Kaidah Qulliyah Makalah Lengkap
Januari 22, 2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
kehidupan sehari-hari permasalahan yang muncul sangatlah bermacam- macam. Dari
masalah tersebut Tentunya harus ada jalan keluar untuk penyelesaiannya. maka
disusunlah suatu kaidah umum yang di ikuti cabang-cabang secara mendetail
terkait permaslahan yang sesuai dengan kaidah tersebut. Adanya kaidah ini
tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan permasalahan yamg
muncul di tengah-tengah kehidupan. Sehingga menjadi kewajiban seorang muslim
untuk lebih memahami dan menyikapi persoalan hukum dalam islam, karena proses
kehidupan tidak terlepas dari kegiatan hukum.
Dari
permasalahan tersebut kami sangat tertarik untuk membahas tentang kaidah
kulliyah yang secara mendetail.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa maksud dari kaidah ke dua puluh lima?
2.
Apa maksud dari kaidah ke dua puluh enam?
3.
Apa maksud dari kaidak ke dua puluh tujuh?
4.
Apa maksud dari kaidah ke dua puluh delapan?
5.
Apa maksud dari kaidah ke dua puluh sembilan?
6.
Apa maksud dari kaidah ke tiga puluh?
7.
Apa maksud dari kaidah ke tiga puluh satu?
8.
Apa maksud dari kaidah ke tiga puluh dua?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui maksud dari kaidah ke dua puluh lima.
2.
Untuk mengetahui mksud dari kaidah ke dua puluh enam.
3.
Untuk mengetahui maksud dari kaidak ke dua puluh tujuh.
4.
Untuk mengetahui maksud dari kaidah ke dua puluh
delapan.
5.
Untuk mengetahui maksud dari kaidah ke dua puluh
sembilan.
6.
Untuk mengetahui maksud dari kaidah ke tiga puluh.
7.
Untuk mengetahui maksud dari kaidah ke tiga puluh satu.
8.
Untuk mengetahui maksud dari kaidah ke tiga puluh dua.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Kaidah Ke Dua Puluh
Lima
ما ثبت باالشرع مقدم على ما وجب بالشرط
“apa yang ditetapkan syara’ lebih didahulukan dari pada wajib
menurut syarat”.
Maksud
dari kaidah tersebut, adalah bahwa segala sesuatu yang ditentukan oleh syara’,
harus didahulukan dalam pelaksanaan atau penggunaannya di banding dengan
syarat-syarat yang dibuat oleh manusia. Atau dengan kata lain, semua ketetapan yang ada dalam syara’
itu harus di utamakan dari pada undang-undang yang dibuat oleh manusia.
Sebagai contoh, seseorang bernadzar
apabila ia sukses dalam ujiannya, maka ia akan mengerjakan sholat subuh.
Bernadzar dengan demikian tidak diperkenankan, karena mengerjakan shalat subuh
merupakan suatu kewajiban yang memang harus dikerjakan, dan hal ini adalah
ketentuan syara’.[1]
2.
Kaidah Ke Dua Puluh
Enam
ماحرم استعماله حرم اتخاذه
“apa yang
haram digunakan, haram pula didapatkan”.
Maksud
dari kaidah tersebut, adalah bahwa segala sesuatu yang telah diharamkan
hukumnya apabila dipakai, maka mencarinya pun juga diharamkan.
Maka oleh karena itu, orang
diharamkan menyimpan alat atau sarana kemaksiatan. Menyimpan wadah atau bejana
terbuat dari bahan mas atau perak, sutra dan mas bagi orang laki-laki, sebab
larangan menyimpan barang-barang tersebut boleh jadi akan menggunakannya.
Demikian juga dilarang memelihara anjing, selain anjing untuk menjaga keamanan
dan berburu.
Sabdah Nabi SAW:
ومن وقع فى فالشبهات وقع فى الحرم, كالراعى يرعى حول الحمى يوشك ان يرتع
فيه
“Barang siapa jatuh pada barang syubhat, jatuh pada haram,
seperti penggembala yang menggembalakan disekitar larangan dikhawatirkan akan
masuk pada larangan”.[2]
3.
Kaidah Ke Dua Puluh
Tujuh
ما
حرم اخذه حرم اعطا ؤه
“apa yang
diambilnya haram, diharamkan pula (untuk) diberikannya”.
Maksud
dari kaidah tersebut, adalah bahwa mengambil sesuatu yang diharamkan, lalu
hasilnya diberikan kepada orang lain, maka dapat diibaratkan bersekutu
dengannya.
Selain itu, sebagai mana diharamkan
mengambilnya, dari kaidah diatas diambil pula contoh, seperti diharamkannya
memberikan uang hasil perjudian, uang hasil suap, dan segala perbuatan yang
fasiq.
Firman Allah SWT dalam QS.
Al-Maidah:3:
ولا
تعاونو على الاثم والعدوان
“Janganlah kamu tolong menolong dalam
dosa dan permusuhan”.
Ada beberapa masalah yang dikecualikan dari kaidah
ini yaitu:
a.
Apabila ada seseorang yang pandai, sedangkan orang tersebut pantas
sekali jika menjabat suatu kedudukan (bupati) dan andai kata jabatan itu tidak
didudukinya, kemungkinan besar akan dijabat oleh orang yang bodoh dan tidak
jujur. Dengan alasan demikian, ia boleh saja memberikan hadiah kepada pejabat
yang berwenang, dengan pamrih agar ia dapat di angkat sebagai bupati.
b.
hasan dan husen bersengketa dan minta keadilan ke pengdilan. Hasan
sebenarnya yang benar, sedangkan husen adalah pihak yang bersalah. Namun
kelihatannya hakim cenderung membela husen (pihak yang bersalah), karena sebab
itulah hasan memberikan suap kepada hakim, dengan maksud agar hakim berlaku
bijaksana. Yaitu memutuskan perkara dengan berpijak pada kebenaran. Tindakan
tersebut diperbolehkan, meskipun hakim sendiri menerima suap diharamkan
hukumnya.
c.
Orang yang meninggal dunia berwasiat kepada seseorang (ahmad) untuk
menyampaikan sebagian hartanya kepada orang-orang tertentu, namun tiba-tiba ada
orang lain yang akan berbuat dhalim kepada ahmad, maka demi keselamatannya, ia
boleh memberikan harta tersebut kepada orang yang hendak mencelakakannya.[3]
4.
Kaidah Ke Dua Puluh
Delapan
المشغول لايشول
“Sesuatu yang sedang dijadikan obyek
perbuatan tertentu, tidak boleh dijadikan obyek perbuatan tertentu yang lain”.
Maksud
dari kaidah tersebut, adalah bahwa apabila ada sesuatu yang sudah menjadi obyek
sesuatu aqad, maka tidak boleh dijadikan obyek akad lain, karena obyek itu
telah terikat dengan aqad yang pertama.
Seperti halnya, meminang perempuan
yang sudah menjadi pinangan orang lain. Sabdah Nabi SAW:
لايخطب
الرجل على خطبة الرجل حتى يترك الخاطب قبله اوياء ذن له )البخارى(
“seorang laki-laki tidak boleh meminang
pinangan laki-laki lain, sehingga peminang pertama itu meninggalkan (membatalkan)
pinangannya, atau mengizinkannya (dalam arti ia sudah membatalkan juga)”.
5.
Kaidah Ke Dua Puluh
Sembilan
المكبر لايكبر
”Yang sudah dibesarkan, tidak dibesarkan (lagi)”
Maksud
dari kaidah tersebut, adalah suatu perkara yang sudah dibesarkan atau
ditingkatkan hukumnya sampai pada hukum tertinggi, maka tidak dapat di
tingkatkan lagi atau di tambah (diperbesar) dengan hukum dibawahnya.
Seperti halnya, membasuh sesuatu dari
suatu kotoran atau najis disunnahkan mengulang-ulang (mengulangi) tiga kali.
Namun apabila kotoran atau najis itu adalah najis (jilatan) anjing, maka tidak
disunnahkan lagi mengulangi tiga kali, sebab sudah diperbesarkan dengan
diharuskan mengulangi tujuh kali dengan air, dan salah satunya hendaknya di
campur dengan debu.
Sabdah Nabi SAW:
طهور اناء احدكم اذا ولغ فيه الكلب ان يغسله سبع مرات اولا هن
بالترب {رواه مسلم}
”cara mencuci bejana seseorang (di antara) kamu, apabila dijilat
anjing hendaklah dibasuh tujuh kali, dan salah satunya dicampur dengan debu.” (HR. Muslim).
6.
Kaidah Ke Tiga Puluh
من استعجل شيء قبل اوانه عو قب بحرما نه
“barang siapa yang tergesa-gesa terhadap
sesuatu yang belum waktunya, akibatnya (ia) menanggung dengan tidak memperoleh
sesuatu itu”.
Maksud
dari kaidah tersebut, adalah dalam mencegah sebuah kejahatan atau sebagai
penutup jalan bagi kemungkinan terjadinya suatu kejahatan, yakni dengan
mengancam akibat yang akan di berikan kepadanya, yaitu terhalangnya suatu hak
yang seharusnya ia terima karena melakukan perbuatan untuk mendapatkan hak itu
sebelum waktunya tiba, atau dengan kata lain, ia berusaha agar mendapatkan
sesuatu dengan secepatnya, tanpa menunggu proses alami.
Seperti halnya, apabila arak yang
didiamkan beberapa hari maka arak tersebut
akan menjadi cuka dengan sendirinya, dan hukumnya suci. Namun apabila
seseorang tergesa-gesa ingin mendapatkan cuka, kemudian arak itu di campur
dengan (kerikil) misalnya, meskipun seandainya arak itu bisa menjadi cuka, maka
hukumnya tetap najis, karena hal tersebut tanpa menggunakan proses yang alami.
Melihat contoh di atas, kaidah ini
lebih bersifat sebagai peringatan agar seseorang tidak tergesa-gesa dalam
melakukan sesuatu perbuatan atau suatu tindakan dalam rangka untuk mendapatkan
haknya sebelum waktunya, sebab akibatnya dapat merupakan kegagalan.
7.
Kaidah Ke Tiga Puluh
Satu
النفل او سع من الفرض
“sunnah lebih luas dari pada fardhu”.
Maksud
dari kaidah tersebut, adalah segala sesuatu yang di syariatkan sebagai perbuatan sunnah, pelaksanaannya
lebih longgar dari perbuatan yang di syariatkan sebagai perbuatan yang wajib.
Misalnya,
menjalankan puasa sunnah boleh diniati di waktu pagi hari, sedangkan puasa
fardhu harus diniati sejak malam harinya. Namun juga perlu diperhatikan,
kadang-kadang ada sunnah yang lebih sempit dari pada fardu, yaitu
masalah-masalah yang termasuk dalam kaidah dibawah ini:
ماجز
للضرور بمقدر بقدر ها
“Apa yang diperbolehkan karena darurat, maka
harus di ukur dengan kadar kedharuratannya”.
Seperti halnya, sujud sahwi berlaku
dalam shalat fardhu, namun tidak boleh dilakukan untuk mengerjakan shalat
sunnah.[4]
8.
Kaidah Ke Tiga Puluh
Dua
الو لا ية الخا صة اقو من الو لا ية العامة
“kekuasaan yang khusus lebih kuat dari
pada kekuasaan yang umum”.
Maksud
kaidah tersebut, adalah suatu perkara yang berada di bawah suatu kekuasaan, maka
pemegang kekuasaan yang khusus terhadap perkara tersebut mempunyai kedudukan,
dan wewenang yang lebih kuat dari pada penguasa umum, yang kekuasaannya
meliputi terhadap perkara tersebut. Oleh karena itu, selama masih ada dan berfungsi penguasa
khusus, penguasa umum tidak boleh bertindak
mengenai perkara tersebut.
Seperti halnya, dalam nikah yang
memiliki kekuasaan khusus umpamanya kakek dan bapak, sedangkan yang mempunyai
wilayah umum misalnya hakim. Jadi selama bapak atau kakek masih ada, hakim
tidak boleh bertindak sebagai wali nikah, kecuali siizin mereka.
Tingkat kekuasaan dalam hal tersebut
ada empat, yaitu:
1)
Wilayah karena hubungan kekerabatan, misalnya bapak
atau kakek. Wilayah ini dimasukkan dalam tingkatan pertama, sebab ketetapan
wilayahnya diatur oleh syara’.
2)
Wilayah wakil, yakni kekuasaan karena menjadi wakil.
Wilayahnya ditetapkan oleh muwakkil (yang mewakilkan).
3)
Wilayah washiy, yaitu menjadi wali karena menerina
wasiat.
4)
Wilayah wakaf.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari beberapa
pembahasan kaidah kulliyah (25-32) dapat di simpulkan bahwa:
1)
Kaidah ke dua puluh lima menjelaskan tentang apa yang
ditetapkan syara’ lebih didahulukan dari pada wajib menurut syarat.
2)
Kaidah ke dua puluh enam menjelaskan tentang apa yang
haram digunakan, haram pula didapatkan.
3)
Kaidah ke dua puluh tujuh menjelaskan tentang apa yang
diambilnya haram, diharamkan pula (untuk) diberikannya
4)
Kaidah ke dua puluh delapan menjelaskan tentang
Sesuatu yang sedang dijadikan obyek perbuatan tertentu, tidak boleh dijadikan
obyek perbuatan tertentu yang lain.
5)
Kaidah ke dua puluh sembilan menjelaskan tentang Yang
sudah dibesarkan, tidak dibesarkan (lagi).
6)
Kaidah ke tiga puluh menjelaskan tentang barang siapa
yang tergesa-gesa terhadap sesuatu yang belum waktunya, akibatnya (ia)
menanggung dengan tidak memperoleh sesuatu itu.
7)
Kaidah ke tiga puluh satu menjelaskan tentang sunnah
lebih luas dari pada fardhu.
8)
Kaidah ke tiga puluh dua menjelaskan tentang kekuasaan
yang khusus lebih kuat dari pada kekuasaan yang umum.
B.
Saran
Dari
beberapa kaidah di atas sudah disebutkan, penulis memberi saran semoga beberapa
kaidah itu mampu memberikan atau menjadikan landasan sebagai bentuk
penyelesaian permasalahan-permasalahn yang ada di masyarakat pada saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Fadal, Kurdi. Kaidah-Kaidah
Fiqih. Jakarta: Artha Rivera.2008.
Jalil, Abdul. Al-qawaid
Al-fiqhiyyah. Surabaya:
Pena Salsabila.2013.
Mujib, Abdul. Kaidah-Kaidah
Ilmu Fiqh. Jakarta:
Kalam Mulia.2001.
Musbikin, Imam. Qawa’id Al-fiqhiyah. Jakarta: PT. Raja Grafindo.2001.
[1] Abdul Jalil, Al-qawaid Al-fiqhiyyah (Surabaya:
Pena Salsabila, 2013), Hlm.69
[2] Abdul Mujib, Kaidah-Kaidah Ilmu
Fiqh (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), Hlm. 88
[3] Imam Musbikin, Qawa’id Al-fiqhiyah (Jakarta:
PT. Raja Grafindo, 2001), Hlm. 163-164
[4]Kurdi
Fadal, Kaidah-Kaidah Fiqih (Jakarta: Artha Rivera, 2008), Hlm.153