Pengertian Modal, Riba, Interest dan Loss Profit Sharing, Serta Konsepnya (Makalah Lengkap)
Mei 22, 2017
Modal adalah kesediaan uang dalam bantuk
tunai. Modal adalah segala
sesuatu baik berupa uang maupun keseluruhan barang-barang yang masih ada dalam
proses produksi dan digunakan untuk biaya usaha. Modal merupakan
kumpulan dari barang-barang modal, yaitu semua barang yang ada dalam rumah
tangga perusahaan dalam fungsi produktifnya untuk membentuk pendapatan.
Jadi, yang dimaksud dengan modal adalah bukan hanya berupa uang saja tetapi termasuk juga aktiva yang ada dalam perusahaan seperti; mesin-mesin, kendaraan, bangunan pabrik, bahan baku, dan lain-lain, yang digunakan untuk menjalankan operasi usahanya.
Jadi, yang dimaksud dengan modal adalah bukan hanya berupa uang saja tetapi termasuk juga aktiva yang ada dalam perusahaan seperti; mesin-mesin, kendaraan, bangunan pabrik, bahan baku, dan lain-lain, yang digunakan untuk menjalankan operasi usahanya.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ekonomi dalam kajian keilmuan dapat dikelompokkan ke
dalam ekonomi mikro dan ekonomi makro. Ekonomi mikro mempelajari bagaimana
perilaku tiap-tiap individu dalam setiap unit ekonomi, yang dapat berperan
sebagai konsumen, pekerja, investor, pemilik tanah atau sumber yang lain,
ataupun perilaku dari sebuah industri.
Modal juga termasuk ke dalam komponen ekonomi mikro,
Perusahaan yang merupakan lembaga ekonomi bertujuan menghasilkan barang dan
jasa melalui penggunaan sumber-sumber ekonomi secara efektif dan efisien.
Setiap perusahaan yang menjalankan usaha selalu membutuhkan modal kerja. Modal
kerja itu antara lain digunakan untuk pembelian bahan baku, aktiva tetap,
pembayaran gaji karyawan dan pembayaran biaya-biaya lainnya. Apabila perusahaan
kekurangan modal maka besar kemungkinannya perusahaan tersebut akan kehilangan
pendapatan dan keuntungan. Perusahaan yang tidak memiliki modal yang cukup
tetapi tidak dapat membayar kewajiban jangka pendek pada waktunya maka akan
menghadapi masalah likuiditas.
Di dalam modal ada bunga atau interest yang merupakan
balas jasa yang diterima rumah tangga konsumen atau penyedia dana dari
perusahaan karena telah meminjamkan sejumlah dana untuk modal usaha perusahaan
dalam kegiatan produksi.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai mekanisme modal
dan konsep bunga dalam modal, serta bagi hasil atau loss profit sharing antara
pemilik modal dengan perusahaan atau pengusaha.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana pengertian modal, interest dan loss profit sharing,
serta konsepnya?
2.
Bagaimana pengertian riba, gharar dalam Islam, dan time
value of money?
3.
Bagaimana dasar atau landasan hukum riba dan gharar dalam
Islam?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian modal, interest dan loss profit sharing,
serta konsepnya.
2.
Untuk
mengetahui pengertian riba, gharar dalam Islam, dan time value of
money.
3. Untuk
mengetahui dasar atau landasan hukum riba dan gharar dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Modal
1.
Pengertian Modal
Modal adalah kesediaan uang dalam bantuk
tunai. Modal adalah segala
sesuatu baik berupa uang maupun keseluruhan barang-barang yang masih ada dalam
proses produksi dan digunakan untuk biaya usaha. Modal merupakan
kumpulan dari barang-barang modal, yaitu semua barang yang ada dalam rumah
tangga perusahaan dalam fungsi produktifnya untuk membentuk pendapatan. Jadi,
yang dimaksud dengan modal adalah bukan hanya berupa uang saja tetapi termasuk
juga aktiva yang ada dalam perusahaan seperti; mesin-mesin, kendaraan, bangunan
pabrik, bahan baku, dan lain-lain, yang digunakan untuk menjalankan operasi
usahanya.[1]
2.
Jenis-Jenis Modal
Di dalam buku karangannya Prof. Dr.
Bambang Riyanto membagi modal atas dua jenis yaitu:
a.
Modal
asing/hutang
Modal asing adalah modal yang berasal dari luar
perusahaan yang sifatnya sementara di dalam suatu perusahaan, dan bagi
perusahaan yang bersangkutan modal tersebut merupakan “utang”, yang pada
saatnya harus dibayar kembali. Modal asing terdiri dari tiga golongan yaitu:
1)
Modal
Asing/Utang Jangka Pendek (Short-term Debt), yaitu jangka waktunya kurang dari
satu tahun.
2)
Modal Asing/Utang Jangka Menengah (Intermediate-term
Debt), yaitu jangka waktunya dari satu sampai sepuluh tahun.
3)
Modal Asing/Utang Jangka Panjang (Long-term Debt), yaitu
jangka waktunya lebih dari sepuluh tahun.[2]
b.
Modal
sendiri
Modal sendiri
pada dasarnya adalah modal yang berasal dari pemilik perusahaan dan yang
tertanam di dalam perusahaan
untuk waktu yang tidak tertentu
lamanya. Modal sendiri di dalam
suatu perusahaan yang terbentuk Perseroan Terbatas (PT) terdiri dari, modal saham dan keuntungan.[3]
3.
Pemanfaatan Modal
Secara garis
besar, modal diperlukan untuk membiayai suatu usaha baik untuk pembuatan
produk, proyek, atau jasa, modal ada dua macam yaitu:
a.
Modal
Investasi
Modal ini
digunakan untuk pembelian atau pengadaan untuk tujuan menunjang proses
produksi.
b.
Modal
Kerja
Modal ini
terdiri dari biaya tetap dan biaya langsung atau biaya variable.[4]
4.
Siklus Modal
Siklus modal adalah perputaran uang yang
ditanamkan dalam suatu bisnis. Uang itu akan diputar dan saling terkait satu sama lain melalui transaksi bisnis,
pinjaman uang dari pihak lain atau Bank, kemudian ditambah adanya kewajiban
kepada Negara yang harus dibayar dalam bentuk pajak atau retribusi.
a. Mula-mula modal ditanamkan oleh
investor atau entrepreneur untuk menjalankan bisnis tertentu. Modal itu terdiri
dari modal investasi dan modal kerja untuk biaya variable dan biaya tetap.
b. Barang-barang investasi, bahan baku,
dan tenaga kerja akan digabung untuk dioprasikan.
c. Barang dan jasa yang dihasilkan
kemudian dijual kepasar dan terjadi transaksi pembelian dengan pelanggan. Hasil
penjualan ini disebut pendapatan.
d. Dari pendapatan hasil penjualan
tersebut (X) maka uang itu dianggarkan lagi untuk:
A = Biaya pegawai.
B = Biaya oprasional.
C = Pengembalian utang kepada bank berupa
pokok pinjaman dan bunga
sebagai biaya.
D = Pembayaran
pajak-pajak kepada Negara.
-
Apabila
hasil penjualan X lebih kecil (A+B+C+D), maka usahannya rugi (E<0).
-
Apabila
hasil penjualan X sama dengan (A+B+C+D), maka usahannya impas, tidak untung, tidak rugi (E=0).
-
Apabila hasil penjualan X lebih besar (A+B+C+D), maka
usahannya untung (E>0).
e. Kalau
usahanya untung, maka lama kelamaan keuntungan itu dikumpulkan untuk dijadikan
modal lagi guna memperbesar usahanya sesuai dengan prospek bisnisnya. Kalau
usahanya rugi, maka lama-kelamaan modal dari manapun datangnya akan habis dan
usahanya akan berhenti karena tidak ada perputaran modal lagi (bangkrut).
f. Kalau
prospek bisnisnya bagus sekali dan masih kekurangan modal, maka dapat melakukan
peminjaman lagi ke bank, atau kepihak-pihak lainnya.
Demikianlah seterusnya siklus modal itu berputar.
Semakin besar usahanya, semakin
besar perputaran modalnya, dan semakin besar pula keuntungannya.[5]
B.
Interest (Bunga)
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwasanya Bunga
adalah sejumlah uang yang dibayarkan atau dihasilkan sebagai kompensasi
terhadap apa yang dapat diperoleh dari penggunaan uang. Sedang dalam hal perhitungan
bunga, terdapat dua jenis perhitungan pendapatan bunga, yaitu:
1)
Simple
Interest (Bunga Tunggal)
Bunga tunggal adalah bunga yang dihitung
dari pokok pinjaman dari simpanan awal. Dalam arti lain, bunga tunggal adalah
bunga yang dibayarkan setiap jangka waktu tertentu dan bersifat tetap. sebagai contoh, Awal simpanan
(tabungan) Rp. 125.000,- disimpan di bank konvensional selama 4 tahun dengan
suku bunga 8% pertahun (bunga tunggal). Maka dengan perhitungan seperti yang
dibawah ini dapat diketahui berapa pokok dan bunga yang harus dibayarkan.
B = M.r.t
B = Rp.
125.000 x 8% x 4 th
B = Rp.
40.000,-
Jadi Simpanan
pokok dan bunga 4 tahun
NA = 125000 +
40000 = Rp. 165.000,-
2)
Compound Interest (Bunga Majemuk)
Bunga majemuk adalah bunga yang diperhitungkan atas modal
dan bunga tersebut ditambahkan pada modal awal, untuk dibungakan kembali pada
periode berikutnya, sehingga bunga pada setiap saat berbeda-beda.
Sebagai
contoh, sama dengan contoh bunga tunggal, Awal simpanan (tabungan) Rp.
125.000,- disimpan di bank
konvensional selama 4 tahun dengan suku bunga 8% pertahun (bunga majemuk). Maka perhitungannya dengan menggunakan
rumus berikut:
Fn = M (1 + r) n atau NADn = Co (1 + r) n
F4 = 125000 (1
+ 8%) 4
F4 = 125000 (1
+ 0.08) 4
F4 = 125000
(1,08) 4
F4 = 125000 (1,3605)
= 170062,5
1.
Perbandingan Berbagai Jenis Tingkat Suku Bunga
Keuangan berhubungan dengan tiga jenis utama tingkat suku
bunga, yaitu, tingkat suku bunga Nominal (inom), Tingkat Suku Bunga Periodik
(iPER), dan tingkat suku bunga efektif tahunan (EAR atau EFF%). Oleh sebab itu, sangatlah penting
untuk memahami arti masing-masing dan kapan ketiga jenis tingkat suku bunga
tersebut harus digunakan.
a. Tingkat suku bunga nominal, atau
tercatat, atau APR. Ini adalah tingkat suku bunga yang dikeluarkan oleh pihak
perbankan, perusahaan sekuritas, dan lembaga-lembaga keuangan lainnya. Jadi,
jika anda berbicara seorang bankir, seorang pialang, memberi pinjaman
kepemilikan rumah, perusahaan penyandang kredit mobil, maka biasanya yang
mereka berikan berikan atau keluarkan adalah tingkat suku bunga nominal. Akan
tetapi, agar dapat bermakna, tingkat suku bunga yang dikeluarkan itu juga harus
termasuk jumlah periode pemajemukan dalam setahun.
Tingkat suku bunga nominal untuk
kredit konsumen disebut juga
presentase tingkat suku bunga tahunan (Anual Percentage Rate – APR). Jika
perusahaan penerbit kartu kredit mencantumkan angka APR sebesar 18 % sebulan,
berarti tingkat suku bunganya adalah 18%/12 = 1,5 % perbulan.
Tingkat
suku bunga nominal dapat dibandingkan satu sama lainnya, tetapi ini sebaiknya
dilakukan hanya jika instrumen yang dibandingkan menggunakan jumlah periode pemajemukan
pertahun yang sama.
b.
Tingkat suku bunga periodik, iPER ini adalah tingkat suku
bunga yang dibebankan oleh pemberi pinjaman atau yang dibayarkan peminjam
setiap periode. Tingkat
suku bunga ini bisa berupa bunga tahunan, per periode enam bulan, per kuartal,
per bulan, per hari, per periode lainnya. Sebagai contoh, sebuah bank mungkin
mengenakan bunga APR sebesar 18%. Atau 1,5% perbulan untuk pinjaman kartu kreditnya, atau perusahaan pembiayaan
yang akan membebankan bunga 3% perkuartal atas cicilan pinjaman. Tingkat suku bunga periodik adalah
tingkat suku bunga yang secara umum ditampikan dalam garis waktu dan digunakan
dalam perhitungan.
c.
Tingkat
Suku Bunga Efektif (atau ekuivalen) tahunan (EAR). Ini merupakan tingkat suku
bunga tahunan yang akan menghasilkan nilai yang sama seperti jika kita
memajemukkan pada periode tertentu sebanyak m kali pertahun.[6]
C.
Loss
Profit Sharing
1.
Pengertian
Bagi hasil menurut terminologi asing (Inggris) dikenal dengan profit
sharing. Secara definitive profit sharing dalam kamus ekonomi
diartikan pembagian laba dan distribusi beberapa bagian dari laba para pegawai
dari suatu perusahaan.[7] Karena pembagian tidak hanya ketika
memperoleh keuntungan, tetapi juga pada saat mengalami kerugian maka disebutlah
sebagai perjanjian loss profit sharing.
Loss profit sharing merupakan perjanjian
atas sesuatu jenis perkongsian, dimana pihak pertama (shahibul maal)
menyediakan dana dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan
usaha. Keuntungan hasil usaha dibagi sesuai dengan nisbah porsi bagi hasil yang
telah disepakati bersama sejak awal maka kalau mengalami kerugian shahibul maal
akan kehilangan sebagian imbalan dari hasil kerja keras dan managerial skill
selama proyek berlangsung.
Dalam kenyataan menunjukkan bahwa dalam kehidupan
masyarakat disatu sisi dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya ada sebagian
orang yang memiliki suatu keahlian tertentu, tetapi tidak ada atau kekurangan
modal untuk memulai suatu usaha yang bersifat produktif, sementara sebagian
lainnya justru memiliki dana (modal) yang cukup tetapi tidak memiliki satu
keahlian.
Berdasarkan
kenyataan itu, perlu adanya titik temu agar keinginan para pihak tersebut dapat
disatukan satu sama lain. Kerjasama profit and loss sharing antara pemilik
modal dan pelaksana usaha merupakan langkah tepat, sebagaimana yang sudah dilakukan Nabi Muhammad SAW ketika bekerjasama dengan
seorang pelaku usaha wanita bernama Siti Khadijah. Adapun caranya, Khadijah menyerahkan modal berupa
barang dagangan untuk dibawa Muhammad berniaga antara negeri Mekkah dengan Sham
(Syiria).[8]
2.
Landasan Hukum
Para ulama’
sepakat bahwa landasan syariah Islam profit and loss sharing dapat ditemukan
dalam Al-Qur’an:
Artinya: “Dan orang-orang yang berjalan di muka
bumi mencari sebagian karunia Allah.”
Ayat ini menjelaskan bahwa profit and loss sharing dengan
tujuan mendapatkan keutamaan Allah. Dalam al-Qur’an Allah
berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ
الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ {10}
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung.” (QS.
Al-Jumu’ah: 10)
Dipandang
secara umum, kandungan ayat di atas mencakup usaha profit and loss sharing
dilaksanakan dengan berjalan-jalan di muka bumi, dan ia merupakan salah satu bentuk
mencari keutamaan Allah.
Para Ulama Fiqh dalam mencari rujukan bagi keabsahan akad
mudharabah, secara umum mengacu pada aspek latar belakang sosiohistorisnya. Mereka menganalisis wacana-wacana kegiatan
profit and loss sharing Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya yang terjadi waktu itu. Seperti Hadis
Taqririyah yang di riwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa bapaknya al-Abbas telah
mempratekkan profit and loss sharing ketika memberi uang kepada temannya dimana
dia mempersyaratkan agar mitranya tidak mempergunakannya dengan jalan
mengarungi lautan, menuruni lembah atau membelikan sesuatu yang hidup. Jika dia melakukan salah satunya, maka
dia akan menjadi tanggungannya. Peristiwa ini dilaporkan kepada Nabi, dan beliaupun
menyetujuinya.
Hukum profit
and loss sharing adalah boleh (ja’iz) menurut ijma (konsensus). Ja’iz
adalah ukuran penilaian bagi perbuatan dalam kehidupan kesusilaan (akhlak atau
moral) pribadi. Kalau
mengenai benda misalnya makanan disebut halal (bukan ja’iz).[9]
Profit and loss sharing oleh ijma’ dihukumi boleh atau
jaiz karena berdasar pada kaidah Fiqh “Al Masyaqqotu tajlibu at taisir” artinya
Kesulitan akan mendorong kemudahan, Lafadz masyaqqah secara bahasa berarti
sulit, berat, dan yang searti dengannya.
3.
Ketentuan Loss Profit Sharing
Beberapa
ketentuan dasar yang perlu diperhatikan pada bentuk kerjasama dengan konsep loss
profit sharing ini antara
lain:
a.
Adanya
ijab qabul
Ulama’ Hanafiyah menyatakan bahwa yang
menjadi rukun perjanjian profit and loss sharing hanyalah ijab (ungkapan
penyerahan modal dari pemiliknya) dan qabul (ungkapan menerima modal dan
persetujuan mengelola modal tersebut). Jika pemilik modal dengan pengelola modal
telah melafalkan ijab dan qabul, maka akad itu telah memenuhi rukunnya dan sah.
Sedangkan jumhur ulama menyatakan bahwa rukun profit and loss sharing terdiri
atas yang berakad, modal, keuntungan, kerja, dan akad; tidak hanya terbatas pada rukun sebagaimana
yang dikemukakan oleh Hanafi.[10]
Dalam diktum kedua pada Fatwa DSN disebutkan syarat
perjanjian profit and loss sharing yaitu, pernyataan ijab dan qabul harus
dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan
kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Penawaran
dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
2) Penerimaan dan penawaran dilakukan
pada saat kontrak.
3) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi atau
dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.[11]
b.
Adanya
modal
Modal diserahkan tunai 100% sekaligus kepada Pelaku usaha setelah akad disetujui. Namun apabila kedua belah pihak telah
sepakat, ternyata modal diserahkan secara bertahap, maka tahapan mengenai
waktu dan cara penyerahannya
harus lengkap dan jelas. Dalam perjanjian harus disebutkan dengan
jelas dan lengkap mengenai jumlah dana yang diserahkan, hal ini selain agar
tidak terjadi perbedaan penafsiran, terutama pada saat pembagian hasil usaha
dikemudian hari, juga pelaku usaha dapat memisahkan harta antara modal usaha
yang berasal dari pemilik modal dan harta milik pribadi. Selain itu harus
terdapat pula ketentuan mengenai pihak yang bertanggung jawab apabila terjadi
kerugian baik karena ketidaksengajaan maupun oleh karena kelalaian pelaku
usaha.
c.
Adanya pembagian keuntungan (termasuk risiko)
Sebagaimana dalam kebebasan mengucapkan lafadz-lafadz ijab
qabul (kebebasan berkontrak), dalam hal pembagian keuntungan, juga tidak ada
ketentuan syariah yang menentukan secara pasti besar kecil bagi hasil (nisbah)
masing-masing pihak, baik pemilik modal maupun Pelaku usaha, pada dunia bisnis
kesepakatan dicapai setelah terjadi negosiasi.
Meskipun demikian, salah satu prinsip yang selalu
dipegang pemilik modal dan pelaku usaha adalah bahwa pembagian tersebut
dilandasi oleh semangat kerelaan didukung i’tikat baik kedua belah pihak untuk
melakukan kerjasama tanpa merugikan dan/atau dirugikan oleh pihak manapun.
Namun demikian, sebagaimana disinggung pada poin modal di atas, kerugian karena
ketidaksengajaan, misalnya obyek kegiatan usaha terkena bencana alam, maka
kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal, artinya selain modal hilang,
juga tidak menerima keuntungan. Sementara
Pelaku usaha tidak menanggung kerugian materi, hanya waktu dan tenaganya terbuang dalam menjalankan
kegiatan usaha tersebut.
Dalam diktum
kedua Fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang perjanjian profit and loss
sharing (mudharabah) tentang ketentuan pembiayaan menyebutkan bahwa penyedia
dana menanggung semua kerugian akibat dari profit and loss sharing, dan pelaku
usaha tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan
disengaja, kelalaian atau pelanggaran kesepakatan.
d.
Adanya jenis kegiatan usaha yang jelas dan pasti
Meskipun dalam hal ini pemilik modal tidak dapat
memaksakan jenis usaha yang dijalankan pelaku usaha, namun tujuan penggunaan
dana harus diketahui pemilik modal, pelaku usaha bebas menentukan sendiri
usaha-usaha yang akan dijalankan, namun umumnya konsep dasar pelaku usaha
sering digunakan pada usaha kemitraan, waralaba, pembiayaan modal kerja dan
usaha-usaha lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan konsep Islam
dan perundang-undangan yang berlaku.
D.
Riba
1.
Pengertian Riba
Riba menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian,
yaitu:
-
Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah
meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
-
Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba
adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang
lain.
-
Berlebihan atau menggelembung.[12]
Sedangkan menurut
istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Muhammad Abduh, ialah
penambahan-penambahan diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang
yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh
peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
Menurut Al Mali
ialah: “Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui
pertimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran
kedua belah pihak salah satu keduanya”.
Sedangkan menurut
terminologi syara’, riba berarti: “Akad untuk satu ganti khusus tanpa diketahui
perbandingannya dalam penilaian syariat ketika berakad atau bersama dengan
mengakhirkan kedua ganti atau salah satunya.”[13]
Dengan demikian, riba menurut istilah ahli fiqih adalah
penambahan pada salah satu dari dua ganti yang sejenis tanpa ada ganti dari
tambahan ini. Tidak semua tambahan dianggap riba, karena tambahan terkadang
dihasilkan dalam sebuah perdagangan dan tidak ada riba didalamnya hanya saja
tambahan yang diistilahkan dengan nama “riba” dan Al-Quran datang menerangkan pengharamannya adalah tambahan tempo.[14]
2.
Macam-macam Riba
Riba bisa diklasifikasikan menjadi riba Al-Fadl, riba
Al-yadd, dan riba An-nasi’ah, riba Qardhi, Berikut penjelasan lengkap
macam-macamnya:
a.
Riba
Al-Fadhl
Riba Al-Fadhl
adalah kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar antara tukar menukar
benda-benda sejenis dengan tidak sama ukurannya, seperti satu gram emas dengan
seperempat gram emas, maupun
perak dengan perak.[15] Hal ini sesuai dengan hadist Nabi SAW. sebagai berikut, yang artinya: “Emas
dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal;
barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah
riba”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
b.
Riba
Al-Yadd
Riba Al-Yadd,
yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima
antara penjual dan pembeli. Misalnya,
seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, si penjual langsung pergi
sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak.
Seperti dalam Hadits Nabi SAW. yang artinya: “Emas dengan emas riba kecuali
dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan
kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kismis dengan
kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan..” (HR al-Bukhari dari Umar
bin al-Khaththab)
c.
Riba
An-Nasi’ah
Riba Nasi’ah adalah tambahan yang disyaratkan oleh orang
yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan
(penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya
si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian waktu
mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan
utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau
menunda jangka waktunya. Mengenai
hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa, yang artinya: “Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya
Nabi Muhammad SAW. Telah
melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan
oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)
d.
Riba
Qardhi
Riba Qardhi adalah riba yang terjadi karena adanya proses
utang piutang atau pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang
yang meminjam atau yang berhutang. Misalnya,
seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian
diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu rupiah). Terhadap
bentuk transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda
Rasulullah SAW. artinya: “Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk
riba.” (Riwayat Baihaqi).
3.
Dasar Hukum Riba
Al-Quran menyinggung keharaman rba secara
kronologis diberbagai tempat. Pada periode Mekkah turun firman Allah swt. Dalam surat Ar-Ruum
ayat 39:[16]
وَمَا آتَيْتُم مِّن
رِّباً لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ
وَمَا آتَيْتُم مِّن
زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ {39}
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipatgandakan
(pahalanya)”.
Pada periode Madinah turun ayat yang secara jelas dan tegas tentang keharaman riba,
terdapat dalam surat Ali-Imran
ayat 130.[17]
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ
اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ {130}
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Dalam hadist
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara jelas riba adalah perbuatan haram,
termasuk salah satu dari lima dosa besar yang
membinasakan.
Dalam hadist
lain keharaman riba bukan hanya kepada pelakunya, tetapi semua pihak yang
membantu terlaksananya perbuatan riba sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh
Muslim, yang artinya: “Rasulullah saw melaknat orang memakan
riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia
bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim).
E.
Time Value of Money
1.
Pengertian Time Value of Money
Time value of money atau dalam bahasa Indonesianya
disebut dengan nilai waktu uang yaitu merupakan suatu konsep yang menyatakan bahwa nilai
uang sekarang akan lebih berharga dari pada nilai uang masa yang akan datang
atau suatu konsep yang mengacu pada perbedaan nilai uang yang disebabkan karena
perbedaan waktu. Atau
Time value of money adalah konsep yang menyatakan bahwa nilai uang sekarang akan Iebih tinggi nilainya mengikuti
faktor waktu dan bunga yang terjadi. Dan tendapat beberapa faktor yang
mempengaruhi nilai waktu uang yaitu tingkat inflasi yang terjadi, perubahan suku bunga bank, kebijakan
pemerintah dalam hal pajak, dan Iain-lain.
Menurut
William R. Lasher mengemukakan bahwa time value of money didasarkan pada
gagasan bahwa sejumlah uang di tangan seseorang saat ini bernilai lebih dari
jumlah yang sama dijanjikan pada beberapa waktu di masa depan. Sejumlah uang yang diterima oleh
investor untuk penggunaannya diluar modal awal itu dinamakan bunga (interest),
sedangkan modal awal yang diinvestasikan sering disebut dengan participal.
Konsep ini dikembangkan oleh Von Bhom Bawerk dalam capital interest dan
positive theory of capital memang menyebutkan bahwa positive time preference
merupakan pola ekonomi yang normal, sistematis dan rasional. Diskonto dalam
positive time preference ini biasanya didasarkan pada tingkat suku bunga.[18]
Dalam konsep
Time Value Of Money sejumlah uang yang akan diterima dari hasil investasi
pada akhir tahun, kalau kita memperhatikan nilai waktu uang, maka nilainya akan
lebih rendah pada akhir tahun depan. Apabila disuruh memilih akan menerima uang
saat ini atau seminggu kedepan, kita pasti akan memilih untuk diambil saat ini,
karena nilai yang kita dapat saat ini dengan seminggu kedepan tentu akan sangat
berbeda nilai waktu uangnya.[19]
Waktu adalah salah satu faktor yang penting dalam membuat
suatu keputusan untuk menentukan apa yang akan anda lakukan dengan uang yang anda
miliki, karena dengan adanya waktu maka akan ada kesempatan untuk menunda konsumsi
dan memperoleh pendapatan yang biasanya kita sebut bunga.
2.
Konsep Time Value of Money
Dalam hal
konsep Time Value Of Money terdapat dua
konsep perhitunga nilai dari uang tersebut, yaitu:
a.
Future
Value (Nilai Kemudian)
Nilai waktu uang akan memungkinkan simpanan menghasilkan
bunga. Dan bunga tersebut akan menambah pokok simpanan, pokok simpanan yang setiap tahun
menjadi semakin besar sehingga simpanan tersebut menjadi berlipat ganda.[20]
Nilai kemudian
atau future value dapat diperoleh dengan mengalikan tingkat bunga dengan pokok pinjaman
atau periode tertentu. Tingkat
bunga dapat dihitung setiap bulan, kuartalan, enam bulan atau satu tahun
sekali. Bahkan dalam dunia perbankan di Indonesia, dikenal dengan simpanan bunga harian meskipun tingkat bunga ditentukan
setiap satu tahun.[21] Sebagai contoh, kalau anda menyimpan uang anda di bank sebesar Rp. 1.000.000,- selama
satu tahun dan memperoleh bunga 15% per tahun, maka pada akhir tahun anda akan
menerima: NT1
= 1.000.000 (1+0,15) =
1.150.000
Dalam hal ini NT1 adalah
nilai terminal pada tahun kesatu. Nilai terminal menunjuan nilai pada waktu
tersebut. Apabila Co adalah nilai simpanan pada awal
periode, maka nilai terminal pada tahun (periode) ke n, adalah:
NTn = Co (1+ r)
Dalam hal ini
r adalah tingkat bunga yang dipergunakan. Bunga yang diberikan kepada penabung
mungkin dibayarkan tidak hanya sekali dalam setahun, tetapi juga bisa juga dua
kali, tiga kali atau m kali. Kalau
bunga dibayarkan dua kali dalam setahun, maka pada akhir tahun 1 nilai
terminalnya adalah: NT1
= 1.000.000 {1 + (0,15/2)} = 1.155.625
b.
Presen
Value (Nilai sekarang)
Dalam
penilaian investasi, manajer keuangan diharuskan mengukur nilai sekarang aliran
kas yang diharapkan akan dihasilkan dalam investasi tersebut. Sama halnya
dengan konsep nilai kemudian atau Future Value, dalam konsep nilai sekarang ini pun ada dua alternatif
aliran kas, aliran kas yang terjadi satu tahun sekali dan aliran kas yang
berkali-kali dengan jumlah yang sama
setiap tahun atau anuitas.[22]
Sebagai
contoh, seseorang
menjanjikan akan memberikan uang sebesar Rp. 700.000,- satu tahun akan datang.
Sementara itu tingkat suku bunga bank yang berlaku pada saat ini adalah 8% pertahun. Timbul pertanyaan, berapakah
seseorang itu harus
menyimpan uangnya di bank
agar satu tahun kedepan menjadi Rp. 700.000,-?, berapa satu tahun yang akan datang kalau tingkat bunga yang berlaku 8%
pertahun ?
Rp
700.000,- =
XO (1+0,08)
XO =
= Rp. 648.150,-
Dengan
demikian nilai sekarang penerimaan kas Rp.700.000,- satu tahun yang akan datang
dengan bunga 8% pertahun adalah Rp.648.150,-. Dapat juga dikatakan bahwa
Rp.648.150,- kas saat ini memiliki nilai yang sama dengan Rp.700.000,- satu
tahun yang akan datang bila bunga yang berlaku 8% pertahun.
F.
Gharar
1.
Pengertian Gharar
Dalam surah Al-baqarah ayat 188, yaitu:
وَلاَ تَأْكُلُواْ
أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ
لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ
تَعْلَمُونَ {188}
Artinya: “Dan
janganlah (saling) memakan harta di antara kalian dengan (cara yang) batil dan
(jangan pula) membawa (urusan harta) itu kepada hakim (untuk kalian menangkan)
dengan (cara) dosa agar kalian dapat memakan sebahagian harta orang lain,
padahal kalian mengetahui.” (QS.
Al-Baqarah, 188)
Kata “al-gharar” dalam bahasa Arab adalah isim mashdar
dari kata (غرر) yang berkisar pengertiannya pada kekurangan,
pertaruhan (al-khathr), serta menjerumuskan diri dalam kehancuran dan ketidakjelasan.
Di dalam kontrak bisnis berarti melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa
pengetahuan yang mencukupi atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan
yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya.[23]
Menurut M. Ali Hasan gharar adalah keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan
untuk merugikan pihak lain. Suatu akad yang mengandung unsur penipuan, karena tidak ada kepastian, baik mengenai ada atau tidak ada objek
akad, besar kecil jumlah maupun menyerahkan objek akad tersebut.[24]
Berdasarkan ayat di atas, jika kita kaitkan dengan jual beli gharar kata “Dan
janganlah (saling) memakan harta di antara kalian dengan (cara yang) batil”
merupakan suatu contoh jual beli gharar. Dimana apabila seseorang melakukan jual
beli yang mengandung gharar akan
dikategorikan sebagai memakan harta orang dengan cara yang batil dimana kalau
kita lihat pengertian gharar ini adalah ketidakjelasan. Dan akan mempunyai potensi untuk merugikan
baik si penjual ataupun si pembeli.
Yang termasuk gharar yaitu seperti menjual makanan
sebelum matang, dalam Hadits dijelaskan sebagai berikut:
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia
berkata; Saya membaca di hadapan Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar bahwasannya
Rasulullah Shallallu 'alaihi wa sallam melarang menjual buah-buahan hingga
tampak matangnya, beliau melarang hal itu kepada penjual dan pembeli. Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami ayahku
telah menceritakan kepada kami 'Ubaidillah dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi
Shallallu 'alaihi wa sallam seperti hadits di atas.
Kesimpulan
Hadis:
-
Larangan
menjual buah-buahan sebelum tampak matang.
-
Larangan itu mengharuskan kerusakan, sehingga jual bel
buah-buahan yang belum matang tidak sah.
-
Boleh menjualnya setelah tampak matang, dengan syarat
pemutusan pada saat itu pula
-
Hikmah
larangan ini, bahwa sebelum
matang, buah-buahan masih
rentan terhadap kerusakan dan gangguan. Jika buah-buahan rusak, maka pembelilah
yang harus menanggungnya, sehingga
tidak ada manfaat yang dia peroleh, sehingga
penjual dianggap mengambil harta orang lain.[25]
Konsep gharar dapat dibagi menjadi 2 kelompok:
-
Kelompok pertama adalah unsur resiko yang mengandung
keraguan, probabilitas dan ketidakpastian secara dominan.
-
Sedangkan kelompok kedua unsur meragukan yang dikaitkan
dengan penipuan atau kejahatan oleh salah satu pihak terhadap pihak lainnya.
2.
Dasar Hukum Gharar
Pada Hadits
Rasulullah, yang artinya: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar”.
Dari sabda Rasulullah di atas jelas telah dikatakan
Rasulullah SAW bahwa jual beli gharar itu merupakan hal yang dilarang jadi
tidak ada alasan untuk kita melakukan jual beli yang seperti ini.
Gharar merupakan suatu kegiatan yang memilki potensi untuk
membuat seseorang meraup untung sebanyak-banyaknya, maka dari itu manusia bisa
terlena ke dalam jual beli ini.
Pada Surah An-Nisa: 29, sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ
أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ
اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً {29}
Artinya: “Wahai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu makan (gunakan) harta-harta kamu sesama kamu
dengan jalan yang salah (tipu, judi dan sebagainya), kecuali dengan jalan
perniagaan yang dilakukan secara suka sama suka di antara kamu, dan janganlah
kamu berbunuh-bunuhan sesama sendiri. Sesungguhnya Allah sentiasa Mengasihani
kamu.”
Menurut
Maraghi di dalam ayat ini terdapat isyarat adanya berbagai faedah:
-
Dasar
halalnya perniagaan adalah saling meridhai antara pembeli dan penjual.
Penipuan, pendustaan dan
pemalsuan adalah hal-hal yang diharamkan.
-
Segala yang ada di dunia berupa perniagaan dan apa yang
tersimpan di dalam maknanya seperti kebatilan yang tidak kekal dan tidak tetap,
hendaknya tidak melalaikan orang berakal untuk mempersiapkan diri demi
kehidupan akhirat yang lebih baik dan kekal.
-
Mengisyaratkan bahwa sebagian besar jenis perniagaan
mengandung makna memakan harta dengan batil. Sebab pembatasan nilai sesuatu dan menjadikan harganya
sesuai dengan ukurannya berdasar neraca yang lurus hampir-hampir merupakan
sesuatu yang mustahil.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Modal adalah segala
sesuatu baik berupa uang maupun keseluruhan barang-barang yang masih ada dalam
proses produksi dan digunakan untuk biaya usaha. Modal merupakan
kumpulan dari barang-barang modal, yaitu semua barang yang ada dalam rumah
tangga perusahaan dalam fungsi produktifnya untuk membentuk pendapatan. Dalam
peminjaman modal di dalamnya ada bunga yang mana bunga adalah sejumlah uang
yang dibayarkan atau dihasilkan sebagai kompensasi terhadap apa yang dapat
diperoleh dari penggunaan uang sebagai modal.
Bagi hasil yang disebut dengan profit sharing dalam kamus ekonomi
diartikan pembagian laba dan distribusi beberapa bagian dari laba para pegawai
dari suatu perusahaan.
Karena pembagian tidak hanya ketika memperoleh keuntungan, tetapi juga pada
saat mengalami kerugian maka disebutlah sebagai perjanjian loss profit sharing.
Dalam Islam adanya bunga disebut termasuk riba dan
diharamkan, yang mana riba menurut Muhammad Abduh, ialah penambahan-penambahan
diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya
(uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang
telah ditentukan.
Time value of money atau dalam bahasa Indonesianya
disebut dengan nilai waktu uang
yaitu merupakan suatu konsep yang menyatakan bahwa nilai uang sekarang akan
lebih berharga dari pada nilai uang masa yang akan datang atau suatu konsep
yang mengacu pada perbedaan nilai uang yang disebabkan karena perbedaan waktu.
Gharar menurut
M. Ali Hasan gharar adalah keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan
untuk merugikan pihak lain. Suatu akad yang mengandung unsur penipuan, karena tidak ada kepastian dalam
objek akadnya.
B.
Saran
Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini banyak sekali kekurangannya, maka dari itu penulis
mengharapkan masukan dari berbagai pihak yang mendukung untuk perbaikan makalah
ini, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
al-Zuhaili,
Wahbah. 1989. al-Fiqh al-Islami wa ‘Adillatuhu, Juz IV. Beirut: Dar
al-Fikr
Asnaini, Setiawan Evan, dan Windi Asriani. 2012. Manajemen
Keuangan. Yogyakarta: Teras
Astamoen, Moko P.
2008. Entrepreneurship. Bandung: Alfabeta
Azim, Abdul Aziz
Muhammad. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah
Brigham, Eugene
F., Joel, F. Houston. 2009. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan. Jakarta:
Salemba Empat
Daud Ali,
Muhammad. 2001. Hukum
Islam pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada
Ghazaly, Abdul
Rahman, dkk. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Hasan,
M. Ali. 2004. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: Rajawali Pers
http://alfiantoromdoni.blogspot.com/2011/12/konsep-nilai-waktu-dari-uang.html,
Karim, Helmi.
1997. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Madani. 2011. Ayat-Ayat
dan Hadis Ekonomi Syari’ah. Jakarta: Rajawali Pers
Muhammad. 2005. Bank
Syariah di Indonesia Analisa Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan
Syariah. Yogyakarta: UII Pers
Rahman, Afzalur.
1995. Doktrin Ekonomi Islam Jilid 4. Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf
Riyanto, Bambang.
2001. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan. Yogyakarta: BPFE
Suad, Husnan, Enny, Pudjiastuti. 1998. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, Ed. II, Cet. 1. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN
Suhendi, Hendi.
2005. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sukirno,
Sadono. 2012. Makro
Ekonomi Teori Pengantar. Jakarta:
Rajawali Pers
[1] Asnaini, Evan
Setiawan, dan Windi Asriani, Manajemen Keuangan, (Yogyakarta: Teras,
2012), hlm. 12
[2] Bambang Riyanto, Dasar-Dasar
Pembelanjaan Perusahaan, (Yogyakarta: BPFE, 2001), hlm. 227
[3] Ibid, hlm.
240
[4] Moko P. Astamoen,
Entrepreneurship, (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 298
[5] Ibid, hlm. 301
[6] Eugene F.
Brigham, Joel, F. Houston, Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, (Jakarta:
Salemba Empat, 2009), hlm. 313
[7] Muhammad, Bank
Syariah di Indonesia Analisa Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan
Syariah, (Yogyakarta: UII Pers, 2005), hlm. 77
[8] Helmi Karim, Fiqh
Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 14
[9] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, (Jakarta:
PT RajaGrafindo
Persada, 2001), hlm. 132
[10] Wahbah
al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa ‘Adillatuhu, Juz IV (Beirut: Dar
al-Fikr, t.t. 1989), hlm. 839
[11] Fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000,
tentang Syarat Pembiayaan
mudharabah, hlm. 2
[12] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada, 2005), hlm. 57
[13] Abdul Aziz Muhammad Azim, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010),
hlm. 216
[14] Ibid, hlm. 217
[15] Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group,2010), hlm. 220
[16] Ibid, hlm. 220
[17] Ibid, hlm. 221
[18] Sadono Sukirno, Makro Ekonomi Teori Pengantar,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 270
[19] http://alfiantoromdoni.blogspot.com/2011/12/konsep-nilai-waktu-dari-uang.html, diakses
pada tanggal 20-05-2017
[20] Suad, Husnan, Enny, Pudjiastuti, Dasar-Dasar
Manajemen Keuangan, Ed. II, Cet. 1, (Yogyakarta: Unit Penerbit
dan Percetakan AMP YKPN, 1998), hlm. 56
[21] Ibid, hlm.
56-57
[22] Dasar-Dasar Manajemen Keuangan,Op.Cit., hlm.
65-66
[23] Afzalur
Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 4, (Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf,
1995), hlm. 161
[24] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam,
(Jakarta: Rajawali
Pers, 2004), hlm. 147
[25] Madani, Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 112-113