Makalah Hukum Adat Waris (Pengertian, Sistem Hukum dan Pembagian Waris)
Februari 01, 2019
Makalah ini berjudul tentang
hukum warid adat, makalah ini disusun dengan sistematika penyusunan yang insyallah
dapat dikatakan baik. Karena kami menyusunnya
dengan tata cara mengutipan sumber sumber yang autentik. Jika rekan pembaca membutuhkan
konten makalah ini, mohon konfirmasi kepada kami. Dengan syarat dan ketentuan yang
berlaku kami bisa memberikan file tersebut.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Adat merupakan cerminan dari pada
kepribadian suatu bangsa, ataupun salah satu penjelmaan dari pada jiwa bangsa
yang bersangkutan dari abad ke abad. Oleh karena itu, maka tiap bangsa di dunia
ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak
sama. Justru karena ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan, bahwa adat itu
merupakan unsur terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa yang
bersangkutan. Bahkan tingkatan perdapan ternyata tidak mampu menghilangkan
adat-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat; paling-paling yang terlihat dalam
proses kemajuan zaman adalah, bahwa adat tersebut menyesuaikan diri dengan
keadaan dan kehendak zaman, sehingga adat itu menjadi kekal serta tetap segar.
Di dalam Negara Republik Indonesia ini,
adat yang dimiliki oleh daerah-daerah suku-suku bangsa adalah berbeda-beda,
meskipun dasar dan sifatnya adalah satu, yaitu ke-Indonesiaannya. Oleh karena
itu, maka adat bangsa Indonesia itu dikatakan “Bhineka” (berbeda-beda didaerah
suku-suku bangsanya), “Tunggal Ika” ( tetapi tetap satu juga, yaitu dasar dan
sifat ke-Indonesiaannya). Adat istiadat yang hidup serta yang berhubungan
dengan tradisi rakyat inilah yang merupakan sumber yang mengagumkan bagi hukum
adat kita, salah satunya hukum adat waris.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
Pengertian Hukum Waris Adat?
2. Bagaimana
Sistem Hukum waris?
3. Bagaimana
Pembagian Warisan Dalam perspektif Hukum
Adat?
C. TUJUAN
PENULISAN
1. Untuk
Mengetahui tentang Hukum Waris Adat
2. Untuk
Mengetahui Sistem Hukum Waris
3. Untuk
Mengetahui Pembagian Warisan
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Waris
Hukum adat waris meliputi norma-norma
hukum yang menetapkan harta kekayaan baik materiil maupun yang immateriil dari
seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga
mengatur saat, cara dan proses peralihannya. Prof. Soepomo dalam “ Bab-bab
tentang hukum adat” merumuskan hukum adat waris sebagai berikut: “ Hukum adat
waris memuat pengaturan-pengaturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoperkan barang-barang harta-benda dan barang-barang yang tidak terwujud
benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.”[1]
Ter Haar merumuskan hukum adat waris
sebagai berikut: “ Hukum adat waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang
bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu
berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materiil dan immateril dari
suatu generasi kepada generasi berikutnya. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam
“Hukum Warisan di Indonesia” memberi pengertian “warisan” sebagai berikut: “
warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan
beralih kepada orang lain yang masih hidup.[2]
Hukum waris dalam hukum adat selalu
dimaknai serangkaian peraturan yang mengatur peralihan harta peninggalan atau
harta warisan dari satu generasi kegenerasi lain, baik mengenai benda materiil
maupun immateriil. Sekaligus menunjukkan bahwa proses kewarisan tidak harus
berlangsung dalam suasana kematian. Hal ini berarti bahwa hukum waris adat mencangkup
pula masalah tindakan-tindakan mengenai pelimpahan harta benda semasa seseorang
masih hidup.[3]
B. Sistem
Hukum Waris Adat
Di
Indonesia ini kita menjumpai tiga sistem kewarisan dalam hukum adat sebagai
berikut:
a. Sistem
kewarisan individual
Cirinya harta
peninggalan dapat dibagi-bagikan di antara para ahli waris seperti dalam
masyarakat bilateral di Jawa
b. Sistem
kewarisan kolektif
Cirinya harta
peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-sama merupakan
semacam badan hukum di mana harta tersebut, yang disebut harta pusaka, tidak
boleh dibagi-bagikan pemilikannya diantara para ahli waris dimaksud dan hanya
boleh dibagi-bagikan pemakaiannya saja kepada mereka itu (hanya mempunyai hak
pakai saja) seperti dalam masyarakatmatrilineal di minangkabau.
c. Sistem
kewarisan mayorat
Ciri harta peninggalan
diwaris keseluruhannya atau sebagian besar (sejumlah harta pokok dari satu
keluarga) oleh seorang anak saja, seperti halnya di Bali di mana terdapat hak
mayorat anak laki-laki yang tertua dan di Tanah-Semendo di Sumatera Selatan di
mana terdapat hak mayorat anak perempuan yang tertua.[4]
Ketiga sistem kewarisan
ini, masing-masing tidak langsung menunjuk kepada suatu bentuk susunan
masyarakat tertentu di mana sistem kewarisan itu berlaku, sebab suatu sistem tersebut di atas
dapat diketemukan juga dalam berbagai bentuk susunan masyarakat ataupun dalam
satu bentuk susunan masyarakat dapat pula dijumpai lebih dari satu sistem
kewarisan dimaksud diatas.[5] Kita
ambil contoh satu keluarga di jawa yang terdiri atas suami isteri dengan
beberapa anak laki-laki dan anak perempuan. Apabila anak yang tertua itu anak
laki-laki, maka ada suatu kebiasaan untuk memberikan kepadanya secara hibah
sebagian daripada harta keluarga, misalnya sebidang tanah pertanian, pada waktu
ia menjadi dewasa dan telah cakap bekerja sendiri (kuwat gawe) sebagai dasar
materiil untuk kehidupannya setelah ia mentas. Kepada anak perempuan yang telah
dewasa dan dikawinkan, lazimnya pada waktu dikawinkan itu, juga sebagai dasar
materiil bagi kehidupannya lebih lanjut setelah ia berdiri sendiri dengan suaminya
sebagai satu keluargha baru, dihibahkan dari harta keluarga itu seabagian,
misalnya sebidang tanah perkebunan atau sebuah rumah.
Apabila seorang anak telah mendapatkan
pemberian semasa hidup bapaknya sedemikian banyaknya, sehingga boleh dianggap
ia telah mendapat bagian penuh dari harta peninggalan bapaknya, maka anak itu
tidak berhak lagi atas barang-barang lain yang dibagi-bagi setelah bapaknya
meninggal dunia. Tetapi, setelah melihat banyaknya barang-barang harta
peninggalan, ternyata yang diterima oleh anak tersebut masih belum cukup, maka
ia akan mendapatkan tambahan, pada saat harta peninggalan bapaknya dibagi,
sehingga bagian menjadi sama dengan pembagian saudara-saudaranya yang lain.[6]
Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi
adalah merupakan contoh dari sistem kewarisan kolektif. Sebagai contoh dari
pada harta yang semacam ini yaitu salah satunya harta-pusaka di Minangkabau,
sifat kekeluargaan di Minangkabau yang matriarchaal ini memperlihatkan adanya
barang-barang keluarga seperti tanah-pertanian, pekarangan dengan rumah dan
ternak, perkebunan, keris dan lain sebagainya,yang merupakan harta pusaka milik
suatu keluarga. Barang-barang yang demikian ini hanya dapat dipakai saja oleh
segenap warga keluarga yang
bersangkutan, tetapi tidak boleh dimiliki oleh mereka itu masing-masing.oleh
para anggota keluarga tersebut hanya memiliki hak pakai saja,maka meninggalnya
seorang anggota tidak mempunyai akibat sedikitpun terhadap hubungan hukum
antara para anggota keluarga dimaksud yang masih hidup dengan harta pusaka yang
bersangkutan. Tetapi wafatnya seorang anggota malahan menambah harta pusaka
keluarga yang bersangkutan dengan barang-barang yang diperoleh orang yang wafat
itu (harta pencaharian) setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang si
wafat tersebut.[7]
Hanya diwarisi oleh
seorang saja, menimbulkan sistem kewarisan mayorat, seperti yang dijumpai di
Bali, yaitu semua harta peninggalan jatuh pada anak laki-laki yang tertua
dengan ketentuan bahwa ia sebagai ganti bapaknya, wajib memelihara
saudara-saudaranya hingga mereka mentas. Hal semacam didapat pula di lampung
dan anak laki-laki di daerah tersebut disebut penyimbang kalau di daerah
Sumatera Selatan sistem kewarisan mayorat juga, yang menerima sejumlah bagian
pokok dari harta peninggalan yang mencakup semua jenis barang yang ada pada
harta peninggalan, adalah anak perempuan yang tertua yang di daerah ini disebut
tunggu tubang.[8]
C. Pembagian
Warisan Dalam perspektif Hukum Adat
Pembagian harta peninggalan adalah suatu
perbuatan daripada ahli waris bersama-sama. Serta pembagian itu diselenggarakan
dengan permufakatan atau kehendak bersama daripada ahli waris. Apabila harta
peninggalan dibagi antara ahli waris, maka pembagian itu biasanya berjalan
secara rukun, didalam suasanan ramah tamah dengan memperhatikan keadaan
istimewa dari tiap-tiap waris. Yang mana pembagian berjalan atas dasar
kerukunan.
Didalam menjalankan kerukunan itu
semua pihak mengetahui haknya masing-masing menurut hukum, sehingga mereka
mengetahui juga apabila ada pembagian yang menyimpang serta seberapa jauh
penyimpangan tersebut dari peraturan-peraturan hukum. Atas persetujuan semua
pihak, tiap pembagian yang menyimpang dari peraturan hukum dapat
diselenggarakan dan pelaksanaannya mengikat semua pihak yang telah bersepakat
itu.[9]
Jika beberapa orang bersama-sama
memperoleh suatu warisan, maka warisan ini tentunya pada suatu waktu akan
dibagi. Peraturan-peraturan yang termuat dalam buku II BW perihal Boedel
Scheiding (Pasal 1066) oleh UU ditetapkan berlaku untuk segala macam pembagian
dari tiap kekayaan bersama yang belum terbagi. Jadi tidak saja untuk pembagian
warisan, tetapi juga misalnya untuk pembagian kekayaan bersama yang terjadi
karena perkawainan atau karena beberapa orang bersama-sama telah mendirikan
suatu persekutuan dagang. Karena itu, perkataan “Boedel Scheiding dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan hukum yang bermaksud untuk mengakhiri suatu
keadaan, dimana terdapat suatu kekayaan bersama yang belum terbagi.[10]
Hak untuk menuntut supaya diadakan
pembagian suatu kekayaan bersama, adalah suatu hak yang tidak boleh dikurangi
apalagi dihapuskan sebaliknya kepada orang-orang yang mempunyai piutang-piutang
terhadap yang meninggal, oleh Undang-undang diberikan hak untuk mengadakan
perlawanan terhadap pembagian warisan selama piutang-piutang itu belum
dilunasi. Apabila kekayaan itu sudah terbagi, mereka lalu hanya dapat menagih piutang mereka pada ahli waris
seorang demi seorang masing-masing untuk suatu jumlah yang selaras dalam
bagiannya dalam warisan, yang sudah tentu membawa banyak kesulitan. Menurut
Undang-undang, yang harus melakukan imbreng tersebut ialah para ahli waris
dalam garis lancang kebawah, dengan tidak diperbedakan apakah mereka itu
mewarisi menurut undang-undang atau ditunjuk dalam testamen.[11]
Pembagian warisan menurut undang-undang
yaitu setelah mengenal siapa saja ahli waris itu dan termasuk golongan
berapakah mereka, kini perlu diketahui berapa besar bagiannya masing-masing
dari ahli waris itu.
1. Golongan
I
Adapun yang termasuk
dalam golongan ini adalah suami atau istri yang hidup terlama, anak beserta
keturunannya. Golongan ahli waris ini menutup golongan ahli wairs II, III, dan
ssterusnya.
a. Berdasarkan
pasal 852 KUHPerdata anak-anak sekalian keturunan mereka, biarpun dilahirkan
dari lain perkawinan sekalipun, mewarisi dari kedua orang tua, kakek, nenek,
atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas,
dengan tiada perbedaan antara laki dan perempuan dan tiada perbedaan
berdasarkan kelahiran lebih dahulu.
b. Bersarkan
pasal 852 a KUHPerdata dalam halnya mengenai warisan seorang suami atau istri
yang meninggal terlebih dahulu, si istri atau suami yang hidup terlama, dalam
melakukan ketentuan-ketentuan dalam bab ini, dipersamakan dengan seorang anak
yang sah dari si meninggal dengan pengertian, bahwa jika perkwainan suami istri
itu adalah untuk kedua kali atau selanjutnya, dan dari perkawinan yang dulu ada
anak-anak dan atau keturunan anak-anak itu, si istri atau suami baru tak akan
mendapat bagian warisan yang lebih besar daripada bagian warisan terkecil yang
akan diterima oleh salah seorang anak tadi atau dalam hal bilamana anak itu
telah meninggal lebih dahulu oleh sekalian keturunan penggantinya, sedangkan
dalam hal bagaimanapun, tak bolehlah bagian si istri atau suami itu lebih dari
¼ harta peninggalan si meninggal.
2. Golongan
II
Adapun yang termasuk
dalam golongan ini adalah Ayah, Ibu, Saudara, beserta keturunannya serta
golongan ini menutup golongan III dan IV
a. Pasal
854 ayat (1) KUHPerdata apabila seorang meninggal dunia dengan tidak
meninggalkan keturunan maupun suami atau
istri, sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka masing-masing mereka
mendapat 1/3 dari warisan, jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara
laki atau perempuan, yang mana mendapat 1/3 selebihnya.
b. Pasal
854 ayat (2) KUHPerdata si ibu dan si bapak masing-masing mendapat 1/4 , jika
si meninggal meninggalkan lebih dari seorang saudara laki atau perempuan,
sedangkan 2/4 bagian selebihnya menjadi bagian saudara-saudara laki atau
perempuan itu.
c. Pasal
855 KUH perdata
Apabila seorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan
keturunan, maupun suami maupun istri, sedangkan bapak atau ibunya telah
meninggal lebih dahulu, maka si ibu tau si bapak yang hidup terlama mendapatkan
½ dari warisan, jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara perempuan
atau laki-laki 1/3 dari warisan, jika dua saudara laki-laki dan perempuan yang
ditingglakannya. Dan ¼ jika lebih dari dua saudara laki-laki atau perempuan
yang ditinggalkannya
d. Pasal
857 KUH Perdata
Pasal ini mengatur
pembagian diantrea saudra.
3. Golongan
III
Adapun yang termasuk
kedalam golongan ini adalah keluarag dalam garis lurus keatas sesudah bapak dan
ibu yang diatur dalam pasal 858 KUH Perdata. Dalam hal tak adanya sauadra
laki-laki dan perempuan dan tak adanya pula sanak saudara dalam salah satu
garis keatas, setengah bagian dari warisan menjadi bagian sekalian keluarga
sedarah dalam garis keatas yang masih hidup, sedamgkan ½ bagian lainnya,
kecuali dalah hal tersebut dalam pasal berikut, menjadi bagian dari sanak
saudara dalam garis yang lain.[12]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1) Hukum
waris dalam hukum adat merupakan serangkaian peraturan yang mengatur peralihan
harta peninggalan atau harta warisan dari satu generasi kegenerasi lain, baik
mengenai benda materiil maupun immateriil. Sekaligus menunjukkan bahwa proses
kewarisan tidak harus berlangsung dalam suasana kematian.
2) a. Sistem kewarisan individual
b. Sistem kewarisan
kolektif
c. Sistem kewarisan mayorat
3)
Pembagian harta peninggalan adalah suatu perbuatan dari pada ahli waris
bersama-sama. Serta pembagian itu diselenggarakan dengan permufakatan atau
kehendak bersama daripada ahli waris. Apabila harta peninggalan dibagi antara
ahli waris, maka pembagian itu biasanya berjalan secara rukun, didalam suasanan
ramah tamah dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap-tiap waris.
B. SARAN
Penulis menyadari bahwa dalam
pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan, maka dari
itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini di masa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
Setiawan, I Ketut Oka. Hukum
perorangan dan kebendaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
Muhammad, Bushar. pokok-pokok Hukum Adat. Jakarta:
Pradnya Paramita,2002.
Subekti.
Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2003.
Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar
dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Haji Masagung, 1988.
[1] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar
dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), hlm. 161.
[2] Ibid.
[3] Bushar Muhammad,
pokok-pokok Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita,2002), hlm. 39.
[4] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar
dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), hlm. 165
[5] Ibid.
[6] Ibid, hlm. 172
[7] Ibid, hlm. 167
[8] Ibid, hlm. 171
[9] Ibid, hlm. 181
[10] Subekti, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), hlm. 116.
[11] Ibid, hal 116-117.
[12] I Ketut Oka Setiawan,
Hukum perorangan dan kebendaan (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 160-169.