhlak secara Umum
Akhlak
secara umum terdiri atas dua macam, yaitu sebagai berikut.
a).
Akhlak terpuji atau akhlak mulia yang disebut dengan al-akhlaq al-mahmudah atau
al-akhlaq al-karimah.
b).
Akhlak tercela atau akhlak yang dibenci, yakni disebut akhlaq al- mazmumah.
Akhlak yang terpuji adalah akhlak yang dikehendaki oleh
Allah SWT. Dan dicontohkan oleh Rosulullah SAW. Akhlak ini dapat diartikan
sebagai akhlak orang-orang yang beriman dab bertakwa kepada Allah SWT. Adapun
akhlak yang tercela adalah akhlak yang dibenci oleh Allah SWT., sebagaimana
akhlak orang-orang kafir, orang-orang musyrik, dan orang-orang munafik. Allah
SWT. Berfirman dala Al-Quran surat Al-Fatihah ayat 1-7:
بسم الله الر حمن الر حيم ١
الحمد لله رب العا لمين ٢الرحمن الر حيم٣ملك يوم الدين٤ايا ك
نعبد و ايا ك نستعين٥ اهد نا الصرط المستقيم٦ صر ط الذ ين انعمت عليهم غير المغضو
ب عليهم ولا الضالين
Artinya: ”Dengan menyebut nama Allah yang Maha pengasih, Maha
Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Yang Maha Pengasih, Maha
penyayang, Pemilik hari pembalasan. Hanya kepada engkaulah, kami memohon
pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang
telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) yang sesat.” (Q.S. Al-Fatihah: 1-7)
Surat Al-Fatihah di atas, menjelaskan akhlak orang-orang
yang terpuji dan yang tercela. Orang-orang yang terpuji adalah yang memulai
setiap tindakan dan perilaku dengan membaca bismillah; selalu bertekad kuat
hanya untuk beribadah dan meminta pertolongan kepada Allah SWT; selalu berdoa
kepada Allah SWT. Agar dibimbing ke jalan yang lurus, jalan yang penuh nikmat
dan rida-Nya.
Sebaliknya, akhlak orang-orang yang tercela adalah
orang-orang yang berprilaku atas nama selain Allah SWT. Orang-orang yang
menghambakan diri pada hawa nafsunya. Orang-orang yang selalu berada di jalan
yang bengkok, yaitu jalan yang menuju neraka, jalan yang nikmatnya sementara,
dan jalan yang dibenci oleh Allah SWT.[6]
Membahas tentang akhlak yang terpuji ingatkah kita
terhadap suri tauladan kita sebagai cerminan dalam berprilaku, sepertihalnya
yang akan dikemukakan dalam hadis:
حد يث انس بن ما لك ر ضي الله عنه قال: خدمت رسول الله صلى
الله عليه وسلم عشر سنين والله ما قال لي اف قطو لا قال لي شيئ لم فعلت كذا.{ متفق
عليه.}
Artinya: Aku pernah melayani Rsulullah Saw selama sepuluh
tahun. Demi Allah, beliau sama sekali tidak pernah mengatakan kepadaku
“Hus...”, tidak pernah mengomentariku karena sesuatu yang aku lakukan dengan
kata-kata : “Kenapa kamu kerjakan seperti itu? (tetapi beliau mengucapkan
kata-kata yang halus) tidakkah kamu sebaiknya mengerjakan pekerjaan itu seperti
ini.” (Muttafaq Alaih)[7]
2. Faktor Yang Mempengaruhi Akhlak
Manusia sebagai makhluk yang berakal, dituntut untuk
memiliki akhlak yang baik. Untuk iyu manusia harus mengupayakan pembentukan dan
pembinaan akhlak tersebut, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya, dan
hal tersebut sangat menentukan dalam keberhasilan seseorang dala mencapai
derajat/tingkatan yang mulia, baik disisi Allah maupun disisi esama manusia.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan pembinaan akhlak tersebut
adalah sebagai berikut:
A. Faktor Keturunan
Arthur Scopenheur (1788-1860) dengan berangkat dari
aliran nativisme meyakini bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh pembawaan
yang diterima dari orang tuanya, sedangkan pengalaman/lingkungan tidak
berpengaruh sama sekali.[8]
B. Faktor Lingkungan
John Lock (1632-1704) dengan berangkat dari aliran
empirisme dengan keyakinan yang berbalik dengan aliran nativisme. Paham utama
aliran ini adalah “tabularasata” suatu istiah dari bahasa Latin yang berarti
lembaran kosong. Paham ini menekankan pentingnya pengalaman, lingkungan dan
pendidikan sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan. Dengan kata lain
bahwa perkembangan manusia hanya tergantung kepada lingkungan dan pendidikan,
sedangkan pembawaan tidaklah mempengaruhinya sama sekali.
Dengan demikian lingkungan yang mempengaruhi akhlak
seseorang terdiri dari:
a. Lingkungan Keluarga
b. Lingkungan Sekolah
c. Lingkungan Masyarakat Sekitar[9]
C. Faktor Hidayah
Faktor hidayah dalam prespektif Islam adalah sangat
menentukan dalam membentuk dan membina akhlak Islami. Hidayah merupakan
petunjuk kejalan allah yang hanya diberikan kepada yang dikehendaki-Nya. Dengan
demikian hidayah merupakan otoritas dan kewenangan Allah.[10]
3. Ruang Lingkup Akhlak
a).
Akhlak Terhadap Allah
Akhlak
kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai khalik.
b).
Akhlak Terhadap Sesama Manusia
Akhlak
kepada sesama manusia sebagai sikap sosialitas yang harus dijaga, bukan hanya
menjaga sesuatu yang terlarang dalam suatu aturan. Namun juga, menjaga agar
tidak menyakiti hati, menjaga aibnya dan lain sebagainya.
c).
Akhlak Terhadap Lingkungan
Yang dimaksud dengan lingkungan disini
adalah segala sesuatu yang di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan,
maupun benda-benda tak bernyawa.[11]
B. Pengertian Iman
Secara etimologis, kata “al-iman” berasal dari
kata “aamana-yu’minu-iimaanan, fahuwa mu’minun” artinya percaya. “Amina-yu’manu-amnan,
amanan, wa amaanan” (aman dan damai), “wa amanatan” (amanat atau
titipan), dan sebagainya. Percaya adalah suatu pengakuan atau keyakinan
seseorang terhadap sesuatu. Ia mengakui dan meyakini suatu kebenaran itu secara
benar dan meyakini kesalahan secara benar pula. Mengakui dan meyakini sesuatu
itu benar, artinya meyakini bahwa sesuatu itu memang merupakan kesalahan yang
harus diyakini, dan diakui sebagai kesalahan yang benar-benar salah.
Tanpa kepercayaan, manusia tidak mungkin hidup. Ia akan
dihantui oleh keraguan yang mematikan. Misalnya, orang tidak yakin atau tidak
percaya pada sesuatu maka ia akan diliputi keraguan; dan keraguan itu
menyebabkan hidupnya tidak aman dan tidak tenang. Apabila duduk di rumahnya, ia
akan cemas dan gelisah, bagaimana jika atap rumahnya jatuh karena ia tidak
yakin dan tidak percaya padanya. Dalam keadaan gelisah, ia tinggalkan tempat
duduk dan keluar dari rumahnya. Diluar rumahnya, ia tetap gelisah dan ragu,
bagaimana jika langit yang berada diatas sana itu jatuh. Ia tetap tidak yakin
dan tidak percaya. Kemudian, ia lari dan mencari perlindungan di bawah mea,
etapi di bawah mejapun, ia tidak percaya juga, bagaimana jika meja itu juga
jatuh. Untuk itu, diapun lari menghindar dari bahaya tertimbun meja, dan entah
kemana. Jika keraguan ini tetap saja meliputi kehidupan sehari-hari dan selalu
tidak ada keyakinan dan kepercayaan kepada sesuatu, orang tersbut akan
mengalami kesulitn hidup, dan akhirnya mati konyol.
Ada dua risiko yang akan dihadapi setiap orang yang
memiliki kepercayaan terhadap sesuatu.
1. Kebahagiaan dan keberuntungan, apabila orang meyakini dan
percaya pada sesuatu, kemuian sesuatu yang diyakini dan dipercayai itu sesuai
dengan keyakinannya atau antara keyakinan dan kenyataan itu bersesuaian.
2. Kerugian dan kehancuran. Sebaliknya, jika seseorang
meyakini dan percaya kepada sesuatu, setelah dibuktikan tidak sesuai dengan
keyakinan dan kepercayaan, ia akan rugi dan hancur.[12]
C. Hubungan Iman Dengan Akhlak
Jika kita meninjau sejenak sejarah peradaban manusia,
diketahui bahwa agama adalah kekuatan raksasa yang telah mewujudkan
perkembangan manusia seperti sekarang ini. Bahwa semua yang baik dan mulia
dalam diri manusia itu dihayati oleh iman kepada Allah, dan ini merupakan kebenaran
yang tak dapat dibantah lagi, sekalipun oleh orang ateis (yang tak percaya
kepada Allah). Seorang Ibrahim, seorang Musa, Seorang Isa, Seorang Buddha,
seorang Muhammad, secara bergiliran dan sesuai derajat masing-masing, telah
mengubah sejarah manusia dan mengangkat
derajat mereka dari lembah kehinaan menuju puncak ketinggian akhlak yang tak
pernah dimimpikan. Hanya melali ajaran Nabi besar ini atau Nabi besar,
seseorang mampu menaklukkan hawa nafsunya dan menempatkan cita-cita luhur di
hadapannya dengan pengorbanan yang tanpa pamrih guna kepentingan umat manusia.
Jika mempelajari perasaan luhur yang pada dewasa ini
membangkitkan semangat manusia, anda pasti akan menemukan bahwa perasaan luhur
itu berasal dan ajaran dn suri telaan dari beberapa orang suci yang mempunyai
iman yang kuat kepada Allah, yang benih iman ini ipersemaikan beliauu kedalam
batin manusia. Jika perkembangan akhlak dan budi pekerti manusia pada tingkat
sekarang ini terjadi karena suatu sebab, sebab itu ialah agama. Umat manusia masih
harus mempelajari apakah perasaan luhur yang membangkitkan semangat manusia
sekarang ini akan tetap hidup setelah timbulnya satu atau dua generasi yang tak
percaya adanya Allah, dan perasaan-perasaan apakah nantinya yang akan
ditularkan oleh materialisme? Jika yang berkuasa itu marerialisme, muncullah
tabiat mementingkan diri sendiri. Matangnya rencana untuk membagi kekayaan
secara merata tidaklah membangkitkan perasaan luhur yang dewasa ini menjadi
kebanggaan manusia, dan yang berabad-abad lamanya dimasukkan oleh agama dalam
batin manusia.
Jika pada saat ini sanki-sanksi agama ditiadakan, rakyat
yang bodoh- dan rakyat jelata selamanya
tetap bodoh. Sekalipun dapat sedikit membaca dan menulis – dia akan terjerumus
kembali ke dalam kebiadaban – sudah tentu, sedikit demi sedikit. Adapun
orang-orang yang menganggap dirinya lebih tinggi kedudukannya, tak lagi
diilhami oleh cita-cita luhur dan mulia. Sebab, hal ini hanya diperoleh dengan
jalan iman kepada Allah saja. (Muhammad Ali, 1976: 5)[13]
Jika kita kaji diantara iman dan akhlak, maka kita
kembali kepada hadis:
قال رسو ل الله صلى الله عليه وسلم اكمل المؤمنين ايمانا
احسنهم خلقا. اخرجه ابو داود و التر ميذى و غير هما.{ رواه الترمذي و ابو داود}
“Orang mukmin yang sempurna imannya ialah orang yang baik
budi pekertinya”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan lainnya).[14]
Sedangkan hadis yang kajiannya lebih mencakupi terhadap
budi pekerti, ini merupakan sebagian
kecil dari hal yang besar sebagai berikut:
وعن انس رضي الله عنه قال: كا ن رسو ل الله صلى الله عليه
وسلم" احسن الناس خلقا".{ متفق عليه.}
Dari Anas r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. itu adalah
sebaik-baik manusia dalam
hal
budipekertinya.” (Muttafaq ‘alaih)[15]
و عن ابي هريرة رضي الله عنه قال:" سئل رسو ل الله صلى
الله عليه وسلم عن اكثر ما يدخل الناس الجنة؟ قال: تقى الله وحسن الخلق. وسئل عن
اكثر ما يدخل الناس النار؟ فقال: الفم والفرج".{ رواه التر مذي}
Dari Abu Hurairah r.a. katanya: "Rasulullah s.a.w.
ditanya tentang apakah
sebagian
besar amalan yang memasukkan para manusia itu dalam syurga. Beliau menjawab:
"Yaitu bertaqwa kepada Allah dan bagusnya budipekerti." Beliau
ditanya pula tentang apakah sebagian besar amalan yang memasukkan para manusia
dalam neraka. Beliau menjawab: "Yaitu karena perbuatan mulut dan
kemaluan." (Imam Tarmidzi)[16]
[1]Beni Ahmad Saebani & Abdul Hamid. Ilmu Akhlak. hlm. 13-14.
[2]Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak & Tasawuf (Surabaya: Salsabila
Putra Pratama, 2011) hlm. 23-25.
[3]Ibid, hlm. 27.
[4]Ibid,hlm.
27-28.
[5] Beni & Abdul. Akhlak, hlm. 13-16.
[6] Ibid, hlm. 199-200.
[7] Ahmad Mudjab Mahalli & Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-hadis
Muttafaq’alaih (Jakarta: Prenada Media,2004) hlm. 430.
[8]Mohammad muchlis Solichin, Akhlak & Tasawuf. hlm. 33.
[9]Ibid, hlm. 35-42.
[10]Ibid, hlm. 48.
[11]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia(Jakarta:
RajaGrafindo Persada,2015), hlm.126-129.
[12] Taufik, Tauhid, hlm. 29-30.
[13]Taufik, Tauhid, hlm. 93-94.
[14]Bustami Said dkk. Ayat Dan Hadits Tentang Pendidikan (Pamekasan:
Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan, 2006) hlm. 77.
[15]Imam Nawawi. Pdf Riyadhus Shalihin,
hlm. 320.
[16]Ibid, hlm. 321.