Pengertian Modal, Riba, Interest dan Loss Profit Sharing, Serta Konsepnya (Makalah Lengkap)

Modal adalah kesediaan uang dalam bantuk tunai. Modal adalah segala sesuatu baik berupa uang maupun keseluruhan barang-barang yang masih ada dalam proses produksi dan digunakan untuk biaya usaha. Modal merupakan kumpulan dari barang-barang modal, yaitu semua barang yang ada dalam rumah tangga perusahaan dalam fungsi produktifnya untuk membentuk pendapatan.
Jadi, yang dimaksud dengan modal adalah bukan hanya berupa uang saja tetapi termasuk juga aktiva yang ada dalam perusahaan seperti; mesin-mesin, kendaraan, bangunan pabrik, bahan baku, dan lain-lain, yang digunakan untuk menjalankan operasi usahanya.


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Ekonomi dalam kajian keilmuan dapat dikelompokkan ke dalam ekonomi mikro dan ekonomi makro. Ekonomi mikro mempelajari bagaimana perilaku tiap-tiap individu dalam setiap unit ekonomi, yang dapat berperan sebagai konsumen, pekerja, investor, pemilik tanah atau sumber yang lain, ataupun perilaku dari sebuah industri.
Modal juga termasuk ke dalam komponen ekonomi mikro, Perusahaan yang merupakan lembaga ekonomi bertujuan menghasilkan barang dan jasa melalui penggunaan sumber-sumber ekonomi secara efektif dan efisien. Setiap perusahaan yang menjalankan usaha selalu membutuhkan modal kerja. Modal kerja itu antara lain digunakan untuk pembelian bahan baku, aktiva tetap, pembayaran gaji karyawan dan pembayaran biaya-biaya lainnya. Apabila perusahaan kekurangan modal maka besar kemungkinannya perusahaan tersebut akan kehilangan pendapatan dan keuntungan. Perusahaan yang tidak memiliki modal yang cukup tetapi tidak dapat membayar kewajiban jangka pendek pada waktunya maka akan menghadapi masalah likuiditas.
Di dalam modal ada bunga atau interest yang merupakan balas jasa yang diterima rumah tangga konsumen atau penyedia dana dari perusahaan karena telah meminjamkan sejumlah dana untuk modal usaha perusahaan dalam kegiatan produksi.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai mekanisme modal dan konsep bunga dalam modal, serta bagi hasil atau loss profit sharing antara pemilik modal dengan perusahaan atau pengusaha.

B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana pengertian modal, interest dan loss profit sharing, serta konsepnya?
2.    Bagaimana pengertian riba, gharar dalam Islam, dan time value of money?
3.    Bagaimana dasar atau landasan hukum riba dan gharar dalam Islam?

C.     Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui pengertian modal, interest dan loss profit sharing, serta konsepnya.
2.    Untuk mengetahui pengertian riba, gharar dalam Islam, dan time value of money.
3.    Untuk mengetahui dasar atau landasan hukum riba dan gharar dalam Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Modal
1.    Pengertian Modal
Modal adalah kesediaan uang dalam bantuk tunai. Modal adalah segala sesuatu baik berupa uang maupun keseluruhan barang-barang yang masih ada dalam proses produksi dan digunakan untuk biaya usaha. Modal merupakan kumpulan dari barang-barang modal, yaitu semua barang yang ada dalam rumah tangga perusahaan dalam fungsi produktifnya untuk membentuk pendapatan. Jadi, yang dimaksud dengan modal adalah bukan hanya berupa uang saja tetapi termasuk juga aktiva yang ada dalam perusahaan seperti; mesin-mesin, kendaraan, bangunan pabrik, bahan baku, dan lain-lain, yang digunakan untuk menjalankan operasi usahanya.[1]

2.    Jenis-Jenis Modal
Di dalam buku karangannya Prof. Dr. Bambang Riyanto membagi modal atas dua jenis yaitu:
a.    Modal asing/hutang
Modal asing adalah modal yang berasal dari luar perusahaan yang sifatnya sementara di dalam suatu perusahaan, dan bagi perusahaan yang bersangkutan modal tersebut merupakan “utang”, yang pada saatnya harus dibayar kembali. Modal asing terdiri dari tiga golongan yaitu:
1)    Modal Asing/Utang Jangka Pendek (Short-term Debt), yaitu jangka waktunya kurang dari satu tahun.
2)    Modal Asing/Utang Jangka Menengah (Intermediate-term Debt), yaitu jangka waktunya dari satu sampai sepuluh tahun.
3)    Modal Asing/Utang Jangka Panjang (Long-term Debt), yaitu jangka waktunya lebih dari sepuluh tahun.[2]
b.    Modal sendiri
Modal sendiri pada dasarnya adalah modal yang berasal dari pemilik perusahaan dan yang tertanam di dalam perusahaan untuk waktu yang tidak tertentu lamanya. Modal sendiri di dalam suatu perusahaan yang terbentuk Perseroan Terbatas (PT) terdiri dari, modal saham dan keuntungan.[3]

