Apa itu Sabar?

Sabar untuk berniat sukses, bebas dan jaya serta sembuh dari sakit dan punya niat untuk beribadah. (jangan cuma niat , lakukan) – Kalau kita suatu saat diuji dengan sesuatu (masalah), kita harus sadar bahwa yang pertama harus di miliki adalah Khusnudhon (berbaik sangka) kepada Allah, karena seburuk buruk perilaku adalah berburuk sangka kepada Allah. – Sabar menafakuri hikmah tiap masalah dan cobaan – Bersabar ketika ikhtiar – Sabar untuk tidak mengeluh.

SABAR

A.   Sabar
      1.    Pengertian sabar
Pengertian Secara etimologis, sabar (ash-Shabr) berarti menahan dan mengekang (al-habs wa al-kuf). Secara terminologis sabar berarti menahan dari segala sesuatu yang tidak sukai karena mengharap ridha Allah.[1] Yang tidak disukai itu tidak selamanya terdiri dari hal-hal yang tidak disenangi seperti musibah kematian, sakit, kelaparan dan sebagainya, tapi bisa juga berupa hal-hal yang disenangi misalnya segala kenikmatan duniawi yang disukai oleh hawa nafsu. Sabar dalam hal ini berarti menahan dan mengekang diri dari memperturutkan hawa nafsu. Menurut Hamzah Ya’qub, sabar menurut bahasa adalah teguh hati tanpa mengeluh ditimpa bencana apabila dikatakan dengan pandangan Islam maka sabar diartikan tabah menerima ujian-ujian Tuhan dalam bakti dan perjuangan dengan tujuan memperoleh ridhanya.
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الأَزْدِىُّ وَشَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ جَمِيعًا عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ وَاللَّفْظُ لِشَيْبَانَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى لَيْلَى عَنْ صُهَيْبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ(المسلم )
Artinya: “Aku heran pada urusan orang Mukmin, yang mana semua urusannya baik dan itu terdapat pada siapapun, kecuali pada orang Mukmin apabila mendapatkan kebahagiaan ia bersyukur dan itu lebih baik baginya, dan apabila ia mendapatkan kesusahan maka ia bersabar, dan itu lebih baik baginya.”

      2.    Macam-macam sabar, antara lain:
a.    Sabar terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah SWT
b.    Sabar dalam menjalankan perintah Allah SWT
c.    Sabar dari apa yang dilarang Allah SWT

      3.    Ciri-ciri orang yang sabar
Ada beberapa ciri orang yang sabar antara lain sebagai berikut:[2]
a.      Bersyukur dengan segala yang berlaku
b.      Ridho dengan ketentuan Illahi
c.      Mengucapkan innalillahi wa innailahi rojiun
d.      Yakin bahwa setiap perkara yang berlaku itu ada hikmah dibaliknya.
e.      Berbaik sangka kepada ketetapan Allah SWT
f.       Beristigfar memohon ampun kepada Allah SWT
g.      Berusaha dan berdoa
h.     Bertawakal
i.       Yakin akan pertolongan Allah SWT.
Dari uraian di atas maka sebagai seorang guru yang kodratnya sebagai manusia biasa yang selalu dihadapkan pada ujian dan cobaan dalam menghadapi sifat, sikap dan tingkahlaku peserta didik yang berbeda-beda maka kesabaran sebagai suatu sifat yang harus senantiasa dimiliki oleh guru.

      4.    Sabar menghadapi masalah dan cobaan
Sabar untuk berniat sukses, bebas dan jaya serta sembuh dari sakit dan punya niat untuk beribadah. (jangan cuma niat , lakukan) – Kalau kita suatu saat diuji dengan sesuatu (masalah) , kita harus sadar bahwa yang pertama harus di miliki adalah Khusnudhon (berbaik sangka) kepada Allah, karena seburuk buruk perilaku adalah berburuk sangka kepada Allah. – Sabar menafakuri hikmah tiap masalah dan cobaan – Bersabar ketika ikhtiar – Sabar untuk tidak mengeluh.[3]
Macam-macam sabar beserta dalil dan contoh masing-masing Para Ulama telah membagi sabar dengan pembagian yang beraneka ragam. Dan semuanya bermura pada tiga macam, yakni sabar dalam menjalankan ketaatan, sabar terhadap maksiat dan sabar dalam musibah.
a.    Sabar dalam menjalankan ketaatan adalah bersikap istiqomah dalam menjalankan syaria’at Allah; membiasakan diri untuk senantiasa menjalankan segala macam ibadah, baik yang berkaitan dengan harta, jasmani maupun hati. Meneruskan amar ma’ruf nahi mungkar dan bersabar dalam menjalankan semua itu terhadap beraneka macam ujian dan cobaan. Seperti yang telah dicontohkan oleh Luqman kepada anaknya.
“Hai anakku, dirikanlah shalat, suruhlan manusia mengerjakan yang baik, cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, bersabarlah terhadap apa yang menimpamu”. (Qs. Luqman:17)
b.    Sabar terhadap maksiat adalah dengan melakukan perjuangan melawan hawa nafsu, memerangi penyelewengan jiwa, meluruskank kebengkokannya dan mengekang pendorong-pendorong kejahatan dan kerusakan yang dibisikkan oleh Syaitan ke dalam hati manusia. Dan apabila seseorang bersabar terhadap segala macam ujian dari Allah, maka ia akan mendapatkan hidayah yang sempurna.
“dan orang-orang yang berjuang untuk mencari ridha Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”. (QS. Al-Ankabut: 69).
c.    Sedangkan sabar dalam menghadapi musibah adalah dengan menyadari bahwa dunia ini adalah tempat ujian dan cobaan. Allah akan menguji iman hamba-Nya dengan beraneka ragam musibah, sebab Dialah yang lebih tahu segala sesuatu. Dan Allah akan menyaring kaum mukminin dengan beragam cobaan untuk memisahkan yang baik dan buruk, yang beriman dari yang munafik. “alif lam mi`m. apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan, ‘kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji” (QS. Al-Ankabut: 1-2).
Menurut Yusuf al-Qardawi dalam bukunya Ash-Shabrfi al-Quran sabar dapat dibagi menjadi enam macam:
a.       Sabar menerima cobaan hidup. Setiap manusia pasti akan selalu diterpa oleh cobaan. Cuma yang menjadi permasalahannya yakni bagaimana cara kita mensikapi cobaan yanag telah diberikan oleh Allah SWT. Dengan diberikan cobaan Allah itu berarti menandakan bahwa Allah masih menyayangi hamba-Nya. Karena Allah SWT menguji hamba-Nya sesuai dengan kadar keimanan yang dimiliki oleh hamba tersebut.
b.      Sabar dari keinginan hawa nafsu. Hawa nafsu menginginkan segala macam kenikmatan hidup, kesenangan dan kemegahan dunia. Untuk mengandalikan segala keinginan itu diperlukan kesabaran. Jangan sampai semua kesenangan dunia itu membuat seseorang lupa diri, apalagi lupa Tuhan.[4] Al-Quran mengingatkan, jangan sampai harta benda dan anak-anak menyebabkan seseorang lalai dari mengingat Allah SWT.
“Hai orang-orang yang beriman, jaaganlah harta-harta dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi” (QS. Al-Munafiqun: 9)
c.       Sabar dalam ta’at kepada Allah SWT Dalam mena’ati perintah Allah, terutama dalam beribadah kepada-Nya diperlukan kesabaran. Allah berfirman:[5]
“Tuhan langit dan Tuhan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam: 65).
d.      Sabar dalam berdakwah yang penuh dengan segala onak dan duri. Seorang melalui jalan itu harus memiliki kesabaran. Luqman hakim menasehati putranya dalam surat Luqman ayat 13.
“Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar”.
e.       Sabar dalam perang Dalam peperangan sangat diperlukan kesabaran, apalagi menghadapi musuh yang lebih banyak atau lebih kuat. Dalam keadaan terdesak sekalipun, seorang prajurit Islam tidak boleh lari meninggalkan medan perang. Karena ini adalah sifat-sifat orang yang bertakwa.
f.       Sabar dalam pergaulan. Dalam pergaulan sesama manusia baik antara suami isteri, anak dengan orang tua dengan anaknya dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, dalam pergaulan sehari-sehari diperlukan kesabaran, sehingga tidak cepat marah atau memutuskan hubungan apabila menemui hal-hal yang tidak disuka.

B.   Ikhlas
      1.    Pengertian ikhlas
Ikhlas adalah salah satu hal yang bisa menyebabkan suatu amalan ibadah kita diterima Allah Ta’ala. Yang dimaksud dengan ikhlas adalah memurnikan ibadah atau amal shalih hanya untuk Allah dengan mengharap pahala dari-Nya semata.[6] Jadi dalam beramal kita hanya mengharap balasan dari Allah, tidak dari manusia atau makhluk-makhluk yang lain. Demikian adalah pengertian ikhlas dalam islam. Imam Ibnul Qayyim menjelaskan arti ikhlas yaitu mengesakan Allah di dalam tujuan atau keinginan ketika melakukan ketaatan, beliau juga menjelaskan bahwa makna ikhlas adalah memurnikan amalan dari segala yang mengotorinya. Inilah bentuk pengamalan dari firman Allah dalam surat Al-Fatihah ayat 5 yang artinya: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.”
حَدَّثَنَامُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنِى يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِىِّ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ اللَّيْثِىِّ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (أبو داوود)
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “segala perbuatan tergantung amalnya. Setiap orang akan mendapatkan pahala apa yang diniatkannya. Barang siapa berhijrah ke madinah untuk mencari ridho Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa berhijrah untuk mencari harta dunia atau untuk seorang perempuan yang hendak dinikahi, maka hijrahnya hanya untuk itu tidak mendaptkan pahala dari sisi Allah SWT.”

      2.    Ciri-ciri orang yang ikhlas
“Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (QS:al-An’am: 162-163). Di samping sabar, seorang guru juga harus memiliki sifat ikhlas dalam mendidik peserta didik. Menurut ustad Jefri Al Bukhori, Ikhlas adalah melakukan amalan-amalan semata-mata mencari keridaan Allah SWT. Amalan-amalan tersebut tanpa dicampuri dengan keinginan dunia, keuntungan, pangkat, harta, kemasyhuran, kedudukan tinggi, meminta pujian, menuruti hawa nafsu, dan lainnya. Bila seorang guru ikhlas dalam menyampaikan materi yang diajarkan maka pembelajaran akan lebih bisa terserap, karena guru yang ikhlas hanya mengharapkan ridho dari Allah SWT akan selalu berupaya membuat atau mencari model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan dapat mengembangkan kemampuan yang ada dalam diri peserta didik, sehingga pembelajaran yang di sampaikan terkesan lebih bermakna dan lebih menarik. Pendidik bisa memposisikan dirinya sebagai motivator yang handal dengan niat yang baik, sebagai fasilitator yang merancang pembelajaran dengan sempurna. Pandangan orang yang ikhlas akan lebih tertuju kepada apa sesuatu yang terbaik yang dapat ia berikan kepada peserta didik agar peserta didik dapat menerima pemberiannya dengan senang.
Ada beberapa ciri orang yang ikhlas menurut ustad Jefri Al Bukhori antara lain sebagai berikut :
a.       Pertama, orang yang ikhlas bercirikan takut akan kemasyhuran dan sanjungan yang dapat membawa fitnah kepada diri sendiri dan agamanya.
b.      Orang yang ikhlas senantiasa menganggap dirinya hina di hadapan Allah SWT. Hatinya tidak boleh dimasuki oleh sifat takabur dan takjub terhadap diri sendiri. Bahkan, ia senantiasa merasa takut kalau-kalau dosanya tidak diampuni oleh Allah atau kebaikannya tidak diterima oleh-Nya.
c.       Orang yang ikhlas lebih menyukai melakukan amal kebaikan secara sembunyi-sembunyi daripada amalan yang dipenuhi dengan iklan dan irama kemasyhuran.
d.      Orang yang ikhlas tidaklah bekerja semata-mata untuk mencari keuntungan atau mencapai kemenangan saja. Ia melakukannya semata-mata karena mencari keridaan Allah dan mematuhi perintah-Nya.
e.       Orang yang ikhlas senantiasa merasa gembira dengan adanya orang-orang yang mempunyai kemampuan melebihi dirinya. Ia mampu berbagi amal dan memberi peluang kepada siapa saja yang mampu untuk menggantikan posisinya tanpa merasa berat hati atau berusaha menjegal dan menghalangnya, atau menghina dan marah kepadanya.

      3.    Delapan tanda keikhlasan
Ada delapan tanda-tanda keikhlasan yang bisa kita gunakan untuk mengecek apakah rasa ikhlas telah mengisi relung-relung hati kita. Kedelapan tanda itu adalah:
a.         Keikhlasan hadir bila Anda takut akan popularitas, Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sedikit sekali kita melihat orang yang tidak menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa menahan diri dari makanan, minuman, dan harta, namun ia tidak sanggup menahan diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan, ia tidak segan-segan merebutnya meskipun harus menjegal kawan atau lawan.” Karena itu tak heran jika para ulama salaf banyak menulis buku tentang larangan mencintai popularitas, jabatan, dan riya.
b.         Ikhlas ada saat Anda mengakui bahwa diri Anda punya banyak kekurangan. Orang yang ikhlas selalu merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Ia merasa belum maksimal dalam menjalankan segala kewajiban yang dibebankan Allah SWT. Karena itu ia tidak pernah merasa ujub dengan setiap kebaikan yang dikerjakannya. Sebaliknya, ia cemasi apa-apa yang dilakukannya tidak diterima Allah swt.[7]
c.         Keikhlasan hadir ketika Anda lebih cenderung untuk menyembunyikan amal kebajikan. Orang yang tulus adalah orang yang tidak ingin amal perbuatannya diketahui orang lain.[8] Ibarat pohon, mereka lebih senang menjadi akar yang tertutup tanah tapi menghidupi keseluruhan pohon.
d.        Ikhlas ada saat Anda tak masalah ditempatkan sebagai pemimpin atau prajurit Rasulullah saw. melukiskan tipe orang seperti ini dengan berkataan, “Beruntunglah seorang hamba yang memegang tali kendali kudanya di jalan Allah sementara kepala dan tumitnya berdebu. Apabila ia bertugas menjaga benteng pertahanan, ia benar-benar menjaganya. Dan jika ia bertugas sebagai pemberi minuman, ia benar-benar melaksanakannya.”
e.         Keikhalasan ada ketika Anda mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan manusia. Tidak sedikit manusia hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Bila orang itu menuntun pada keridhaan Allah, sungguh kita sangat beruntung. Tapi tak jarang orang itu memakai kekuasaannya untuk memaksa kita bermaksiat kepada Allah SWT. Di sinilah keikhlasan kita diuji. Memilih keridhaan Allah SWT. atau keridhaan manusia yang mendominasi diri kita? Pilihan kita seharusnya seperti pilihan Masyithoh si tukang sisir anak Fir’aun. Ia lebih memilih keridhaan Allah daripada harus menyembah Fir’aun.
f.          Ikhlas ada saat Anda cinta dan marah karena Allah Adalah ikhlas saat Anda menyatakan cinta dan benci, memberi atau menolak, ridha dan marah kepada seseorang atau sesuatu karena kecintaan Anda kepada Allah dan keinginan membela agama-Nya, bukan untuk kepentingan pribadi Anda. Sebaliknya, Allah swt. mencela orang yang berbuat kebalikan dari itu. “Dan di antara mereka ada orang yang mencela tentang (pembagian) zakat. Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah: 58)
g.         Keikhalasan hadir saat Anda sabar terhadap panjangnya jalan. Keikhlasan Anda akan diuji oleh waktu. Sepanjang hidup Anda adalah ujian. Ketegaran Anda untuk menegakkan kalimat-Nya di muka bumi meski tahu jalannya sangat jauh, sementara hasilnya belum pasti dan kesulitan sudah di depan mata, amat sangat diuji. Hanya orang-orang yang mengharap keridhaan Allah yang bisa tegar menempuh jalan panjang itu.
h.         Ikhlas ada saat Anda merasa gembira jika kawan Anda memiliki kelebihan. Yang paling sulit adalah menerima orang lain memiliki kelebihan yang tidak kita miliki. Apalagi orang itu junior kita. Hasad. Itulah sifat yang menutup keikhlasan hadir di relung hati kita. Hanya orang yang ada sifat ikhlas dalam dirinya yang mau memberi kesempatan kepada orang yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengambil bagian dari tanggung jawab yang dipikulnya.

      4.    Beberapa faktor yang dapat mendukung ikhlas
Ada beberapa faktor yang dapat mendukung seorang guru untuk bisa ikhlas, sehingga mampu melakukan tugas dan kewajibannya, kendatipun ikhlas itu sangat sulit untuk didapat. Beberapa faktor tersebut menurut Utaratu ialah:
a.       Belajar menuntut ilmu yang bermanfaat, yaitu terus mempelajari Al Qur`an dan As-sunnah.
b.      Berteman dengan orang-orang shalih. Ini termasuk faktor yang dapat mendorong keikhlasan. Berteman dengan orang-orang yang shalih dapat memotivasi diri untuk mengikuti jejak dan tingkah laku mereka yang baik, mengambil pelajaran dan mencontoh akhlak mereka yang baik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perumpamaan tentang sahabat yang baik dan yang tidak baik dengan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk, ialah seperti pembawa minyak wangi dan peniup tungku api (pandai besi). Pembawa minyak wangi boleh jadi akan memberimu, bisa jadi kamu akan membeli darinya. Dan kalau tidak, kamu akan mendapat bau harum darinya. Sedangkan peniup tungku api (pandai besi), boleh jadi akan membakar pakaianmu, dan bisa jadi engkau mendapatkan bau yang tidak sedap darinya. (Muttafaqun ‘alaihi, dari Abu Musa Al Asy’ari)
c.       Membaca sirah (perjalanan hidup) orang-orang yang ikhlas.
d.      Bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu. Seseorang tidak akan dapat mencapai keikhlasan kalau tidak bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu, kecintaan kepada kedudukan dan ketenaran, gila harta, sanjungan, dengki, dendam, dan lain-lainnya.
e.       Berdo’a dan memohon pertolongan kepada Allah. Ini termasuk salah satu jalan yang bisa menguatkan dan menopang agar seseorang bersungguh-sungguh untuk ikhlas dalam ibadah. Doa adalah senjata orang mukmin. Untuk dapat mewujudkan permintaan dan memenuhi kebutuhannya, manusia disyariatkan Allah agar berdoa’.




[1] M. Fajrul Munawwir, Konsep Sabar Dalam Al-Quran: Pendekatan Tafsir Tematik, (Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2005), Hlm. 69
[2] Ibid, hlm. 70
[3] Abdul Mustaqim, Akhlak Tashawuf Lelaku Suci Menuju Revolusi Hati, (Yogyakarta: Kaukaba, 2013), hlm. 68
[4] A. Rusyan Tabrani, Pendidikan Budi Pekerti, (Jakarta: Inti Media Cipta Nusantara, 2006), hlm. 62
[5] M. Fajrul Munawwir, Op.cit, hlm. 70
[6] Iman Abdul Mukmin Sa’aduddin, Meneladani Akhlak Nabi Membangun Kepribadian Muslim, (Bandung: Rosdakarya, 2006), hlm. 31
[7] Abdul Mustaqim,. Op.cit, hlm. 71
[8] Ibid, hlm. 71

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel