Kajian Singkat tentang Epistemologi dalam Pendidikan Islam
Maret 22, 2017
A. Kajian
Singkat tentang Epistemologi dalam Pendidikan Islam
1. Pentingnya
Epistemologi Dalam Pendidikan Islam
Perlu
diketahui bahwa umat Islam secara tidak langsung dan tidak nampak telah dijajah
oleh epistemologi pendidikan Barat, artinya secara teori mereka lebih mengikuti
dan mengandalkan epistemologi pendidikan Barat daripada epistemologi pendidikan
Islam. Yang mana epistemologi Barat orientasinya hanya melihat seberapa jauh
pengetahuan yang diserap oleh peserta didik, tidak memperhatikan apakah tumbuh
kesadaran diri pada peserta didik untuk bertindak dan berprilaku sesuai dengan
ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Maka dari itu, epistemologi pendidikan Islam
sangat penting dilihat dari fungsinya bahwa dengan adanya epistemologi ini akan
membangkitkan umat Islam untuk mencapai kemajuan ilmu pengetahuan serta
peradaban.
Disamping
itu pula, epistemologi ini bisa dimanfaatkan untuk meluruskan para ilmuwan
muslim dalam menggali, menemukan, dan mengembangkan pengetahuan supaya tidak
terjebak dalam kesesatan yang mengikuti epistemologi pendidikan Barat.
2. Pengertian
Dan Sasaran Epistemologi Pendidikan Islam
Epistemologi
berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti knowledge atau science
(pengetahuan). Jadi, epistemologi dapat diartikan sebagai teori pengetahuan
yang valid, membahas sumber, proses, syarat, batas, dan hakikat pengetahuan.
Dalam
epistemologi ini yang akan dibicarakan ada dua hal yakni apa itu
pengetahuan?, serta bagaimana cara memperoleh pengetahuan?. Artinya, apa
terkait dengan teori dan ilmu sedangkan bagaimana terkait dengan metodologinya.
Namun, epistemologi pendidikan Islam bukan sekedar membahas masalah tersebut,
tetapi epistemologi pendidikan Islam membahas semua aspek diantaranya: hakikat
pendidikan Islam, asal-usul pendidikan Islam, sumber pendidikan Islam, metode
membangun pendidikan Islam, unsur pendidikan Islam, serta sasaran pendidikan
Islam, macam-macam pendidikan Islam dan sebagainya.
Sehingga
jelas bahwa epistemologi pendidikan Islam merupakan ilmu tentang pengetahuan. Yang
ditekankan pada cara atau upaya atau langkah untuk mendapatkan pengetahuan
pendidikan Islam untuk menjadi sebuah teori pendidikan Islam.
3. Hakikat
Pengetahuan Dalam Islam
Istilah-istilah
yang sering dipakai dalam menyebutkan ilmu pengetahuan diantaranya ilmu, pengetahuan,
al’ilm, dan sains. Walaupun keempatnya bisa dikatakan sama, namun mereka
memiliki perbedaan dalam substansi makna yang terkandung.
a. Ilmu
adalah seperangkat rumusan pengembangan pengetahuan yang dilaksanakan secara
objektif, sistematis, baik dengan pendekatan deduktif maupun induktif yang
dimanfaatkan untuk memperoleh, keselamatan, kebahagiaan, dan pengamanan manusia
yang berasal dari Tuhan, dan disimpulkan oleh manusia melalui hasil penemuan
pemikiran dari para ahli.
b. Pengetahuan
adalah segala sesuatu yang diketahui manusia melalui akal, pancaindera, dan
sebagainya mengenai sesuatu hal.
c. Sains
adalah pengetahuan yang disusun dalam suatu sistem yang berasal dari
pengamatan, studi, dan pengalaman untuk menentukan hakikat dan prinsip tentang
sesuatu yang dipelajari.
d. Al
‘ilm merupakan istilah yang tepat untuk mendefinisikan pengetahuan.
Karena dua komponen: Pertama, sumber asli seluruh pengetahuan adalah Al
Qur’an yang mengandung kebenaran absolut. Kedua, metode mempelajari
pengetahuan yang sistematis dan koheren semuanya sama-sama valid, menghasilkan
bagian dari satu kebenaran dan realitas, bagian yang bermanfaat untuk
memecahkan masalah. Serta akar sandarannya lebih kuat dibandingkan sains versi
Barat.
Hakikat pengetahuan dalam epistemologi
Islam dan Barat sangat berbeda. Epistemologi Islam menjawab bahwa pengetahuan
ilmiah adalah segala sesuatu yang bersumber dari alam fisik dan non-fisik.
Sedangkan epistemologi Barat menjawab bahwa pengetahuan ilmiah itu bersumber
dari alam fisik saja. Karena non-fisik, merupakan objek yang tidak dapat
diketahui secara ilmiah.
Sumber
utama ilmu dalam Islam adalah Allah SWT., sedangkan sumber secara umum ada 5,
yakni: melalui indera, akal, intuisi, ilham, dan wahyu ilahi. Antara intuisi,
ilham dan wahyu ilahi, secara substantif
bisa dikatakan wahyu, karena merupakan sama-sama pemberian dari kekuatan
spiritual. Islam dan Barat dalam hal indera dan akal sehat tidak ada perbedaan.
Dalam hal intuisi ada perbedaan, Barat mengatakan bahwa jika seseorang
memberikan penilaian tanpa didahului perenungan dan tidak terdapat
langkah-langkah yang sistematik dan terkendali, sehingga pengetahuan yang dicapai melalui intuisi sulit dipercaya.
Sedangkan Islam, intuisi dapat dipertimbangkan sebagai salah satu saluran ilmu
yang bisa diperoleh manusia.
Pemikiran Islam dalam proses memperoleh
pengetahuan, diantara cara pemerolehannya tersebut saling membutuhkan dan
menyempurnakan.
Menurut pola Al Qur’an, pengetahuan
diperoleh melalui wahyu, pengetahuan yang absolut (haqq al- yaqin),
rasionalisme atau kesimpulan yang didasari pada keputusan dan penilaian
fakta-fakta (al-‘ilm al-yaqin), dan melalui
empirisme dan persepsi, yakni dengan observasi, eksperimen, laporan sejarah,
deskripsi pengalaman-pengalaman kehidupan (‘ain al-yaqin).
Dan ketiganya tersebut berbentuk hierarki, artinya haqq al-yaqin
lebih tinggi dari pada al-‘ilm al-yaqin dan al’ilm al-yaqin
lebih tinggi dari pada ‘ain al-yaqin.
Dalam pandangan Islam bahwa Ilmu berasal
dari Allah SWT., jadi, dalam Islam tidak dikenal adanya Islam religius dan
sekuler. Karena pada hakikatnya semua ilmu berasal dari Allah SWT.
4. Upaya
membangun Epistemologi Pendidikan Islam
Untuk
membangun dan mengembangkan pendidikan Islam yang bermutu dan berdaya saing
yang tinggi. Maka, kita harus memiliki dasar atau fondasi yang dapat
mengukuhkan pendidikan Islam yakni epistemologinya. Cara kerja epistemologi
inilah yang akan menentukan isi teori dalam pendidikan Islam.
Karena pendidikan Barat banyak diadopsi oleh
Islam yang mana orientasinya hanya seberapa jauh peserta didik menangkap
pengetahuan, tidak pada sejauh mana peserta didik berprilaku sesuai dengan
pengetahuan yang dikuasainya. Hal ini yang menjadi masalah yang semestinya
pendidikan itu menjadikan manusia berprilaku sesuai dengan pengetahuannya bukan
hanya cara memperoleh pengetahuan itu. Akan tetapi, bagaimana
mengaplikasikannya dalam kehidupan.
