Makalah Studi Al-Qur’an Ignaz Goldziher dalam Kajian Perbandingan Agama

Ignaz Goldziher lahir pada 22 Juni 1850 di Hongaria. Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh luas, tetapi tidak seperti keluarga Yahudi Eropa yang sangat fanatik pada saat itu. Pendidikannya dimulai dari Budaphes, kemudian melanjutkan ke Barlin pada tahun 1869 selama satu tahun, kemudian pindah pada Universitas Leipzig, salah satu guru besar ahli ketimuran adalah Fleisser, sosok orientalis yang  sangat menonjol pada saat itu dan termasuk pakar filologi. Di bawah asuhannya, Goldziher memperoleh gelar doktor tingkat pertama tahun 1870 dengan topik risalah “Penafsir Taurah yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah.


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Anugerah Allah yang diberikan kepada Islam dan umatnya, karena Dia menakdirkan sebagian orang Eropa bersungguh-sungguh dalam politik dan mencurahkan kemampuannya dalam penelitian sejarah. Di antara mereka mengkaji sisi agama dan kehidupan rohaniahnya, mereka benar-benar menggelutinya.  
Sedang sosok yang paling pas disebut sebagai dedengkot orientalis yang mengkaji religiusitas Islam secara spesifik dan mendalami kajian spiritual secara umum ialah Ignaz Goldziher.[1] Kajian yang dilakukan Goldziher mengantarkan kita pada sebuah kenyataan bahwa tidak ada pemahaman tunggal mengenai makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an sebagai teks yang selalu terbuka untuk ditafsirkan.[2]

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Biografi Ignaz Goldziher secara singkat?
2.    Bagaimana Studi al-Qur’an Ignaz Goldziher?
3.    Apa perbedaan dan perbandingan antara studi al-Qur’an Ignaz Goldziher dengan orientalis lain?

C.  Tujuan
1.    Mengetahui biografi Ignaz Goldziher secara singkat
2.    Mengetahui studi al-Qur’an Ignaz Goldziher
3.    Mengetahui perbedaan dan perbandingan antara studi al-Qur’an Ignaz Goldziher dengan orientalis lain



BAB II
PEMBAHASAN


A.  Biografi Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher lahir pada 22 Juni 1850 di Hongaria. Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh luas, tetapi tidak seperti keluarga Yahudi Eropa yang sangat fanatik pada saat itu. Pendidikannya dimulai dari Budaphes, kemudian melanjutkan ke Barlin pada tahun 1869 selama satu tahun, kemudian pindah pada Universitas Leipzig, salah satu guru besar ahli ketimuran adalah Fleisser, sosok orientalis yang  sangat menonjol pada saat itu dan termasuk pakar filologi. Di bawah asuhannya, Goldziher memperoleh gelar doktor tingkat pertama tahun 1870 dengan topik risalah “Penafsir Taurah yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah”.[3]
Pada tahun 1894 Goldziher menjadi profesor kajian bahasa Semit, sejak saat itu dia hampir tidak kembali ke negerinya, tidak juga ke Budaphes, kecuali menghadiri konferensi orientalis atau memberi orasi pada seminar-seminar di berbagai universitas asing yang mengundangnya. Goldziher meninggal dunia pada 13 November 1921 di Budaphes.[4]
Perjalanan karir ilmiah Goldziher dimulai sejak berumur 16 tahun ketika dia mulai tertarik pada kajian ketimuran. Pada usia itu, ia telah menerjemahkan dua buah kisah berbahasa Turki ke dalam bahasa Hongaria, yang di muat dalam majalah sejak tahun 1866, ketika usia goldziher mencapai 16 tahun ia sudah terbiasa dengan membahas buku besar, memberi ulasan dan kritik-kritik terhadap buku-buku yang ada. Koleksi ulasan yang dihasilkan mencapai 592 kajian. Buku klasik pertama yang menjadi sasaran kajiannya ialah al-Zhahiriyyah.
Goldziher merupakan orientalis terbesar mulai akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-2, seorang Yahudi yang telah mencurahkan hidupnya untuk menikam Islam, Nabi dan al-Qur’an secara ilmiah dan memuaskan, karena terdorong oleh kebencian, makar, dan kedengkian Yahudinya.[5]

B.  Karya-Karya Ignaz Goldziher
Pada abad-19 akhir hingga abad-20 awal muncul karya-karya Ignaz Goldzhier yang menunjukkan perhatiannya terhadap sejarah tafsir al-Qur’an juga terefleksikan dalam sejumlah buku atau artikel. Tetapi, karya klasiknya, Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung (1920), tetap merupakan karya standar di bidang ini, tidak ada yang menandingi dalam cakupannya terhadap keseluruhan periode tafsir hingga modern.[6] Muhammedanische (1889), merupakan terjemahan Inggris; Muslims Studies (1971),[7] Die Zahiriten, Ihr Lehrsystem und Ihre Geschichte (Leipzing, 1884 ),[8] Die I’ascetisme aux premiers temps de I’Islam,dan Die  Stellung der alten Islamischen Orthodoxie zu den antiken Wissenschaften, dan Madzahib al-Tafsir al-Islami (1983)
 
C.  Studi Al-Qur’an Ignaz Goldziher
Secara umum yang menjadi target utama serangan misionaris dan orientalis Yahudi Nasrani, setelah gagal menghancurkan sirah dan sunah Nabi Muhammad Saw., pendekatan Goldziher dalam studi al-Qur’an tidak hanya mempertanyakan otentitasnya, pengaruh Yahudi, Nasrani, kandungan al-Qur’an, mengungkapkan pengaruh literatur dan tradisi Yahudi-Nasrani serta membandingkan ajaran al-Qur’an dengan adat-istiadat Jahiliyah. Jadi,  Goldziher menggunakan pendekatan comparative religion dalam mengkaji kitab suci, dan historical otenticiti dalam mengkaji hadis.[9]
Ignaz Goldziher mengemukakan tentang bacaan dalam mushaf pra-Usmani sebagai bukan bagian otentik al-Qur’an. Ia mendekati mushaf-mushaf tersebut dari sudut pandang perbedaannya dengan teks otentik al-Qur’an. Dengan mengedepankan motif-motif pengelakan kemungkinan adanya kendala dalam pemahaman kandungan al-Qur’an, provisi yang berhubungan dengan penjelasannya, klarifikasi linguistik terhadap teks-teksnya yang kabur, penghindaran ekspresi-ekspresi yang tidak lazim atau keliru dan kejanggalan-kejanggalan stilistik di dalamnya, serta kecenderungan untuk memperhalus dan menyederhanakan pengungkapan, Goldziher sampai kepada kesimpulan bahwa varian-varian atau kodek-kodeks pra-usmani hanya sekedar varian dari tradisi teks usmani.[10]
Ignaz Goldziher menilai seluruh riwayat tentang pengumpulan al-Qur’an mulai dari masa Nabi yang dilakukan para sahabatnya, hingga ke masa Usman –dengan berbagai varian bacaanya– merupakan rekayasa para ahli fikih belakangan untuk mendukung teori nasikh-mansukh mereka dengan menyembunyikan kenyataan bahwa teks final al-Qur’an tidak dihasilkan oleh Usman melainkan oleh Nabi sendiri.[11]
Godziher merupakan pemikir orientalis yang menawarkan tipologi tafsir. Dia membagi tafsir menjadi lima tipe:[12] pertama,tafsir tradisionalis. Kedua, tafsir dogmatis. Ketiga, tafsir mistik.[13] Keempat, tafsir sektarian, dan kelima, tafsir modern. Tipologi ini tidak didasarkan pada pijakan tertentu secara kaku, sebab tafsir bi al-Ma’tsur sejatinya mengikuti pijakan metode. Tafsir dogmatis, sufistik, dan sektarian sejatinya mengikuti pijakan ajaran dan ideologi, sedangkan tafsir modern sejatinya mengikuti pijakan waktu dan metode.[14] tiga aliran pertama senada dengan tipologi keserjanaan Islam, yakni tafsir bi al-Riwayah, tafsir bi al-Dirayah, dan tafsir bi al-Isyarah. Sementara dua aliran lainnya merupakan kategori tambahan atau elaborasi  dari tipologi keserjanaan Muslim.[15]
Ignaz menjelaskan secara detail mengapa tulisan (al-Khat al-‘Arabi) menjadi penyebab perbedaan qira’at. Bahwa tulisan untuk satu kata kadang-kadang bisa di baca dengan berbagai bentuk mengikuti titik diatas atau titik dibawah huruf, sebagaimana tidak adanya tanda-tanda diakritis tata bahasa (al-Harakah al-Nahwiyah). Hilangnya ortografi di dalam tulisan Arab yang memungkinkan untuk menjadikan satu kata mejadi keadaan yang beragam dari sisi letaknya dalam i’rab. Karena itu, penyempurnaan untuk tulisan buku kemudian perbedaan di dalam tanda-tanda diakritis dan bentuk semuanya menjadi penyebab pertama bagi munculnya diakritis (harakah) berbagai qira’ah yang mana di dalamnya tidak ada titik dan bentuk dari al-Qur’an. [16]
Goldziher menunjukkan berbagai contoh; al-Qatadah membaca lafal فاقتلوا أنفسكم dengan fa aqilu anfusakum, bukan faqtulu anfusakum. Menurut Goldziher dalam pandangan al-Qatadah bahwa bacaan faqtulu anfusakum menunjukkan hukuman yang sangat keras tidak sesuai dengan dosa yang disebutkan. Jadi, bacaan fa aqilu anfusakum bermakna pastikanlah kamu menarik diri dengan apa yang telah kamu perbuat, yakni menyesal dengan kesalahan yang telah dilakukan. Goldziher berpendapat bahwa contoh tersebut menunjukkan pengamatan yang obyektif yang menyebabkan terjadinya perbedaan qira’at, namun ia tidak menyebutkan sumber yang menyatakan al-Qatadah membaca dengan fa aqilu anfusakum. Bacaan ini tidak termasuk dalam qira’at sab’ah, asyarah dan arba’ata asyr.[17]
Goldziher meyakini bahwa penggunaan skrip yang tidak ada tanda titik telah mengakibatkan munculnya perbedaan bacaan, untuk menguatakan anggapannya, ia memberikan beberapa contoh potensial yang di bagi ke dalam dua kelompok.[18]
1.    Perbedaan karena tidak ada kerangka tanda titik sebagai berikut:
a.    (وَما كُنْتُم تَسْتَكْبِرُوْن) dapat dibaca (وَما كُنْتُم تَسْتَكْثِرُوْن)
b.    ( ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيْلِ الله فَتَبَيَنُواإِذَا) dapat dibaca (ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيْلِ الله فَثَبتُواإِذَا)
2.    Perbedaan karena tidak adanya tanda diakritikal
Goldziher berpendapat, bahwa masing-masing golongan menggali ayat al-Qur’an dan apa yang didapatkan di jadikan sandaran bagi madzhabnya, karena adanya perselisihan antara ahls al-Sunnah mempunyai sikap optimistis dalam pendapatnya yang menyatakan bahwa Allah Swt. boleh memberi ampunan kepada orang yang berbuat dosa. Sedangkan golongan Mu’tazilah bersifat pesimistis di dalam menyatakan adanya kewajiban memberikan hukuman terhadap orang-orang yang berbuat dosa tanpa bertaubat sebelum matinya.[19]
 
D.  Perbedaan dan Perbandingan
Perbedaan tokoh orientalis dari abad ke-dua puluh sampai ke-dua satu.
1.    Theodor Noldeke (w. 1930), orang pertama yang menyusun aurat-surat al-Qur’an secara kronologis
2.    Richard Bell (w. 1952), meyakini al-Qur’an disusun sebelum wafatnya Nabi Muhammad Saw.
3.    John Wansbrough (w. 2002), pendukung utama pendekatan revisionis, percaya bahwa al-Qur’an disusun sekitar 150 tahun setelah meninggalnya Nabi.
4.    Montgomery Watt (w. 2006)  meyakini al-Qur’an adalah Firman Allah untuk waktu dan tempat tertentu.
5.    Christoph Luxenberg percaya bahwa al-Qur’an  didasarkan pada dokumen liturgi Kristen berbahasa Aramaik
6.    Andrew Rippin percaya bahwa al-Qur’an harus dipahami dalam pemahaman monoteistik yang lebih luas, bukan sebatas lingkungan Arab saja.[20]
Wansbrough secara jelas menghantam otentisitas dan integritas mushaf usmani, jika karya-karya Ignaz telah membawa pengaruh nyata dalam bentuk skeptisisme hadis, maka penerimaan terhadap gagasannya menimbulkan kecenderungan serupa dalam bentuk skeptisisme al-Qur’an

 
BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan
1.    Ignaz Goldziher lahir pada 22 Juni 1850 di Hongaria. Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh luas, tetapi tidak seperti keluarga Yahudi Eropa yang sangat fanatik pada saat itu. Pendidikannya dimulai dari Budaphes, kemudian melanjutkan ke Barlin pada tahun 1869 selama satu tahun, kemudian pindah pada Universitas Leipzig. Goldziher memperoleh gelar doktor tingkat pertama tahun 1870 dengan topik risalah “Penafsir Taurah yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah” Pada tahun 1894, ia menjadi profesor kajian bahasa Semit, sejak saat itu dia hampir tidak kembali ke negerinya, tidak juga ke Budaphes, kecuali menghadiri konferensi orientalis atau memberi orasi pada seminar-seminar di berbagai universitas asing yang mengundangnya. Kemudian meninggal dunia pada 13 November 1921 di Budaphes.
2.    Secara umum yang menjadi target utama serangan misionaris dan orientalis Yahudi Nasrani, setelah gagal menghancurkan sirah dan sunah Nabi Muhammad Saw., pendekatan Goldziher dalam studi al-Qur’an tidak hanya mempertanyakan otentitasnya, pengaruh Yahudi, Nasrani, kandungan al-Qur’an, mengungkapkan pengaruh literatur dan tradisi Yahudi-Nasrani serta membandingkan ajaran al-Qur’an dengan adat-istiadat Jahiliyah. Jadi,  Goldziher menggunakan pendekatan comparative religion dalam mengkaji kitab suci, dan historical otenticiti dalam mengkaji hadis.Theodor Noldeke (w. 1930), orang pertama yang menyusun aurat-surat al-Qur’an secara kronologis
3.    Richard Bell (w. 1952), meyakini al-Qur’an disusun sebelum wafatnya Nabi Muhammad Saw. John Wansbrough (w. 2002), pendukung utama pendekatan revisionis, percaya bahwa al-Qur’an disusun sekitar 150 tahun setelah meninggalnya Nabi. Montgomery Watt (w. 2006)  meyakini al-Qur’an adalah Firman Allah untuk waktu dan tempat tertentu. Christoph Luxenberg percaya bahwa al-Qur’an  didasarkan pada dokumen liturgi Kristen berbahasa Aramaik dan Andrew Rippin percaya bahwa al-Qur’an harus dipahami dalam pemahaman monoteistik yang lebih luas, bukan sebatas lingkungan Arab saja.

B.       Saran
Harapan penulis semoga makalah ini bermanfaat untuk penulis ataupun pembaca. Saran penulis jangan pernah berhenti untuk belajar dan berkarya. Tidak ada sesuatu di dunia ini yang sulit kecuali kita mau berusaha dan belajar, tetap semangat dan jangan pernah menyerah, masa depan ada di depan kita semua.



DAFTAR PUSTAKA


Badawi, Abdurrahman. Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: LkiS, 2003)
Arif, Syamsuddin. Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008).
Amal, Taufik Adnan. Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta: Forum kajian Budaya dan Agama, 2001).
Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir dari Aliran Klasik hingga Modern, terjemah M. Alaika Salamullah, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003)
http://www.academia.edu/4884253/Tafsir_dalam_Persepektif_Goldziher
Mustofa Hulayin, (Kajian Orientalis Terhadap al-Qur’an dan Hadis),
https://anwarsy.files.wordpress.com/2012/01/kajian-orientalis-thd-al-quran-hadis. (Diakses 26-02-2017)
Abdussalam, Abdul Majid. Visi dan Paradigma Tafsir Kontemporer, (Bangil: AL IZZAH, 1997)
Ahmad Mutiul Alim, “Tipologi Al-Qur’an menurut Ignaz Goldziher”, http://www.academia.edu/8781553/Tipologi_AlQuran_Menurut_Ignaz_Goldziher (Diakses 26-02-2017)
Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzzat Daewazah, (Bandung: Mizan, 2016)
Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press, 2005)
M.M Al-A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an dari  Wahyu sampai Komplikasi, (Jakarta: Gema Insani, 2014)
M. Yusuf  Musa, Al-Qur’an dan Filsafat (penuntun mempelajari Filsafat Islam), (Yogyakarta: Tiara Wacan Yogya, 1991)
Abdullah Saeed, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2016)



[1]  Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 150.
[2] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir dari Aliran Klasik hingga Modern, terjemah M. Alaika Salamullah, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. xii
[3] Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, hlm. 151.
[4] Ibid., 152.
[5] Abdul Majid Abdussalam, Visi dan Paradigma Tafsir Kontemporer, (Bangil: AL IZZAH, 1997), hlm. 9.
[6] Taufik Adnan Kamal, Rekontruksi Sejarah al-Qur’an, (Yogyakarta: Forum kajian Budaya dan Agama, 2001), hlm. 154
[7] Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hlm. 9
[8] Ibid.
[9]Ahmad Mutiul Alim, “Tipologi Al-Qur’an menurut Ignaz Goldziher”, http://www.academia.edu/8781553/Tipologi_Al-Quran_Menurut_Ignaz Goldziher (Diakses 26-02-2017)
[10] Kamal, Rekontruksi Sejarah al-Qur’an, hlm. 190
[11]  Ibid., hlm. 141
[12]  Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian dalam Perspektif Tafsir Nuzulu Muhammad Izzzat Daewazah, (Bandung: Mizan, 2016), hlm. 42-43
[13] Kamal, Rekontruksi Sejarah al-Qur’an, hlm. 355
[14] Ibid., 43
[15] Ibid., hlm. 355
[16] Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 107-108
[17] Ibid.
[18]  M.M Al-A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an dari  Wahyu sampai Komplikasi, (Jakarta: Gema Insani, 2014), hlm. 153.
[19]  M. Yusuf  Musa, Al-Qur’an dan Filsafat (penuntun mempelajari Filsafat Islam), (Yogyakarta: Tiara Wacan Yogya, 1991), hlm. 136
[20] Abdullah Saeed, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2016), hlm. 153

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel