Makalah Studi Al-Qur’an Ignaz Goldziher dalam Kajian Perbandingan Agama
April 28, 2017
Ignaz Goldziher lahir pada 22 Juni 1850 di Hongaria.
Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh luas, tetapi
tidak seperti keluarga Yahudi Eropa yang sangat fanatik pada saat itu.
Pendidikannya dimulai dari Budaphes, kemudian melanjutkan ke Barlin pada tahun
1869 selama satu tahun, kemudian pindah pada Universitas Leipzig, salah satu
guru besar ahli ketimuran adalah Fleisser, sosok orientalis yang sangat menonjol pada saat itu dan termasuk
pakar filologi. Di bawah asuhannya, Goldziher memperoleh gelar doktor tingkat
pertama tahun 1870 dengan topik risalah “Penafsir Taurah yang Berasal dari Tokoh
Yahudi Abad Tengah.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Anugerah Allah yang diberikan kepada Islam dan
umatnya, karena Dia menakdirkan
sebagian orang Eropa bersungguh-sungguh dalam politik dan mencurahkan
kemampuannya dalam penelitian sejarah. Di antara mereka mengkaji sisi agama dan
kehidupan rohaniahnya, mereka benar-benar menggelutinya.
Sedang sosok yang paling
pas disebut sebagai dedengkot orientalis yang mengkaji religiusitas Islam
secara spesifik dan mendalami kajian spiritual secara umum ialah Ignaz
Goldziher.[1]
Kajian yang dilakukan Goldziher mengantarkan kita pada sebuah kenyataan bahwa
tidak ada pemahaman tunggal mengenai makna-makna yang terkandung dalam
al-Qur’an sebagai teks yang selalu terbuka untuk ditafsirkan.[2]
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Biografi Ignaz Goldziher secara singkat?
2. Bagaimana
Studi al-Qur’an Ignaz Goldziher?
3. Apa
perbedaan dan perbandingan antara
studi al-Qur’an Ignaz Goldziher
dengan orientalis lain?
C. Tujuan
1. Mengetahui biografi Ignaz Goldziher secara singkat
2. Mengetahui
studi al-Qur’an Ignaz Goldziher
3. Mengetahui perbedaan dan perbandingan antara studi al-Qur’an Ignaz Goldziher dengan orientalis lain
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher
lahir pada 22 Juni 1850 di Hongaria. Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang
dan memiliki pengaruh luas, tetapi tidak seperti keluarga Yahudi Eropa yang
sangat fanatik pada saat itu. Pendidikannya dimulai dari Budaphes, kemudian
melanjutkan ke Barlin pada tahun 1869 selama satu tahun, kemudian pindah pada
Universitas Leipzig, salah satu guru besar ahli ketimuran adalah Fleisser,
sosok orientalis yang sangat menonjol
pada saat itu dan termasuk pakar filologi. Di bawah asuhannya, Goldziher memperoleh
gelar doktor tingkat pertama tahun 1870 dengan topik risalah “Penafsir Taurah
yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah”.[3]
Pada tahun 1894 Goldziher menjadi profesor kajian bahasa Semit, sejak saat itu dia hampir tidak
kembali ke negerinya, tidak juga ke Budaphes, kecuali menghadiri konferensi orientalis atau memberi orasi pada seminar-seminar
di berbagai universitas asing yang mengundangnya. Goldziher meninggal dunia
pada 13 November 1921 di Budaphes.[4]
Perjalanan karir ilmiah Goldziher dimulai sejak berumur 16 tahun ketika dia
mulai tertarik pada kajian ketimuran. Pada usia itu, ia telah menerjemahkan dua
buah kisah berbahasa Turki ke dalam bahasa Hongaria, yang di muat dalam majalah
sejak tahun 1866, ketika usia goldziher mencapai 16 tahun
ia sudah terbiasa dengan membahas buku besar, memberi
ulasan dan kritik-kritik terhadap buku-buku yang ada. Koleksi ulasan yang dihasilkan
mencapai 592 kajian. Buku klasik pertama yang menjadi sasaran kajiannya ialah al-Zhahiriyyah.
Goldziher merupakan orientalis terbesar mulai akhir
abad ke-19 hingga awal abad ke-2, seorang Yahudi yang telah mencurahkan hidupnya untuk menikam Islam, Nabi dan
al-Qur’an secara ilmiah dan memuaskan, karena terdorong oleh kebencian, makar,
dan kedengkian Yahudinya.[5]
B. Karya-Karya
Ignaz Goldziher
Pada abad-19 akhir
hingga abad-20 awal muncul karya-karya Ignaz Goldzhier yang menunjukkan perhatiannya
terhadap sejarah tafsir al-Qur’an juga terefleksikan dalam sejumlah buku atau
artikel. Tetapi, karya klasiknya, Die Richtungen der
Islamischen Koranauslegung (1920), tetap merupakan karya standar di bidang ini, tidak ada yang menandingi dalam cakupannya
terhadap keseluruhan periode tafsir hingga modern.[6]
Muhammedanische (1889), merupakan terjemahan Inggris; Muslims Studies
(1971),[7]
Die Zahiriten, Ihr Lehrsystem und Ihre Geschichte (Leipzing, 1884 ),[8]
Die I’ascetisme aux premiers temps de I’Islam,dan Die Stellung der alten Islamischen Orthodoxie zu den antiken Wissenschaften,
dan Madzahib al-Tafsir al-Islami (1983)
C. Studi Al-Qur’an Ignaz Goldziher
Secara umum yang menjadi target utama serangan misionaris dan orientalis Yahudi Nasrani,
setelah gagal menghancurkan sirah dan sunah Nabi Muhammad Saw., pendekatan Goldziher dalam studi al-Qur’an
tidak hanya mempertanyakan otentitasnya, pengaruh Yahudi, Nasrani, kandungan
al-Qur’an, mengungkapkan pengaruh literatur dan tradisi Yahudi-Nasrani serta
membandingkan ajaran al-Qur’an dengan adat-istiadat Jahiliyah. Jadi,
Goldziher
menggunakan pendekatan comparative religion dalam mengkaji kitab suci,
dan historical otenticiti dalam mengkaji hadis.[9]
Ignaz Goldziher
mengemukakan tentang bacaan dalam mushaf pra-Usmani sebagai bukan bagian
otentik al-Qur’an. Ia mendekati mushaf-mushaf tersebut dari sudut pandang
perbedaannya dengan teks otentik al-Qur’an. Dengan mengedepankan motif-motif
pengelakan kemungkinan adanya kendala dalam pemahaman kandungan al-Qur’an, provisi
yang berhubungan dengan penjelasannya, klarifikasi linguistik terhadap
teks-teksnya yang kabur, penghindaran ekspresi-ekspresi yang tidak lazim atau
keliru dan kejanggalan-kejanggalan stilistik di dalamnya, serta kecenderungan untuk
memperhalus dan menyederhanakan pengungkapan, Goldziher sampai kepada
kesimpulan bahwa varian-varian atau kodek-kodeks pra-usmani hanya sekedar varian dari tradisi teks
usmani.[10]
Ignaz Goldziher
menilai seluruh riwayat tentang pengumpulan al-Qur’an mulai dari masa Nabi
yang dilakukan para sahabatnya, hingga ke masa Usman
–dengan berbagai varian bacaanya– merupakan rekayasa para ahli fikih belakangan
untuk mendukung teori nasikh-mansukh mereka dengan menyembunyikan
kenyataan bahwa teks final al-Qur’an tidak dihasilkan oleh Usman melainkan oleh
Nabi sendiri.[11]
Godziher merupakan
pemikir orientalis yang menawarkan tipologi tafsir. Dia membagi tafsir menjadi
lima tipe:[12] pertama,tafsir
tradisionalis. Kedua, tafsir dogmatis. Ketiga, tafsir mistik.[13]
Keempat, tafsir sektarian, dan kelima, tafsir modern. Tipologi ini
tidak didasarkan pada pijakan tertentu secara kaku, sebab tafsir bi
al-Ma’tsur sejatinya mengikuti pijakan metode. Tafsir dogmatis, sufistik,
dan sektarian sejatinya mengikuti pijakan ajaran dan ideologi, sedangkan tafsir
modern sejatinya mengikuti pijakan waktu dan metode.[14]
tiga aliran pertama senada dengan tipologi keserjanaan
Islam, yakni tafsir bi al-Riwayah, tafsir bi al-Dirayah, dan
tafsir bi al-Isyarah. Sementara dua aliran lainnya merupakan kategori
tambahan atau elaborasi dari tipologi
keserjanaan Muslim.[15]
Ignaz menjelaskan secara detail mengapa tulisan (al-Khat
al-‘Arabi) menjadi penyebab perbedaan qira’at. Bahwa tulisan untuk
satu kata kadang-kadang bisa di baca dengan berbagai bentuk mengikuti titik
diatas atau titik dibawah huruf, sebagaimana tidak adanya tanda-tanda diakritis
tata bahasa (al-Harakah al-Nahwiyah). Hilangnya ortografi di dalam
tulisan Arab yang memungkinkan untuk menjadikan satu kata mejadi keadaan yang
beragam dari sisi letaknya dalam i’rab. Karena itu, penyempurnaan untuk tulisan
buku kemudian perbedaan di dalam tanda-tanda diakritis dan bentuk semuanya
menjadi penyebab pertama bagi munculnya diakritis (harakah) berbagai qira’ah
yang mana di dalamnya tidak ada titik dan bentuk dari al-Qur’an. [16]
Goldziher menunjukkan berbagai contoh; al-Qatadah
membaca lafal فاقتلوا أنفسكم dengan fa aqilu
anfusakum, bukan faqtulu anfusakum. Menurut Goldziher dalam
pandangan al-Qatadah bahwa bacaan faqtulu anfusakum menunjukkan hukuman
yang sangat keras tidak sesuai dengan dosa yang disebutkan. Jadi, bacaan fa
aqilu anfusakum bermakna pastikanlah kamu menarik diri dengan apa yang
telah kamu perbuat, yakni menyesal dengan kesalahan yang telah dilakukan.
Goldziher berpendapat bahwa contoh tersebut menunjukkan pengamatan yang
obyektif yang menyebabkan terjadinya perbedaan qira’at, namun ia tidak
menyebutkan sumber yang menyatakan al-Qatadah membaca dengan fa aqilu
anfusakum. Bacaan ini tidak termasuk dalam qira’at sab’ah, asyarah
dan arba’ata asyr.[17]
Goldziher meyakini bahwa penggunaan skrip yang tidak ada tanda titik telah mengakibatkan
munculnya perbedaan bacaan, untuk menguatakan anggapannya, ia memberikan beberapa
contoh potensial yang di bagi ke dalam dua kelompok.[18]
1.
Perbedaan
karena tidak ada kerangka tanda titik sebagai berikut:
a.
(وَما كُنْتُم تَسْتَكْبِرُوْن) dapat dibaca (وَما كُنْتُم تَسْتَكْثِرُوْن)
b.
( ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيْلِ الله
فَتَبَيَنُواإِذَا) dapat dibaca
(ضَرَبْتُمْ فِي
سَبِيْلِ الله فَثَبتُواإِذَا)
2.
Perbedaan
karena tidak adanya tanda diakritikal
Goldziher berpendapat, bahwa masing-masing golongan
menggali ayat al-Qur’an dan
apa yang didapatkan di jadikan sandaran bagi madzhabnya, karena adanya perselisihan antara ahls
al-Sunnah mempunyai sikap optimistis dalam pendapatnya yang menyatakan
bahwa Allah Swt. boleh memberi ampunan kepada orang yang berbuat dosa.
Sedangkan golongan Mu’tazilah bersifat pesimistis di dalam menyatakan adanya
kewajiban memberikan hukuman terhadap orang-orang yang berbuat dosa tanpa
bertaubat sebelum matinya.[19]
D. Perbedaan dan Perbandingan
Perbedaan tokoh
orientalis dari abad ke-dua puluh sampai ke-dua satu.
1. Theodor
Noldeke (w. 1930), orang pertama yang menyusun aurat-surat al-Qur’an secara
kronologis
2. Richard
Bell (w. 1952), meyakini al-Qur’an disusun sebelum wafatnya Nabi Muhammad Saw.
3. John
Wansbrough (w. 2002), pendukung utama pendekatan revisionis, percaya bahwa
al-Qur’an disusun sekitar 150 tahun setelah meninggalnya Nabi.
4. Montgomery
Watt (w. 2006) meyakini al-Qur’an adalah
Firman Allah untuk waktu dan tempat tertentu.
5. Christoph
Luxenberg percaya bahwa al-Qur’an
didasarkan pada dokumen liturgi Kristen berbahasa Aramaik
6. Andrew
Rippin percaya bahwa al-Qur’an harus dipahami dalam pemahaman monoteistik yang
lebih luas, bukan sebatas lingkungan Arab saja.[20]
Wansbrough secara
jelas menghantam otentisitas dan integritas mushaf usmani, jika karya-karya Ignaz
telah membawa pengaruh nyata dalam bentuk skeptisisme hadis, maka penerimaan
terhadap gagasannya menimbulkan kecenderungan serupa dalam bentuk skeptisisme
al-Qur’an
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ignaz Goldziher lahir pada 22 Juni 1850 di Hongaria. Berasal
dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh luas, tetapi tidak
seperti keluarga Yahudi Eropa yang sangat fanatik pada saat itu. Pendidikannya
dimulai dari Budaphes, kemudian melanjutkan ke Barlin pada tahun 1869 selama
satu tahun, kemudian pindah pada Universitas Leipzig.
Goldziher memperoleh gelar doktor tingkat pertama tahun
1870 dengan topik risalah “Penafsir Taurah yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad
Tengah” Pada tahun 1894, ia
menjadi profesor kajian bahasa
Semit, sejak saat itu dia hampir tidak kembali ke negerinya, tidak juga ke
Budaphes, kecuali menghadiri konferensi orientalis atau memberi orasi pada seminar-seminar
di berbagai universitas asing yang mengundangnya. Kemudian meninggal dunia pada 13 November 1921 di Budaphes.
2. Secara
umum yang menjadi target utama
serangan misionaris dan orientalis Yahudi Nasrani, setelah gagal menghancurkan sirah
dan sunah Nabi Muhammad Saw., pendekatan Goldziher dalam studi al-Qur’an tidak hanya
mempertanyakan otentitasnya, pengaruh Yahudi, Nasrani, kandungan al-Qur’an,
mengungkapkan pengaruh literatur dan tradisi Yahudi-Nasrani serta membandingkan
ajaran al-Qur’an dengan adat-istiadat Jahiliyah. Jadi,
Goldziher
menggunakan pendekatan comparative religion dalam mengkaji kitab suci,
dan historical otenticiti dalam mengkaji hadis.Theodor
Noldeke (w. 1930), orang pertama yang menyusun aurat-surat al-Qur’an secara
kronologis
3. Richard
Bell (w. 1952), meyakini al-Qur’an disusun sebelum wafatnya Nabi Muhammad Saw. John
Wansbrough (w. 2002), pendukung utama pendekatan revisionis, percaya bahwa
al-Qur’an disusun sekitar 150 tahun setelah meninggalnya Nabi. Montgomery Watt
(w. 2006) meyakini al-Qur’an adalah
Firman Allah untuk waktu dan tempat tertentu. Christoph Luxenberg percaya bahwa
al-Qur’an didasarkan pada dokumen
liturgi Kristen berbahasa Aramaik dan Andrew Rippin percaya bahwa al-Qur’an
harus dipahami dalam pemahaman monoteistik yang lebih luas, bukan sebatas
lingkungan Arab saja.
B. Saran
Harapan penulis semoga makalah ini bermanfaat untuk
penulis ataupun pembaca. Saran penulis jangan pernah berhenti untuk belajar dan
berkarya. Tidak ada sesuatu di dunia ini yang sulit kecuali kita mau berusaha
dan belajar, tetap semangat dan jangan pernah menyerah, masa depan ada di depan
kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Badawi,
Abdurrahman. Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: LkiS, 2003)
Arif, Syamsuddin. Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008).
Amal,
Taufik Adnan. Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta: Forum kajian Budaya dan Agama, 2001).
Goldziher,
Ignaz. Mazhab Tafsir dari Aliran Klasik hingga Modern, terjemah M. Alaika Salamullah, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003)
http://www.academia.edu/4884253/Tafsir_dalam_Persepektif_Goldziher
Mustofa Hulayin,
(Kajian Orientalis Terhadap al-Qur’an dan Hadis),
https://anwarsy.files.wordpress.com/2012/01/kajian-orientalis-thd-al-quran-hadis.
(Diakses 26-02-2017)
Abdussalam,
Abdul Majid. Visi dan Paradigma Tafsir Kontemporer, (Bangil: AL IZZAH, 1997)
Ahmad
Mutiul Alim, “Tipologi Al-Qur’an menurut Ignaz Goldziher”,
http://www.academia.edu/8781553/Tipologi_AlQuran_Menurut_Ignaz_Goldziher (Diakses 26-02-2017)
Aksin Wijaya, Sejarah
Kenabian dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzzat Daewazah, (Bandung: Mizan, 2016)
Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam
Studi Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press, 2005)
M.M Al-A’zami,
Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu
sampai Komplikasi, (Jakarta: Gema Insani, 2014)
M. Yusuf
Musa, Al-Qur’an
dan Filsafat (penuntun mempelajari Filsafat Islam), (Yogyakarta: Tiara
Wacan Yogya, 1991)
Abdullah Saeed, Pengantar Studi
Al-Qur’an, (Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2016)
[1] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh
Orientalis, (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 150.
[2] Ignaz
Goldziher, Mazhab Tafsir dari Aliran Klasik hingga Modern, terjemah M.
Alaika Salamullah, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. xii
[3] Badawi, Ensiklopedi
Tokoh Orientalis, hlm. 151.
[4] Ibid., 152.
[5] Abdul Majid
Abdussalam, Visi dan Paradigma Tafsir Kontemporer, (Bangil: AL IZZAH,
1997), hlm. 9.
[6] Taufik Adnan
Kamal, Rekontruksi Sejarah al-Qur’an, (Yogyakarta: Forum kajian Budaya
dan Agama, 2001), hlm. 154
[7] Syamsuddin Arif, Orientalis
& Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hlm. 9
[8] Ibid.
[9]Ahmad
Mutiul Alim, “Tipologi Al-Qur’an menurut Ignaz Goldziher”, http://www.academia.edu/8781553/Tipologi_Al-Quran_Menurut_Ignaz
Goldziher (Diakses 26-02-2017)
[10] Kamal, Rekontruksi
Sejarah al-Qur’an, hlm. 190
[11] Ibid.,
hlm. 141
[12] Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian dalam
Perspektif Tafsir Nuzulu Muhammad Izzzat Daewazah, (Bandung: Mizan, 2016), hlm. 42-43
[13] Kamal, Rekontruksi
Sejarah al-Qur’an, hlm. 355
[14] Ibid., 43
[15]
Ibid., hlm. 355
[16] Adnin Armas, Metodologi Bibel
dalam Studi Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 107-108
[17] Ibid.
[18] M.M Al-A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an
dari Wahyu sampai Komplikasi, (Jakarta:
Gema Insani, 2014), hlm. 153.
[19] M. Yusuf Musa, Al-Qur’an
dan Filsafat (penuntun mempelajari Filsafat Islam), (Yogyakarta: Tiara
Wacan Yogya, 1991), hlm. 136
[20] Abdullah Saeed, Pengantar
Studi Al-Qur’an, (Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2016), hlm. 153