Untuk
itu, perlunya membangun epistemologi ini merupakan langkah awal untuk membenahi
masalah-masalah yang ada. Dengan cara:
1. Merumuskan
konseptual untuk menemukan syarat-syarat dalam mengetahui pendidikan
berdasarkan ajaran-ajaran Islam.
2. Menyiapkan
sarana dan potensi yang dimiliki para ilmuwan atau pemikir, dalam kapasitasnya
sebagai penggali khazanah dan temuan pendidikan Islam.
Sehingga
melalui epistemologi pendidikan Islam para ilmuan bisa melakukan:
1. Penyusunan
teori-teori atau konsep pendidikan pada umumnya maupun pendidikan yang diklaim
sebagai Islam dapat dikritisi dengan menggunakan pendekatan yang dimilikinya.
2. Memberikan
pemecahan terhadap problem-problem pendidikan, baik secara teoritis maupun
praktis.
3. Penemuan
konsep-konsep baru tentang pendidikan Islam.
4. Mengembangkan
hasil temuan itu secara lebih optimal.
Serta
tidak lupa pula bahwa epistemologi pendidikan Islam orientasinya pada peserta
didik untuk mencapai ketaqwaan atau pendekatan diri kepada Allah.
B. Analisis
Tentang Epistemologi Dalam Pendidikan Islam
Dalam buku karangan Siswanto yang berjudul
“Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam”, di sisi lain, bentuk pendidikan
tradisional yang menghabiskan banyak energi bukan dalam bidang pemiiran yang
kreatif, tetapi dalam hal “mengingat” dan “mengulang” itu tidak dapat
menghasilkan gerakan intelektual. Padahal, semestinya pendidikan yang baik dan
strategis tentu mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang berkapasitas
intelektual, sebab kaum intelektual adalah anggota-anggota masyarakat yang
mengabdikan dirinya pada pengembangan ide-ide orisinal dan terikat dalam pencarian
pemikiran-pemikiran kreatif. Di tengah merekalah dapat digantungkan harapann
adanya gagasan dan terobosan baru untuk memecahkan problem-problem yang
dihadapi umat.[1]
Dalam kalimat tersebut penulis setuju bahwa
pendidikan tradisonal yang polanya mengingat dan mengulang atau bisa dikatakan
hafalan. Hal tersebut memang menjadi problem dalam pendidikan dengan
berkembangnya zaman. Penulis menemukan di dalam referensi lain yang menguatkan
pada kalimat tersebut.
Bergesernya praktik pendidikan menjadi identik
dengan mengajar ini menimbulkan penekanan yang tidak seimbang pada aspek
pengetahuan (kognitif) semata. Siswa hanya belajar tentang materi pengetahuan
tertentu melalui proses transfer of knowledge (panyampaian pengetahuan)
dari orang yang dipandang lebih tahu, yakni guru. Idiom guru itu “diguru dan
ditiru” termanivestasi dalam pengetahuannya yang dianggap final, bahwa apa yang
disampaikan oleh guru itu mestilah benar. Sementara dimensi sikap (afektif) dan
keterampilan (psikomotorik) kurang diperhatikan. Penekanan pada aspek kognitif
inilah yang menyebabkan proses pendidikan itu berjalan monoton,
intelektualisme, dan verbalisme. Padahal, pendidikan itu sendiri berdimensi
ketiga ranah tersebut. Bukan hanya transfer of knowledge, melainkan juga
transfer of values (internalisasi nilai) dan transfer of methodology (aplikasi
metodologi). Makna pendidikan hakikatnya adalah menyeimbangkan antara belajar
untuk tahu (learning to know), belajar untuk menjadi (learning to be),
belajar untuk berbuat (learning to do), dan belajar untuk hidup bersama
(learning to live together).[2]
Terdapat kalimat “.......dalam konteks ini
epistemologi membicarakan dua hal yakni apa itu pengetahuan?, serta bagaimana
cara memperoleh pengetahuan?. Artinya, apa terkait dengan teori dan ilmu
sedangkan bagaimana terkait dengan metodologinya.[3]
Menurut referensi yang penulis temukan, bahwa
terdapat tiga hal pokok dalam bidang ini (epistemologi), Pertama, apakah
sumber-sumber pengetahuan itu?, Dimanakah pengetahuan yang benar itu datang dan
bagaimana kita mengetahuinya? Kedua, apakah sifat dasar pengetahuan itu?
Apakah ada dunia yang benar-benar berada diluar pikiran kita, kalau ada apakah
kita mengetahuinya? Ini persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena atau
appearance) versus hakikat (noumena atau essence). Ketiga,
apakah pengetahuan kita itu benar atau valid? Serta bagaimana kita dapat
membedakan yang benar dari yang salah? Ini adalah soal tentang mengkaji
kebenaran atau verifikasi.[4]
Di dalam buku karangan Siswanto yang berjudul
“Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam”. Yang isinya bahwa sumber pengetahuan
dalam Islam adalah akal, indera, intuisi, ilham dan wahyu ilahi.[5]
Penulis juga dapatkan bahwa sumber pengetahuan itu ada 5: pengetahuan wahyu,
pengetahuan intuitif, pengetahuan rasional, pengetahuan empiris, dan
pengetahuan otoritas.[6]
Dalam hal ini sebagai penulis memberikan saran,
alangkah sebaiknya berhubungan dengan sumber-sumber tersebut agar lebih valid
dan dikarenakan kajian yang dibahas merupakan kajian tentang Islam yang
seharusnya memang berkaitan dengan ayat-ayat Al Qur’an. Diantarnya sebagai
berikut:
1. Akal
Banyak
sekali ditemukan di dalam Al Qur’an ayat-ayat yang menganjurkan manusia untuk
mempergunakan akalnya. Bahkan, Al Qur’an mencemooh manusia yang tidak
menggunakan akalnya. QS. Al Nahl ayat 11-12, merupakan diantara ayat yang
memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya, yaitu bahwa kenyataan empiris
di alam ini seharusnya menjadi sarana bagi manusia untuk menggunakan akalnya
untuk membina sebuah ilmu pengetahuan.
Demikian
pula, QS. Ali-Imran ayat 190-191, QS. Al-Ghasyiyah ayat 17-20, dan QS.
Al-Baqarah ayat 164, memerintahkan manusia untuk berpikir menggunakan akalnya.
Bagi manusia yang tidak menggunakan akalnya, dicemooh Al Qur’an (QS. Al-Anfal
ayat 22), sebagai sama dengan binatang. Demikian manusia yang mampu menggunakan
akalnya, baik melalui proses pikir, proses perenungan, maupun proses
intelektualnya, akan melahirkan teori-teori pembentuk ilmu pengetahuan, yang
selanjutnya berfungsi untuk mengakui kebesaran Allah.[7]
2. Indera
Di
dalam QS. Al-Nahl ayat 78. Demikian halnya dengan indera manusia telah diakui
ayat tersebut sebagai sumber pengetahuan, dengan tegas menyatakan bahwa manusia
telah dianugerahi Allah penglihatan, pendengaran, dan hati. Ketiga sarana ini
merupakan potensi manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Penglihatan dan
pendengaran merupakan sarana utama untuk observasi, yang dengan bantuan akal,
manusia dapat mengamati dan memahami fenomena empiris sehingga memunculkan
proses generalisasi.[8]
3. Wahyu
(intuisi dan ilham)
Ilmu
dalam Islam selain menngandalkan akal dan indera, Islam juga bertopang pada
kesadaran dan keimanan kepada kekuasaan Allah. Inilah ilmu pengetahuan yang
menjadi hidayah dan cahaya Tuhan. Baik rasio maupun indera tanpa dibarengi
hidayah dan cahaya Tuhan tidak akan sempurna. Maka dari itu, wahyu menjadi
sumber ilmu pengetahuan dalam Islam selain akal dan indera. Terdapat di dalam
QS. Al-Hajj ayat 8, yang berbunyi:
“Dan diantara kamu manusia
ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa
petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya”.
Artinya,
ilmu pengetahuan dalam Islam, selain bersumber pada akal dan indra, juga
bersumber pada wahyu atau kitab suci. Pengetahuan yang bersumber pada ketiga
sarana inilah yang menjadi petunjuk hidayah bagi segala ilmu pengetahuan.[9]
Siswanto
berpendapat mengenai pengertian epistemologi, yang mengutip pendapat Bromeld
sebagaimana yang dikutip oleh Noor Syam mendefinisikan epistemologi dengan “it
is epistemology that gives the teacher the assurance that he is conveying the
truth to his student” (Epistemologi memberikan kepercayaan dan jaminan
bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran pada murid-muridnya).[10]
Dari
yang penulis pahami bahwa jika seorang guru menggunakan epistemologi dalam
mengajarkan siswanya, maka ia akan diberikan jaminan dan kepercayaan bahwa ia
mampu mendidik sesuai tujuan pendidikan Islam. Istilah lainnya bisa disebut
dengan janji dari epistemologi kepada guru. Akan tetapi, dalam buku tersebut
tidak memaparkan konsekuensi-konsekuensi logis dari epistemologi. Karena dengan
mengetahui konsekuensi logis dari epistemologi seorang guru akan lebih paham
untuk proses KBM nya. Dan menumbuhkan peningkatan dalam KBM.
Maka
dari itu, alangkah sebaiknya diterakan. Dan dibawah ini merupakan hasil yang
penulis temukan dalam referensi lain.
Karena epistemologi
merupakan pendekatan yang berbasis proses maka, epistemologi melahirkan
konsekuensi-konsekuensi logis, sebagai berikut:[11]
a. Menghilangkan
paradigma dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu tidak bebas nilai,
tetapi bebas untuk dinilai, mengajarkan agama lewat bahasa ilmu pengetahuan, dan
tidak mengajarkan sisi tradisional saja, tetapi sisi rasional.
b. Mengubah
pola pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara guru dan
murid.
c. Mengubah
paradigma ideologis menjadi paradigma ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah
SWT.
d. Guna
menopang dan mendasari pendekatan epistemologi ini, perlu dilakukan
rekonstruksi kurikulum yang masih sekuler dan bebas nilai spiritual ini,
menjadi kurikulum yang berbasis tauhid.
e. Epistemologi
Islam diorientasikan pada hubungan yang harmonis antara akal dan wahyu.
Maksudnya, orientasi pendidikan Islam ditekankan pada pertumbuhan yang
integratif antara iman, ilmu, amal, dan akhlak. Bisa dikatakan bahwa hasil dari
integrasi ini adalah manusia yang beriman Tauhidiyah, berilmu Amaliyah,
beramal ilmiah, bertaqwa Ilahiyah, berakhlak Rabbaniyah, dan
berperadaban Islamiyah.
f. Mengubah
pendekatan dari teoritis atau konseptual menjadi kontekstual atau aplikatif.
g. Adanya
peningkatan profesionalisme tenaga pendidik dan penguasaan materi yang
komprehensif tentang materi ajar yang terintegrasi antara ilmu dan wahyu.
Terdapat kalimat “.....Tampaknya, sistem
pendidikan yang ada sampai saat ini masih menampakkan berbagai permasalahan
berat dan serius yang memerlukan penanganan dengan segera. Dalam menangani
permasalahan ini (pengaruh Barat terhadap pendidikan Islam) tidak bisa
dilakuakan secara parsial, tapi harus dilakukan secara total, holistik, dan
integratif berdasarkan petunjuk-petunjuk wahyu ilahi untuk menjamin arah
pemecahan yang benar. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, para pakar
ilmuwan pendidikan Islam dan para pengambil kebijakan dalam pendidikan Islam
harus mengadakan pembaharuan-pembaharuan secara komperehensif agar terwujud
pendidikan Islam ideal yang mencakup berbagai dimensi. Pada dimensi pengembangan
terdapat kesadaran bahwa cita-cita mewujudkan pendidikan Islam ideal itu baru
bisa dicapai bila ada upaya membangun epistemologinya.”[12]
Dalam hal ini penulis setuju, agar ada
upaya pengembangan epistemologinya. Namun, dalam upaya tersebut bisa dengan dua
jalan bukan nya harus total tetapi dengan:
Merevisi teori yang ada dalam pendidikan
Islam berarti menyempurnakan teori yang telah ada agar sesuai dengan kebutuhan.
Sedangkan membuat teori berarti merancang teori yang sama sekali baru.
Secara teori pendidikan Islam sebagai
disiplin ilmu merupakan konsep pendidikan yang mengandung berbagai teori yang
dapat dikembangkan dari hipotesa-hipotesa yang bersumber dari Al Qur’an dan
Hadits baik dari segi sistem, proses, dan produk yang diharapkan mampu memberdayakan
umat manusia agar bahagia dan sejahtera dalam hidupnya.[13]
C. Kesimpulan
Epistemologi pendidikan Islam bisa
dimanfaatkan untuk meluruskan para ilmuwan muslim dalam menggali, menemukan,
dan mengembangkan pengetahuan supaya tidak terjebak dalam kesesatan yang
mengikuti epistemologi pendidikan Barat. Sehingga para ilmuwan harus memahami
hakikat pengetahuan Islam lebih mendalam agar dapat mewujudkan pendidikan Islam
yang sesuai dengan epistemologi dan metodologinya dalam upaya pengembangannya.
Dalam pengembangan epistemologi dalam
pendidikan Islam, ia harus menngembangkan pendekatan atau metode dikarenakan
lebih dekat dengan upaya pengembangan epistemologi pendidikan Islam.
Sumber utama ilmu dalam Islam adalah Allah
SWT., sedangkan sumber secara umum ada 5, yakni: melalui indera, akal, intuisi,
ilham, dan wahyu ilahi. Antara intuisi, ilham dan wahyu ilahi, secara substantif bisa dikatakan
wahyu, karena merupakan sama-sama pemberian dari kekuatan spiritual.
Kesimpulan umum bahwa penulis setuju akan karangan
Dr. Siswanto, M. Pd, I dalam bukunya Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam,
hanya saja terdapat segelintir wacana yang penulis masukkan dari referensi
lain. Sebagai acuan perbandingan untuk saling melengkapi dan menyempurnakan.
D. Daftar
Rujukan
Arief, Armai. 2002. Pengantar
Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam.
Jakarta: Ciputat Pers.
Assegaf, Abd. Rachman. 2014.
Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Masruroh, Ninik dan Umiarso.
2011. Modernisasi Pendidikan Islam Ala Azyumardi
Azra. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar
Filsafat Pendidikan. Bandung: CV. Alfabeta.
Siswanto. 2015. Filsafat
dan Pemikiran Pendidikan Islam. Surabaya: Pena
Salsabila.
Suharto, Toto. 2014. Filsafat
Pendidikan Islam; Menguatkan Epistemologi Islam
Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
[1] Siswanto, Filsafat dan Pemikiran Pendidikan
Islam, (Surabaya: Pena Salsabila, 2015), hlm. 68.
[2] Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm.
23-24.
[3] Ibid., Siswanto, hlm. 70.
[4] Ninik Masruroh dan Umiarso, Modernisasi Pendidikan Islam
Ala Azyumardi Azra, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm.
40.
[5] Ibid., Siswanto, hlm. 76.
[6] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan,
(Bandung: CV. Alfabeta, 2003), hlm. 30.
[7] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan
Islam; Menguatkan Epistemologi Islam Dalam Pendidikan,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 34.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hlm. 35.
[10] Ibid., Siswanto, hlm. 69.
[11] Ibid., Ninik Masruroh dan Umiarso, hlm. 43-46.
[12] Ibid., Siswanto, hlm. 80-81.
[13] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi
Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 9-10.