3.    Pemanfaatan Modal
Secara garis besar, modal diperlukan untuk membiayai suatu usaha baik untuk pembuatan produk, proyek, atau jasa, modal ada dua macam yaitu:
a.    Modal Investasi
Modal ini digunakan untuk pembelian atau pengadaan untuk tujuan menunjang proses produksi.
b.    Modal Kerja
Modal ini terdiri dari biaya tetap dan biaya langsung atau biaya variable.[4]

4.    Siklus Modal
Siklus modal adalah perputaran uang yang ditanamkan dalam suatu bisnis. Uang itu akan diputar dan saling terkait satu sama lain melalui transaksi bisnis, pinjaman uang dari pihak lain atau Bank, kemudian ditambah adanya kewajiban kepada Negara yang harus dibayar dalam bentuk pajak atau retribusi.
a.       Mula-mula modal ditanamkan oleh investor atau entrepreneur untuk menjalankan bisnis tertentu. Modal itu terdiri dari modal investasi dan modal kerja untuk biaya variable dan biaya tetap.
b.      Barang-barang investasi, bahan baku, dan tenaga kerja akan digabung untuk dioprasikan.
c.       Barang dan jasa yang dihasilkan kemudian dijual kepasar dan terjadi transaksi pembelian dengan pelanggan. Hasil penjualan ini disebut pendapatan.
d.      Dari pendapatan hasil penjualan tersebut (X) maka uang itu dianggarkan lagi untuk:
A = Biaya pegawai.
B = Biaya oprasional.
C = Pengembalian utang kepada bank berupa pokok pinjaman dan bunga
sebagai biaya.
D = Pembayaran pajak-pajak kepada Negara.
-       Apabila hasil penjualan X lebih kecil (A+B+C+D), maka usahannya rugi (E<0).
-       Apabila hasil penjualan X sama dengan (A+B+C+D), maka usahannya impas, tidak untung, tidak rugi (E=0).
-       Apabila hasil penjualan X lebih besar (A+B+C+D), maka usahannya untung (E>0).
e.       Kalau usahanya untung, maka lama kelamaan keuntungan itu dikumpulkan untuk dijadikan modal lagi guna memperbesar usahanya sesuai dengan prospek bisnisnya. Kalau usahanya rugi, maka lama-kelamaan modal dari manapun datangnya akan habis dan usahanya akan berhenti karena tidak ada perputaran modal lagi (bangkrut).
f.       Kalau prospek bisnisnya bagus sekali dan masih kekurangan modal, maka dapat melakukan peminjaman lagi ke bank, atau kepihak-pihak lainnya.
Demikianlah seterusnya siklus modal itu berputar. Semakin besar usahanya, semakin besar perputaran modalnya, dan semakin besar pula keuntungannya.[5]

B.     Interest (Bunga)
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwasanya Bunga adalah sejumlah uang yang dibayarkan atau dihasilkan sebagai kompensasi terhadap apa yang dapat diperoleh dari penggunaan uang. Sedang dalam hal perhitungan bunga, terdapat dua jenis perhitungan pendapatan bunga, yaitu:
1)      Simple Interest (Bunga Tunggal)
Bunga tunggal adalah bunga yang dihitung dari pokok pinjaman dari simpanan awal. Dalam arti lain, bunga tunggal adalah bunga yang dibayarkan setiap jangka waktu tertentu dan bersifat tetap. sebagai contoh, Awal simpanan (tabungan) Rp. 125.000,- disimpan di bank konvensional selama 4 tahun dengan suku bunga 8% pertahun (bunga tunggal). Maka dengan perhitungan seperti yang dibawah ini dapat diketahui berapa pokok dan bunga yang harus dibayarkan.
B = M.r.t
B = Rp. 125.000 x 8% x 4 th
B = Rp. 40.000,-
Jadi Simpanan pokok dan bunga 4 tahun
NA = 125000 + 40000 = Rp. 165.000,-
2)      Compound Interest (Bunga Majemuk)
Bunga majemuk adalah bunga yang diperhitungkan atas modal dan bunga tersebut ditambahkan pada modal awal, untuk dibungakan kembali pada periode berikutnya, sehingga bunga pada setiap saat berbeda-beda.
Sebagai contoh, sama dengan contoh bunga tunggal, Awal simpanan (tabungan) Rp. 125.000,- disimpan di bank konvensional selama 4 tahun dengan suku bunga 8% pertahun (bunga majemuk). Maka perhitungannya dengan menggunakan rumus berikut:
Fn = M (1 + r) n atau NADn = Co (1 + r) n
F4 = 125000 (1 + 8%) 4
F4 = 125000 (1 + 0.08) 4
F4 = 125000 (1,08) 4
F4 = 125000 (1,3605) = 170062,5

1.    Perbandingan Berbagai Jenis Tingkat Suku Bunga
Keuangan berhubungan dengan tiga jenis utama tingkat suku bunga, yaitu, tingkat suku bunga Nominal (inom), Tingkat Suku Bunga Periodik (iPER), dan tingkat suku bunga efektif tahunan (EAR atau EFF%). Oleh sebab itu, sangatlah penting untuk memahami arti masing-masing dan kapan ketiga jenis tingkat suku bunga tersebut harus digunakan.
a.       Tingkat suku bunga nominal, atau tercatat, atau APR. Ini adalah tingkat suku bunga yang dikeluarkan oleh pihak perbankan, perusahaan sekuritas, dan lembaga-lembaga keuangan lainnya. Jadi, jika anda berbicara seorang bankir, seorang pialang, memberi pinjaman kepemilikan rumah, perusahaan penyandang kredit mobil, maka biasanya yang mereka berikan berikan atau keluarkan adalah tingkat suku bunga nominal. Akan tetapi, agar dapat bermakna, tingkat suku bunga yang dikeluarkan itu juga harus termasuk jumlah periode pemajemukan dalam setahun.
Tingkat suku bunga nominal untuk kredit konsumen disebut juga presentase tingkat suku bunga tahunan (Anual Percentage Rate – APR). Jika perusahaan penerbit kartu kredit mencantumkan angka APR sebesar 18 % sebulan, berarti tingkat suku bunganya adalah 18%/12 = 1,5 % perbulan.
Tingkat suku bunga nominal dapat dibandingkan satu sama lainnya, tetapi ini sebaiknya dilakukan hanya jika instrumen yang dibandingkan menggunakan jumlah periode pemajemukan pertahun yang sama.
b.      Tingkat suku bunga periodik, iPER ini adalah tingkat suku bunga yang dibebankan oleh pemberi pinjaman atau yang dibayarkan peminjam setiap periode. Tingkat suku bunga ini bisa berupa bunga tahunan, per periode enam bulan, per kuartal, per bulan, per hari, per periode lainnya. Sebagai contoh, sebuah bank mungkin mengenakan bunga APR sebesar 18%. Atau 1,5% perbulan untuk pinjaman kartu kreditnya, atau perusahaan pembiayaan yang akan membebankan bunga 3% perkuartal atas cicilan pinjaman. Tingkat suku bunga periodik adalah tingkat suku bunga yang secara umum ditampikan dalam garis waktu dan digunakan dalam perhitungan.
c.       Tingkat Suku Bunga Efektif (atau ekuivalen) tahunan (EAR). Ini merupakan tingkat suku bunga tahunan yang akan menghasilkan nilai yang sama seperti jika kita memajemukkan pada periode tertentu sebanyak m kali pertahun.[6]

C.     Loss Profit Sharing
1.    Pengertian
Bagi hasil menurut terminologi asing (Inggris) dikenal dengan profit sharing. Secara definitive profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba dan distribusi beberapa bagian dari laba para pegawai dari suatu perusahaan.[7] Karena pembagian tidak hanya ketika memperoleh keuntungan, tetapi juga pada saat mengalami kerugian maka disebutlah sebagai perjanjian loss profit sharing.
Loss profit sharing merupakan perjanjian atas sesuatu jenis perkongsian, dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan dana dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan hasil usaha dibagi sesuai dengan nisbah porsi bagi hasil yang telah disepakati bersama sejak awal maka kalau mengalami kerugian shahibul maal akan kehilangan sebagian imbalan dari hasil kerja keras dan managerial skill selama proyek berlangsung.
Dalam kenyataan menunjukkan bahwa dalam kehidupan masyarakat disatu sisi dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya ada sebagian orang yang memiliki suatu keahlian tertentu, tetapi tidak ada atau kekurangan modal untuk memulai suatu usaha yang bersifat produktif, sementara sebagian lainnya justru memiliki dana (modal) yang cukup tetapi tidak memiliki satu keahlian.
Berdasarkan kenyataan itu, perlu adanya titik temu agar keinginan para pihak tersebut dapat disatukan satu sama lain. Kerjasama profit and loss sharing antara pemilik modal dan pelaksana usaha merupakan langkah tepat, sebagaimana yang sudah dilakukan Nabi Muhammad SAW ketika bekerjasama dengan seorang pelaku usaha wanita bernama Siti Khadijah. Adapun caranya, Khadijah menyerahkan modal berupa barang dagangan untuk dibawa Muhammad berniaga antara negeri Mekkah dengan Sham (Syiria).[8]

2.    Landasan Hukum
Para ulama’ sepakat bahwa landasan syariah Islam profit and loss sharing dapat ditemukan dalam Al-Qur’an:
Artinya: Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.”
Ayat ini menjelaskan bahwa profit and loss sharing dengan tujuan mendapatkan keutamaan Allah. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ {10}
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)
Dipandang secara umum, kandungan ayat di atas mencakup usaha profit and loss sharing dilaksanakan dengan berjalan-jalan di muka bumi, dan ia merupakan salah satu bentuk mencari keutamaan Allah.
Para Ulama Fiqh dalam mencari rujukan bagi keabsahan akad mudharabah, secara umum mengacu pada aspek latar belakang sosiohistorisnya. Mereka menganalisis wacana-wacana kegiatan profit and loss sharing Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang terjadi waktu itu. Seperti Hadis Taqririyah yang di riwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa bapaknya al-Abbas telah mempratekkan profit and loss sharing ketika memberi uang kepada temannya dimana dia mempersyaratkan agar mitranya tidak mempergunakannya dengan jalan mengarungi lautan, menuruni lembah atau membelikan sesuatu yang hidup. Jika dia melakukan salah satunya, maka dia akan menjadi tanggungannya. Peristiwa ini dilaporkan kepada Nabi, dan beliaupun menyetujuinya.
Hukum profit and loss sharing adalah boleh (ja’iz) menurut ijma (konsensus). Ja’iz adalah ukuran penilaian bagi perbuatan dalam kehidupan kesusilaan (akhlak atau moral) pribadi. Kalau mengenai benda misalnya makanan disebut halal (bukan ja’iz).[9]
Profit and loss sharing oleh ijma’ dihukumi boleh atau jaiz karena berdasar pada kaidah Fiqh “Al Masyaqqotu tajlibu at taisir” artinya Kesulitan akan mendorong kemudahan, Lafadz masyaqqah secara bahasa berarti sulit, berat, dan yang searti dengannya.

3.    Ketentuan Loss Profit Sharing
Beberapa ketentuan dasar yang perlu diperhatikan pada bentuk kerjasama dengan konsep loss profit sharing ini antara lain:
a.    Adanya ijab qabul
Ulama’ Hanafiyah menyatakan bahwa yang menjadi rukun perjanjian profit and loss sharing hanyalah ijab (ungkapan penyerahan modal dari pemiliknya) dan qabul (ungkapan menerima modal dan persetujuan mengelola modal tersebut). Jika pemilik modal dengan pengelola modal telah melafalkan ijab dan qabul, maka akad itu telah memenuhi rukunnya dan sah. Sedangkan jumhur ulama menyatakan bahwa rukun profit and loss sharing terdiri atas yang berakad, modal, keuntungan, kerja, dan akad; tidak hanya terbatas pada rukun sebagaimana yang dikemukakan oleh Hanafi.[10]
Dalam diktum kedua pada Fatwa DSN disebutkan syarat perjanjian profit and loss sharing yaitu, pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1)      Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
2)      Penerimaan dan penawaran dilakukan pada saat kontrak.
3)      Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.[11]
b.    Adanya modal
Modal diserahkan tunai 100% sekaligus kepada Pelaku usaha setelah akad disetujui. Namun apabila kedua belah pihak telah sepakat, ternyata modal diserahkan secara bertahap, maka tahapan mengenai waktu dan cara penyerahannya harus lengkap dan jelas. Dalam perjanjian harus disebutkan dengan jelas dan lengkap mengenai jumlah dana yang diserahkan, hal ini selain agar tidak terjadi perbedaan penafsiran, terutama pada saat pembagian hasil usaha dikemudian hari, juga pelaku usaha dapat memisahkan harta antara modal usaha yang berasal dari pemilik modal dan harta milik pribadi. Selain itu harus terdapat pula ketentuan mengenai pihak yang bertanggung jawab apabila terjadi kerugian baik karena ketidaksengajaan maupun oleh karena kelalaian pelaku usaha.
c.    Adanya pembagian keuntungan (termasuk risiko)
Sebagaimana dalam kebebasan mengucapkan lafadz-lafadz ijab qabul (kebebasan berkontrak), dalam hal pembagian keuntungan, juga tidak ada ketentuan syariah yang menentukan secara pasti besar kecil bagi hasil (nisbah) masing-masing pihak, baik pemilik modal maupun Pelaku usaha, pada dunia bisnis kesepakatan dicapai setelah terjadi negosiasi.
Meskipun demikian, salah satu prinsip yang selalu dipegang pemilik modal dan pelaku usaha adalah bahwa pembagian tersebut dilandasi oleh semangat kerelaan didukung i’tikat baik kedua belah pihak untuk melakukan kerjasama tanpa merugikan dan/atau dirugikan oleh pihak manapun. Namun demikian, sebagaimana disinggung pada poin modal di atas, kerugian karena ketidaksengajaan, misalnya obyek kegiatan usaha terkena bencana alam, maka kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal, artinya selain modal hilang, juga tidak menerima keuntungan. Sementara Pelaku usaha tidak menanggung kerugian materi, hanya waktu dan tenaganya terbuang dalam menjalankan kegiatan usaha tersebut.
Dalam diktum kedua Fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang perjanjian profit and loss sharing (mudharabah) tentang ketentuan pembiayaan menyebutkan bahwa penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari profit and loss sharing, dan pelaku usaha tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian atau pelanggaran kesepakatan.
d.    Adanya jenis kegiatan usaha yang jelas dan pasti
Meskipun dalam hal ini pemilik modal tidak dapat memaksakan jenis usaha yang dijalankan pelaku usaha, namun tujuan penggunaan dana harus diketahui pemilik modal, pelaku usaha bebas menentukan sendiri usaha-usaha yang akan dijalankan, namun umumnya konsep dasar pelaku usaha sering digunakan pada usaha kemitraan, waralaba, pembiayaan modal kerja dan usaha-usaha lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan konsep Islam dan perundang-undangan yang berlaku.

D.     Riba
1.    Pengertian Riba
Riba menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu:
-          Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
-          Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
-          Berlebihan atau menggelembung.[12]
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Muhammad Abduh, ialah penambahan-penambahan diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
Menurut Al Mali ialah: “Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui pertimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak salah satu keduanya”.
Sedangkan menurut terminologi syara’, riba berarti: “Akad untuk satu ganti khusus tanpa diketahui perbandingannya dalam penilaian syariat ketika berakad atau bersama dengan mengakhirkan kedua ganti atau salah satunya.”[13]
Dengan demikian, riba menurut istilah ahli fiqih adalah penambahan pada salah satu dari dua ganti yang sejenis tanpa ada ganti dari tambahan ini. Tidak semua tambahan dianggap riba, karena tambahan terkadang dihasilkan dalam sebuah perdagangan dan tidak ada riba didalamnya hanya saja tambahan yang diistilahkan dengan nama “riba” dan Al-Quran datang menerangkan pengharamannya adalah tambahan tempo.[14]

2.    Macam-macam Riba
Riba bisa diklasifikasikan menjadi riba Al-Fadl, riba Al-yadd, dan riba An-nasi’ah, riba Qardhi, Berikut penjelasan lengkap macam-macamnya:
a.    Riba Al-Fadhl
Riba Al-Fadhl adalah kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar antara tukar menukar benda-benda sejenis dengan tidak sama ukurannya, seperti satu gram emas dengan seperempat gram emas, maupun perak dengan perak.[15] Hal ini sesuai dengan hadist Nabi SAW. sebagai berikut, yang artinya: “Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah riba”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
b.    Riba Al-Yadd
Riba Al-Yadd, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, si penjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak. Seperti dalam Hadits Nabi SAW. yang artinya: “Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan..” (HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)
c.    Riba An-Nasi’ah
Riba Nasi’ah adalah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa, yang artinya: Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)
d.    Riba Qardhi
Riba Qardhi adalah riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu rupiah). Terhadap bentuk transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda Rasulullah SAW. artinya: “Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi).

3.    Dasar Hukum Riba
Al-Quran menyinggung keharaman rba secara kronologis diberbagai tempat. Pada periode Mekkah turun firman Allah swt. Dalam surat Ar-Ruum ayat 39:[16]
وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّباً لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ
وَمَا آتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ {39}
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.
Pada periode Madinah turun ayat yang secara jelas dan tegas tentang keharaman riba, terdapat dalam surat Ali-Imran ayat 130.[17]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ {130}
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara jelas riba adalah perbuatan haram, termasuk salah satu dari lima dosa besar yang membinasakan.
Dalam hadist lain keharaman riba bukan hanya kepada pelakunya, tetapi semua pihak yang membantu terlaksananya perbuatan riba sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, yang artinya: “Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim).

E.     Time Value of Money
1.    Pengertian Time Value of Money
Time value of money atau dalam bahasa Indonesianya disebut dengan nilai waktu uang yaitu merupakan suatu konsep yang menyatakan bahwa nilai uang sekarang akan lebih berharga dari pada nilai uang masa yang akan datang atau suatu konsep yang mengacu pada perbedaan nilai uang yang disebabkan karena perbedaan waktu. Atau Time value of money adalah konsep yang menyatakan bahwa nilai uang sekarang akan Iebih tinggi nilainya mengikuti faktor waktu dan bunga yang terjadi. Dan tendapat beberapa faktor yang mempengaruhi nilai waktu uang yaitu tingkat inflasi yang terjadi, perubahan suku bunga bank, kebijakan pemerintah dalam hal pajak, dan Iain-lain.
Menurut William R. Lasher mengemukakan bahwa time value of money didasarkan pada gagasan bahwa sejumlah uang di tangan seseorang saat ini bernilai lebih dari jumlah yang sama dijanjikan pada beberapa waktu di masa depan. Sejumlah uang yang diterima oleh investor untuk penggunaannya diluar modal awal itu dinamakan bunga (interest), sedangkan modal awal yang diinvestasikan sering disebut dengan participal. Konsep ini dikembangkan oleh Von Bhom Bawerk dalam capital interest dan positive theory of capital memang menyebutkan bahwa positive time preference merupakan pola ekonomi yang normal, sistematis dan rasional. Diskonto dalam positive time preference ini biasanya didasarkan pada tingkat suku bunga.[18]
Dalam konsep Time Value Of Money sejumlah uang yang akan diterima dari hasil investasi pada akhir tahun, kalau kita memperhatikan nilai waktu uang, maka nilainya akan lebih rendah pada akhir tahun depan. Apabila disuruh memilih akan menerima uang saat ini atau seminggu kedepan, kita pasti akan memilih untuk diambil saat ini, karena nilai yang kita dapat saat ini dengan seminggu kedepan tentu akan sangat berbeda nilai waktu uangnya.[19]
Waktu adalah salah satu faktor yang penting dalam membuat suatu keputusan untuk menentukan apa yang akan anda lakukan dengan uang yang anda miliki, karena dengan adanya waktu maka akan ada kesempatan untuk menunda konsumsi dan memperoleh pendapatan yang biasanya kita sebut bunga.

2.    Konsep Time Value of Money
Dalam hal konsep Time Value Of Money terdapat dua konsep perhitunga nilai dari uang tersebut, yaitu:
a.    Future Value (Nilai Kemudian)
Nilai waktu uang akan memungkinkan simpanan menghasilkan bunga. Dan bunga tersebut akan menambah pokok simpanan, pokok simpanan yang setiap tahun menjadi semakin besar sehingga simpanan tersebut menjadi berlipat ganda.[20]
Nilai kemudian atau future value dapat diperoleh dengan mengalikan tingkat bunga dengan pokok pinjaman atau periode tertentu. Tingkat bunga dapat dihitung setiap bulan, kuartalan, enam bulan atau satu tahun sekali. Bahkan dalam dunia perbankan di Indonesia, dikenal dengan simpanan bunga harian meskipun tingkat bunga ditentukan setiap satu tahun.[21] Sebagai contoh, kalau anda menyimpan uang anda di bank sebesar Rp. 1.000.000,- selama satu tahun dan memperoleh bunga 15% per tahun, maka pada akhir tahun anda akan menerima: NT1 = 1.000.000 (1+0,15) = 1.150.000
Dalam hal ini NT1 adalah nilai terminal pada tahun kesatu. Nilai terminal menunjuan nilai pada waktu tersebut. Apabila Co adalah nilai simpanan pada awal periode, maka nilai terminal pada tahun (periode) ke n, adalah:
NTn = Co (1+ r)
Dalam hal ini r adalah tingkat bunga yang dipergunakan. Bunga yang diberikan kepada penabung mungkin dibayarkan tidak hanya sekali dalam setahun, tetapi juga bisa juga dua kali, tiga kali atau m kali. Kalau bunga dibayarkan dua kali dalam setahun, maka pada akhir tahun 1 nilai terminalnya adalah: NT1 = 1.000.000 {1 + (0,15/2)} = 1.155.625
b.    Presen Value (Nilai sekarang)
Dalam penilaian investasi, manajer keuangan diharuskan mengukur nilai sekarang aliran kas yang diharapkan akan dihasilkan dalam investasi tersebut. Sama halnya dengan konsep nilai kemudian atau Future Value, dalam konsep nilai sekarang ini pun ada dua alternatif aliran kas, aliran kas yang terjadi satu tahun sekali dan aliran kas yang berkali-kali dengan jumlah yang sama setiap tahun atau anuitas.[22]
Sebagai contoh, seseorang menjanjikan akan memberikan uang sebesar Rp. 700.000,- satu tahun akan datang. Sementara itu tingkat suku bunga bank yang berlaku pada saat ini adalah 8% pertahun. Timbul pertanyaan, berapakah seseorang itu harus menyimpan uangnya di bank agar satu tahun kedepan menjadi Rp. 700.000,-?, berapa satu tahun yang akan datang kalau tingkat bunga yang berlaku 8% pertahun ?
        Rp 700.000,-  =  XO (1+0,08)
                        XO  =
                               = Rp. 648.150,-
Dengan demikian nilai sekarang penerimaan kas Rp.700.000,- satu tahun yang akan datang dengan bunga 8% pertahun adalah Rp.648.150,-. Dapat juga dikatakan bahwa Rp.648.150,- kas saat ini memiliki nilai yang sama dengan Rp.700.000,- satu tahun yang akan datang bila bunga yang berlaku 8% pertahun.

F.     Gharar
1.    Pengertian Gharar
Dalam surah Al-baqarah ayat 188, yaitu:
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ {188}
Artinya: Dan janganlah (saling) memakan harta di antara kalian dengan (cara yang) batil dan (jangan pula) membawa (urusan harta) itu kepada hakim (untuk kalian menangkan) dengan (cara) dosa agar kalian dapat memakan sebahagian harta orang lain, padahal kalian mengetahui. (QS. Al-Baqarah, 188)
Kata “al-gharar” dalam bahasa Arab adalah isim mashdar dari kata (غرر) yang berkisar pengertiannya pada kekurangan, pertaruhan (al-khathr), serta menjerumuskan diri dalam kehancuran dan ketidakjelasan. Di dalam kontrak bisnis berarti melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa pengetahuan yang mencukupi atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya.[23]
Menurut M. Ali Hasan gharar adalah keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain. Suatu akad yang mengandung unsur penipuan, karena tidak ada kepastian, baik mengenai ada atau tidak ada objek akad, besar kecil jumlah maupun menyerahkan objek akad tersebut.[24]
Berdasarkan ayat di atas, jika kita kaitkan dengan jual beli gharar kata “Dan janganlah (saling) memakan harta di antara kalian dengan (cara yang) batil” merupakan suatu contoh jual beli gharar. Dimana apabila seseorang melakukan jual beli yang mengandung gharar akan dikategorikan sebagai memakan harta orang dengan cara yang batil dimana kalau kita lihat pengertian gharar ini adalah ketidakjelasan. Dan akan mempunyai potensi untuk merugikan baik si penjual ataupun si pembeli.
Yang termasuk gharar yaitu seperti menjual makanan sebelum matang, dalam Hadits dijelaskan sebagai berikut:
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; Saya membaca di hadapan Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar bahwasannya Rasulullah Shallallu 'alaihi wa sallam melarang menjual buah-buahan hingga tampak matangnya, beliau melarang hal itu kepada penjual dan pembeli. Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami 'Ubaidillah dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallu 'alaihi wa sallam seperti hadits di atas.
Kesimpulan Hadis:
-          Larangan menjual buah-buahan sebelum tampak matang.
-          Larangan itu mengharuskan kerusakan, sehingga jual bel buah-buahan yang belum matang tidak sah.
-          Boleh menjualnya setelah tampak matang, dengan syarat pemutusan pada saat itu pula
-          Hikmah larangan ini, bahwa sebelum matang, buah-buahan masih rentan terhadap kerusakan dan gangguan. Jika buah-buahan rusak, maka pembelilah yang harus menanggungnya, sehingga tidak ada manfaat yang dia peroleh, sehingga penjual dianggap mengambil harta orang lain.[25]
Konsep gharar dapat dibagi menjadi 2 kelompok:
-          Kelompok pertama adalah unsur resiko yang mengandung keraguan, probabilitas dan ketidakpastian secara dominan.
-          Sedangkan kelompok kedua unsur meragukan yang dikaitkan dengan penipuan atau kejahatan oleh salah satu pihak terhadap pihak lainnya.

2.    Dasar Hukum Gharar
Pada Hadits Rasulullah, yang artinya: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar”.
Dari sabda Rasulullah di atas jelas telah dikatakan Rasulullah SAW bahwa jual beli gharar itu merupakan hal yang dilarang jadi tidak ada alasan untuk kita melakukan jual beli yang seperti ini.
Gharar merupakan suatu kegiatan yang memilki potensi untuk membuat seseorang meraup untung sebanyak-banyaknya, maka dari itu manusia bisa terlena ke dalam jual beli ini.
Pada Surah An-Nisa: 29, sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً {29}
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan (gunakan) harta-harta kamu sesama kamu dengan jalan yang salah (tipu, judi dan sebagainya), kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan secara suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu berbunuh-bunuhan sesama sendiri. Sesungguhnya Allah sentiasa Mengasihani kamu.”
Menurut Maraghi di dalam ayat ini terdapat isyarat adanya berbagai faedah:
-          Dasar halalnya perniagaan adalah saling meridhai antara pembeli dan penjual. Penipuan, pendustaan dan pemalsuan adalah hal-hal yang diharamkan.
-          Segala yang ada di dunia berupa perniagaan dan apa yang tersimpan di dalam maknanya seperti kebatilan yang tidak kekal dan tidak tetap, hendaknya tidak melalaikan orang berakal untuk mempersiapkan diri demi kehidupan akhirat yang lebih baik dan kekal.
-          Mengisyaratkan bahwa sebagian besar jenis perniagaan mengandung makna memakan harta dengan batil. Sebab pembatasan nilai sesuatu dan menjadikan harganya sesuai dengan ukurannya berdasar neraca yang lurus hampir-hampir merupakan sesuatu yang mustahil.







BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Modal adalah segala sesuatu baik berupa uang maupun keseluruhan barang-barang yang masih ada dalam proses produksi dan digunakan untuk biaya usaha. Modal merupakan kumpulan dari barang-barang modal, yaitu semua barang yang ada dalam rumah tangga perusahaan dalam fungsi produktifnya untuk membentuk pendapatan. Dalam peminjaman modal di dalamnya ada bunga yang mana bunga adalah sejumlah uang yang dibayarkan atau dihasilkan sebagai kompensasi terhadap apa yang dapat diperoleh dari penggunaan uang sebagai modal.
Bagi hasil yang disebut dengan profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba dan distribusi beberapa bagian dari laba para pegawai dari suatu perusahaan. Karena pembagian tidak hanya ketika memperoleh keuntungan, tetapi juga pada saat mengalami kerugian maka disebutlah sebagai perjanjian loss profit sharing.
Dalam Islam adanya bunga disebut termasuk riba dan diharamkan, yang mana riba menurut Muhammad Abduh, ialah penambahan-penambahan diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
Time value of money atau dalam bahasa Indonesianya disebut dengan nilai waktu uang yaitu merupakan suatu konsep yang menyatakan bahwa nilai uang sekarang akan lebih berharga dari pada nilai uang masa yang akan datang atau suatu konsep yang mengacu pada perbedaan nilai uang yang disebabkan karena perbedaan waktu.
Gharar menurut M. Ali Hasan gharar adalah keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain. Suatu akad yang mengandung unsur penipuan, karena tidak ada kepastian dalam objek akadnya.

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini banyak sekali kekurangannya, maka dari itu penulis mengharapkan masukan dari berbagai pihak yang mendukung untuk perbaikan makalah ini, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
al-Zuhaili, Wahbah. 1989. al-Fiqh al-Islami wa ‘Adillatuhu, Juz IV. Beirut: Dar al-Fikr
Asnaini, Setiawan Evan, dan Windi Asriani. 2012. Manajemen Keuangan. Yogyakarta: Teras
Astamoen, Moko P. 2008. Entrepreneurship. Bandung: Alfabeta
Azim, Abdul Aziz Muhammad. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah
Brigham, Eugene F., Joel, F. Houston. 2009. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan. Jakarta: Salemba Empat
Daud Ali, Muhammad. 2001. Hukum Islam pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Ghazaly, Abdul Rahman, dkk. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Hasan, M. Ali. 2004. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: Rajawali Pers
http://alfiantoromdoni.blogspot.com/2011/12/konsep-nilai-waktu-dari-uang.html,
Karim, Helmi. 1997. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Madani. 2011. Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syari’ah. Jakarta: Rajawali Pers
Muhammad. 2005. Bank Syariah di Indonesia Analisa Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah. Yogyakarta: UII Pers
Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam Jilid 4. Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf
Riyanto, Bambang. 2001. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan. Yogyakarta: BPFE
Suad, Husnan, Enny, Pudjiastuti. 1998. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, Ed. II, Cet. 1. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN
Suhendi, Hendi. 2005. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sukirno, Sadono. 2012. Makro Ekonomi Teori Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers




[1] Asnaini, Evan Setiawan, dan Windi Asriani, Manajemen Keuangan, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 12
[2] Bambang Riyanto, Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan, (Yogyakarta: BPFE, 2001), hlm. 227
[3] Ibid, hlm. 240
[4] Moko P. Astamoen, Entrepreneurship, (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 298
[5] Ibid, hlm. 301
[6] Eugene F. Brigham, Joel, F. Houston, Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, (Jakarta: Salemba Empat, 2009), hlm. 313
[7] Muhammad, Bank Syariah di Indonesia Analisa Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah, (Yogyakarta: UII Pers, 2005), hlm. 77
[8] Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 14
[9] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 132
[10] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa ‘Adillatuhu, Juz IV (Beirut: Dar al-Fikr, t.t. 1989), hlm. 839
[11] Fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000, tentang Syarat Pembiayaan mudharabah, hlm. 2
[12] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 57
[13] Abdul Aziz Muhammad Azim, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 216
[14] Ibid, hlm. 217
[15] Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2010), hlm. 220
[16] Ibid, hlm. 220
[17] Ibid, hlm. 221
[18] Sadono Sukirno, Makro Ekonomi Teori Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 270
[19] http://alfiantoromdoni.blogspot.com/2011/12/konsep-nilai-waktu-dari-uang.html, diakses pada tanggal 20-05-2017
[20] Suad, Husnan, Enny, Pudjiastuti, Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, Ed. II, Cet. 1, (Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN, 1998), hlm. 56
[21] Ibid, hlm. 56-57
[22] Dasar-Dasar Manajemen Keuangan,Op.Cit., hlm. 65-66
[23] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 4, (Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 161
[24] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hlm. 147
[25] Madani, Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 112-113

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel