Makalah Hukum Adat Waris (Pengertian, Sistem Hukum dan Pembagian Waris)


Makalah ini berjudul tentang hukum warid adat, makalah ini disusun dengan sistematika penyusunan yang insyallah dapat dikatakan baik. Karena kami  menyusunnya dengan tata cara mengutipan sumber sumber yang autentik. Jika rekan pembaca membutuhkan konten makalah ini, mohon konfirmasi kepada kami. Dengan syarat dan ketentuan yang berlaku kami bisa memberikan file tersebut.  
BAB I
PENDAHULUAN
      A.    LATAR BELAKANG
Adat merupakan cerminan dari pada kepribadian suatu bangsa, ataupun salah satu penjelmaan dari pada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Oleh karena itu, maka tiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru karena ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan, bahwa adat itu merupakan unsur terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan. Bahkan tingkatan perdapan ternyata tidak mampu menghilangkan adat-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat; paling-paling yang terlihat dalam proses kemajuan zaman adalah, bahwa adat tersebut menyesuaikan diri dengan keadaan dan kehendak zaman, sehingga adat itu menjadi kekal serta tetap segar.
Di dalam Negara Republik Indonesia ini, adat yang dimiliki oleh daerah-daerah suku-suku bangsa adalah berbeda-beda, meskipun dasar dan sifatnya adalah satu, yaitu ke-Indonesiaannya. Oleh karena itu, maka adat bangsa Indonesia itu dikatakan “Bhineka” (berbeda-beda didaerah suku-suku bangsanya), “Tunggal Ika” ( tetapi tetap satu juga, yaitu dasar dan sifat ke-Indonesiaannya). Adat istiadat yang hidup serta yang berhubungan dengan tradisi rakyat inilah yang merupakan sumber yang mengagumkan bagi hukum adat kita, salah satunya hukum adat waris.
      B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa Pengertian Hukum Waris Adat?
2.      Bagaimana Sistem Hukum waris?
3.      Bagaimana Pembagian Warisan Dalam perspektif  Hukum Adat?
      C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk Mengetahui tentang Hukum Waris Adat
2.      Untuk Mengetahui Sistem Hukum Waris
3.      Untuk Mengetahui Pembagian Warisan

BAB II
PEMBAHASAN
      A.    Waris
Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik materiil maupun yang immateriil dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya. Prof. Soepomo dalam “ Bab-bab tentang hukum adat” merumuskan hukum adat waris sebagai berikut: “ Hukum adat waris memuat pengaturan-pengaturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta-benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.”[1]
Ter Haar merumuskan hukum adat waris sebagai berikut: “ Hukum adat waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materiil dan immateril dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam “Hukum Warisan di Indonesia” memberi pengertian “warisan” sebagai berikut: “ warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.[2] 
Hukum waris dalam hukum adat selalu dimaknai serangkaian peraturan yang mengatur peralihan harta peninggalan atau harta warisan dari satu generasi kegenerasi lain, baik mengenai benda materiil maupun immateriil. Sekaligus menunjukkan bahwa proses kewarisan tidak harus berlangsung dalam suasana kematian. Hal ini berarti bahwa hukum waris adat mencangkup pula masalah tindakan-tindakan mengenai pelimpahan harta benda semasa seseorang masih hidup.[3]
      B.     Sistem Hukum Waris Adat
Di Indonesia ini kita menjumpai tiga sistem kewarisan dalam hukum adat sebagai berikut:
a.       Sistem kewarisan individual
Cirinya harta peninggalan dapat dibagi-bagikan di antara para ahli waris seperti dalam masyarakat bilateral di Jawa
b.      Sistem kewarisan kolektif
Cirinya harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-sama merupakan semacam badan hukum di mana harta tersebut, yang disebut harta pusaka, tidak boleh dibagi-bagikan pemilikannya diantara para ahli waris dimaksud dan hanya boleh dibagi-bagikan pemakaiannya saja kepada mereka itu (hanya mempunyai hak pakai saja) seperti dalam masyarakatmatrilineal di minangkabau.
c.       Sistem kewarisan mayorat
Ciri harta peninggalan diwaris keseluruhannya atau sebagian besar (sejumlah harta pokok dari satu keluarga) oleh seorang anak saja, seperti halnya di Bali di mana terdapat hak mayorat anak laki-laki yang tertua dan di Tanah-Semendo di Sumatera Selatan di mana terdapat hak mayorat anak perempuan yang tertua.[4]
Ketiga sistem kewarisan ini, masing-masing tidak langsung menunjuk kepada suatu bentuk susunan masyarakat tertentu di mana sistem kewarisan itu  berlaku, sebab suatu sistem tersebut di atas dapat diketemukan juga dalam berbagai bentuk susunan masyarakat ataupun dalam satu bentuk susunan masyarakat dapat pula dijumpai lebih dari satu sistem kewarisan dimaksud diatas.[5] Kita ambil contoh satu keluarga di jawa yang terdiri atas suami isteri dengan beberapa anak laki-laki dan anak perempuan. Apabila anak yang tertua itu anak laki-laki, maka ada suatu kebiasaan untuk memberikan kepadanya secara hibah sebagian daripada harta keluarga, misalnya sebidang tanah pertanian, pada waktu ia menjadi dewasa dan telah cakap bekerja sendiri (kuwat gawe) sebagai dasar materiil untuk kehidupannya setelah ia mentas. Kepada anak perempuan yang telah dewasa dan dikawinkan, lazimnya pada waktu dikawinkan itu, juga sebagai dasar materiil bagi kehidupannya lebih lanjut setelah ia berdiri sendiri dengan suaminya sebagai satu keluargha baru, dihibahkan dari harta keluarga itu seabagian, misalnya sebidang tanah perkebunan atau sebuah rumah.
                        Apabila seorang anak telah mendapatkan pemberian semasa hidup bapaknya sedemikian banyaknya, sehingga boleh dianggap ia telah mendapat bagian penuh dari harta peninggalan bapaknya, maka anak itu tidak berhak lagi atas barang-barang lain yang dibagi-bagi setelah bapaknya meninggal dunia. Tetapi, setelah melihat banyaknya barang-barang harta peninggalan, ternyata yang diterima oleh anak tersebut masih belum cukup, maka ia akan mendapatkan tambahan, pada saat harta peninggalan bapaknya dibagi, sehingga bagian menjadi sama dengan pembagian saudara-saudaranya yang lain.[6]
                        Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi adalah merupakan contoh dari sistem kewarisan kolektif. Sebagai contoh dari pada harta yang semacam ini yaitu salah satunya harta-pusaka di Minangkabau, sifat kekeluargaan di Minangkabau yang matriarchaal ini memperlihatkan adanya barang-barang keluarga seperti tanah-pertanian, pekarangan dengan rumah dan ternak, perkebunan, keris dan lain sebagainya,yang merupakan harta pusaka milik suatu keluarga. Barang-barang yang demikian ini hanya dapat dipakai saja oleh segenap  warga keluarga yang bersangkutan, tetapi tidak boleh dimiliki oleh mereka itu masing-masing.oleh para anggota keluarga tersebut hanya memiliki hak pakai saja,maka meninggalnya seorang anggota tidak mempunyai akibat sedikitpun terhadap hubungan hukum antara para anggota keluarga dimaksud yang masih hidup dengan harta pusaka yang bersangkutan. Tetapi wafatnya seorang anggota malahan menambah harta pusaka keluarga yang bersangkutan dengan barang-barang yang diperoleh orang yang wafat itu (harta pencaharian) setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang si wafat tersebut.[7]
Hanya diwarisi oleh seorang saja, menimbulkan sistem kewarisan mayorat, seperti yang dijumpai di Bali, yaitu semua harta peninggalan jatuh pada anak laki-laki yang tertua dengan ketentuan bahwa ia sebagai ganti bapaknya, wajib memelihara saudara-saudaranya hingga mereka mentas. Hal semacam didapat pula di lampung dan anak laki-laki di daerah tersebut disebut penyimbang kalau di daerah Sumatera Selatan sistem kewarisan mayorat juga, yang menerima sejumlah bagian pokok dari harta peninggalan yang mencakup semua jenis barang yang ada pada harta peninggalan, adalah anak perempuan yang tertua yang di daerah ini disebut tunggu tubang.[8]
      C.    Pembagian Warisan Dalam perspektif  Hukum Adat
Pembagian harta peninggalan adalah suatu perbuatan daripada ahli waris bersama-sama. Serta pembagian itu diselenggarakan dengan permufakatan atau kehendak bersama daripada ahli waris. Apabila harta peninggalan dibagi antara ahli waris, maka pembagian itu biasanya berjalan secara rukun, didalam suasanan ramah tamah dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap-tiap waris. Yang mana pembagian berjalan atas dasar kerukunan.
            Didalam menjalankan kerukunan itu semua pihak mengetahui haknya masing-masing menurut hukum, sehingga mereka mengetahui juga apabila ada pembagian yang menyimpang serta seberapa jauh penyimpangan tersebut dari peraturan-peraturan hukum. Atas persetujuan semua pihak, tiap pembagian yang menyimpang dari peraturan hukum dapat diselenggarakan dan pelaksanaannya mengikat semua pihak yang telah bersepakat itu.[9]
Jika beberapa orang bersama-sama memperoleh suatu warisan, maka warisan ini tentunya pada suatu waktu akan dibagi. Peraturan-peraturan yang termuat dalam buku II BW perihal Boedel Scheiding (Pasal 1066) oleh UU ditetapkan berlaku untuk segala macam pembagian dari tiap kekayaan bersama yang belum terbagi. Jadi tidak saja untuk pembagian warisan, tetapi juga misalnya untuk pembagian kekayaan bersama yang terjadi karena perkawainan atau karena beberapa orang bersama-sama telah mendirikan suatu persekutuan dagang. Karena itu, perkataan “Boedel Scheiding dapat diartikan sebagai suatu perbuatan hukum yang bermaksud untuk mengakhiri suatu keadaan, dimana terdapat suatu kekayaan bersama yang belum terbagi.[10]
Hak untuk menuntut supaya diadakan pembagian suatu kekayaan bersama, adalah suatu hak yang tidak boleh dikurangi apalagi dihapuskan sebaliknya kepada orang-orang yang mempunyai piutang-piutang terhadap yang meninggal, oleh Undang-undang diberikan hak untuk mengadakan perlawanan terhadap pembagian warisan selama piutang-piutang itu belum dilunasi. Apabila kekayaan itu sudah terbagi, mereka lalu hanya dapat  menagih piutang mereka pada ahli waris seorang demi seorang masing-masing untuk suatu jumlah yang selaras dalam bagiannya dalam warisan, yang sudah tentu membawa banyak kesulitan. Menurut Undang-undang, yang harus melakukan imbreng tersebut ialah para ahli waris dalam garis lancang kebawah, dengan tidak diperbedakan apakah mereka itu mewarisi menurut undang-undang atau ditunjuk dalam testamen.[11]
Pembagian warisan menurut undang-undang yaitu setelah mengenal siapa saja ahli waris itu dan termasuk golongan berapakah mereka, kini perlu diketahui berapa besar bagiannya masing-masing dari ahli waris itu.
1.      Golongan I
Adapun yang termasuk dalam golongan ini adalah suami atau istri yang hidup terlama, anak beserta keturunannya. Golongan ahli waris ini menutup golongan ahli wairs II, III, dan ssterusnya.
a.       Berdasarkan pasal 852 KUHPerdata anak-anak sekalian keturunan mereka, biarpun dilahirkan dari lain perkawinan sekalipun, mewarisi dari kedua orang tua, kakek, nenek, atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki dan perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dahulu.
b.      Bersarkan pasal 852 a KUHPerdata dalam halnya mengenai warisan seorang suami atau istri yang meninggal terlebih dahulu, si istri atau suami yang hidup terlama, dalam melakukan ketentuan-ketentuan dalam bab ini, dipersamakan dengan seorang anak yang sah dari si meninggal dengan pengertian, bahwa jika perkwainan suami istri itu adalah untuk kedua kali atau selanjutnya, dan dari perkawinan yang dulu ada anak-anak dan atau keturunan anak-anak itu, si istri atau suami baru tak akan mendapat bagian warisan yang lebih besar daripada bagian warisan terkecil yang akan diterima oleh salah seorang anak tadi atau dalam hal bilamana anak itu telah meninggal lebih dahulu oleh sekalian keturunan penggantinya, sedangkan dalam hal bagaimanapun, tak bolehlah bagian si istri atau suami itu lebih dari ¼ harta peninggalan si meninggal.
2.      Golongan II
Adapun yang termasuk dalam golongan ini adalah Ayah, Ibu, Saudara, beserta keturunannya serta golongan ini menutup golongan III dan IV
a.       Pasal 854 ayat (1) KUHPerdata apabila seorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan  maupun suami atau istri, sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka masing-masing mereka mendapat 1/3 dari warisan, jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara laki atau perempuan, yang mana mendapat 1/3 selebihnya.
b.      Pasal 854 ayat (2) KUHPerdata si ibu dan si bapak masing-masing mendapat 1/4 , jika si meninggal meninggalkan lebih dari seorang saudara laki atau perempuan, sedangkan 2/4 bagian selebihnya menjadi bagian saudara-saudara laki atau perempuan itu.
c.       Pasal 855 KUH perdata
Apabila seorang  meninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan, maupun suami maupun istri, sedangkan bapak atau ibunya telah meninggal lebih dahulu, maka si ibu tau si bapak yang hidup terlama mendapatkan ½ dari warisan, jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara perempuan atau laki-laki 1/3 dari warisan, jika dua saudara laki-laki dan perempuan yang ditingglakannya. Dan ¼ jika lebih dari dua saudara laki-laki atau perempuan yang ditinggalkannya
d.      Pasal 857 KUH Perdata
Pasal ini mengatur pembagian diantrea saudra.
3.      Golongan III
Adapun yang termasuk kedalam golongan ini adalah keluarag dalam garis lurus keatas sesudah bapak dan ibu yang diatur dalam pasal 858 KUH Perdata. Dalam hal tak adanya sauadra laki-laki dan perempuan dan tak adanya pula sanak saudara dalam salah satu garis keatas, setengah bagian dari warisan menjadi bagian sekalian keluarga sedarah dalam garis keatas yang masih hidup, sedamgkan ½ bagian lainnya, kecuali dalah hal tersebut dalam pasal berikut, menjadi bagian dari sanak saudara dalam garis yang lain.[12]
           

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1)      Hukum waris dalam hukum adat merupakan serangkaian peraturan yang mengatur peralihan harta peninggalan atau harta warisan dari satu generasi kegenerasi lain, baik mengenai benda materiil maupun immateriil. Sekaligus menunjukkan bahwa proses kewarisan tidak harus berlangsung dalam suasana kematian.
2)      a.  Sistem kewarisan individual
b. Sistem kewarisan kolektif
      c. Sistem kewarisan mayorat
3) Pembagian harta peninggalan adalah suatu perbuatan dari pada ahli waris bersama-sama. Serta pembagian itu diselenggarakan dengan permufakatan atau kehendak bersama daripada ahli waris. Apabila harta peninggalan dibagi antara ahli waris, maka pembagian itu biasanya berjalan secara rukun, didalam suasanan ramah tamah dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap-tiap waris.
B. SARAN
          Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak  demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Setiawan, I Ketut Oka. Hukum perorangan dan kebendaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
Muhammad, Bushar.  pokok-pokok Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita,2002.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2003.
Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Haji Masagung, 1988.




[1] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), hlm. 161.
[2] Ibid.
[3] Bushar Muhammad, pokok-pokok Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita,2002), hlm. 39.
[4] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), hlm. 165
[5] Ibid.
[6] Ibid, hlm. 172
[7] Ibid, hlm. 167
[8] Ibid, hlm. 171
[9] Ibid, hlm. 181
[10] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), hlm. 116.
[11] Ibid, hal 116-117.
[12] I Ketut Oka Setiawan, Hukum perorangan dan kebendaan (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 160-169.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel