Sejarah perkembangan Qawaid Fiqqiyah Artikel
Januari 23, 2017
Sejarah Perkembangan Qawaid fiqhiyah
Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perkembangan
qawaid fiqhiyah dapat dibagi kedalam tiga fase berikut:
Fase Pertumbuhan dan Pembentukan
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama
tiga abad lebih. Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari
segi fase sejarah hukum islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman.
1.
Zaman Nabi Muhammad saw
Berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan
zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M
/ 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena
tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn
Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah
fiqh baru dibentuk dan ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yang dominan adalah Jawami
al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknanya
sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits
yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena
itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim
dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :
Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena
itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak mengandung al-Mustasnayat.Segi
cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena
kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap
sebagai kaidah fiqh, yaitu :
1. الخرج بالضمان (hak menerima hasil
karena harus menanggung kerugian)
2. العجماء جرحها جبار ( kerusakan yang dibuat oleh kehendak binatang sendiri tidak dikenakan ganti rugi), dll.
2. العجماء جرحها جبار ( kerusakan yang dibuat oleh kehendak binatang sendiri tidak dikenakan ganti rugi), dll.
Ibnu Taimiyah (w. 728 H), setelah menyampaikan
hadits riwayat Ahli Sunan menyatakan , dengan hadits jawami’ al-kalim (singkat
padat) Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dapat
menghilangkan dan mengacaukan akal (adalah) haram. Nabi tidak membeda-bedakan jenisnya, apakah benda tersebut berjenis
makanan atau minuman. Ini adalah ketetapan Nabi
Muhammad SAW, yaitu hokum meminum minuman yang memabukkan adalah haram.
2.
Zaman Sahabat
Sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta
membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua
keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi
yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
Atsar (pernyataan) sahabat yang dapat
dikatagorikan jawami’ al-kalim dan qawaid fiqhiyyah diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Pernyataan
Umar bin Khatab ra (w.23 H) yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (w. 256 H) dalam
kitabnya Shahih al-Bukhari: مقاطع
الحقوق عند الشروط (penerimaan hak berdasarkan kepada
syarat-syarat).
2. pernyataan
Ali bin Abi Thalib ra (w. 40 H) yang diriwayatkan oleh Abd al-Razaq (w.211 H) :من قاسم الزبح فلا ضمان عليه (orang yang membagi
keuntungan tidak harus menanggung kerugian).
Atsar Umar bin Khatab ra di atas menjadi kaidah dalam masalah
syarat. Atsar Ali bin Abi Thalib menjadi kaidah yang subur dalam bidang
persoalan harta benda, seperti mudharabah dan syirkah.
3.
Zaman
Tabi’in dan Tabi’ tabi’in selama 250 tahun.
Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi
tabi’in:
Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182)
Karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang
disusun adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris
diserahkan ke Bait al- mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal
sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan
(tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Ulama berikutnya yang mengembangkan fikih Imam Asy-Syafi’i,
·
pada
fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya,
yaitu
”Sesuatu yang dibolehkan dalam
keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
Pernyataan Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm,
diantaranya الأعظم اذا سقط
عن الناس سقط ما هو أصغر منه (apabila yang besar
gugur, yang kecilpun gugur).[1]
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H),
Diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal yang abu Daud dalam kitabnya al-Masail, yaitu :
كل ما جاز فيه البيع تجوز فيه الهبة والصدقة والرهن
”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk
dihibahkan dan digadaikan”
Ulama berikutnya ialah Muhammad bin al-Hasan
al-Syaibani (w.189 H),
Ia mengemukakan apabila seseorang mempunyai
wudhu, kemudian timbul keraguan dalam hatinya, apakah ia sudah hadats (batal)
atau belum, dan keraguan ini lebih besar dalam pikirannya; lebih baik ia
mengulangi waudhunya. Apabila ia tidak mengulangi wudhu dan sholat beserta
keraguaannya itu, menurut kami boleh, karena ia masih mempunyai wudhu sehingga
ia yakin bahwa ia telah hadats (batal). Apabila seorang muslim terpercaya atau
muslimah yang terpercaya, merdeka maupun tidak, memberi tahu bahwa ia telah
hadats (batal), tidur terlentang, atau pingsang;ia tidak boleh melaksanakan
shalat (sebelum mangulangi wudhu). Pernyataan al-Syaibani tersebut di atas
seperti kaidah: اليقين
لا يزول بالشك (keyakinan tidak dapat
menghilangkan keraguan)
·
Fase Perkembangan dan Kodifikasi
Awal mula qawaid fiqhiyah menjadi disiplin
ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad ke 4 H dan terus berlanjut pada
masa setelahnya. Hal ini terjadi ketika kecenderungan taqlid mulai tampak dan
semangat ijtihad telah melemah karena saat itu fiqh mengalami kemajuan yang
sangat pesat. Hal ini berimbas terhadap terkotak-kotaknya fiqh dalam madzhab.
Dan ulama pada saat itu merasa puas dengan perkembangan yang telah dicapai oleh
fiqh pada saat itu. Pembukuan fiqh dengan mencantumkan dalil beserta
perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi diantara madzhab sepertinya telah
memuaskan mereka, sehingga tidak ada pilihan lain bagi generasi setelahnya
kecuali merujuk pada pendapat-pendapat madzhab itu dalam memutuskan dan
menjawab persoalan-persoalan baru.
Ketika hukum furu’ dan fatwa para ulama
semakin berkembang seiring dengan semakin banyaknya persoalan, para ulama
mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah dan dhabit yang dapat memelihara hukum
furu’ dan fatwa para ulama tersebut dari kesemerawutan. Hal inilah yang dilakukan oleh Abu Hasan al-Karkhi (w.340 H) dalam
risalahnya (ushul al-Karkhi). Dan Abu Zaid al-Dabbusi (w.430 H) dalam kitabnya
Ta’sis al-Nadhar dengan memakai istilah ushul. Apabila ushul tersebut mencakup
berbagai masalah fiqh, maka disebut kaidah, sedangkan kalau hanya mencakup satu
masalah fiqh , disebut dhabit.
Menurut DR. An Nadwi bahwa golongan Hanafiah
merupakan yang pertama kali mempelajari kaidah fiqhiyah. Beberapa
informasi yang menyatakan hal tersebut termaktub dalam beberapa literatur
diantaranya, Alaby (761 H), As Suyuthi (911 H) dan Ibnu Najm (970
H) dalam al qawaid menyatakan bahwa Imam Ad Dibas pada abad 4 Hijriyah
telah mengumpulkan beberapa kaidah-kaidah Mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah.
Imam Ad Dibas membaca kaidah-kaidah tersebut berulang kali setiap malam di
masjid yang kemudian Abu Said al Harawi Al Syafii menukil dari Ad Dibas
beberapa kaidah-kaidah tersebut.[2]
Imam al Karkhi (340 H) menyusun sebuah catatan
yang berisi 37 kaidah, kemudian dari golongan Hanafiyah muncul Imam al Khusyni
(361 H) dengan karyanya ushul al fataya. Dan setelah itu muncul Abi
Laits Al Samarqandi (373 H) dengan karyanya ta’sis al nadhri yang
identik dengan karya Abi Zaid Ad Dibasi (430 H) dengan sedikit perbedaan.
Bisa dikatakan bahwa abad 4 H merupakan fase
kedua dari kemunculan kaidah fiqhiyah[3]
dengan asumsi pada abad inilah ditemukannya kaidah fiqhiyah sebagai
sebuah disiplin ilmu.
Pada abad ke-7 H qawaid fiqhiyah mengalami
perkembangan yang sangat signifikan walaupun terlalu dini untuk dikatakan
matang. Di antara ulama yang menulis kitab qawaid pada abad ini adalah
al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613 H). Ia menulis
kitab dengan judul “al-Qawaid fi Furu’I al- Syafi’iyah”. Kemudian al-Imam
Izzudin Abd al-Salam (w. 660 H) menulis kitab “Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam”
yang sempat menjadi kitab terkenal. Dari kalangan madzhab Maliki Muhammad bin
Abdullah bi Rasyid al-bakri al-Qafshi (685 H) menulis “al-Mudzhb fi Qawaid
al-Madzhab” dan masih banyak lagi. Karya-karya ini menunjukan bahwa qawaid
fiqhiyah mengalami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H. Qawaid fiqhiyah
pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikit mulai meluas.
Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyah
mengalami masa keemasan, ditandai dengan banyak bermunculannya kitab-kitab
Qawaid fiqhiyah.[4] Perkembangan ini terbatas hanya pada
penyempurnaan hasil karya para ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama
Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat misalnya pada
kitab Ibnu al-Mulaqqin dan Taqiyuddin al-Hishni.
Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Diantara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:
Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Diantara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:
1. Al-Asyabah wa
an-Nadhair karya Ibnu al-Wakil al-Syafi’I (w.716 H)
2. Kitab
al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)
3. Al-Majmu’
al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I (w.761 H)
4. Dll
Karya-karya besar yang mengkaji qawaid
fiqhiyah yang disusun pada abad IX H banyak mengikuti metode karya-karya abad
sebelumnya. Di antara karya-karya tersebut adalah:
1. Kitab
al-Qawa’id karya Ibnu al-Mulaqqin (w. 840 H)
2. Asnal
Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad bin Muhammad al-Zubairi (w. 808 H)
3. Kitab
al-Qawa’id karya Taqiyuddin al-Hishni (w. 829 H)
4. Dll
Dengan demikian, ilmu qawaid fiqhiyah
berkembang secara berangsur-angsur.
Pada abad X H, pengkodifikasian qawaid fiqhiyah semakin berkembang.
Imam al-Suyuti (w. 911 H) telah berusaha mengumpulkan qaidah fiqhiyah yang
paling penting dari karya al-‘Alai, al-subaki dan al-zarkasyi. Ia mengumpulkan
kaidah-kaidah tersebut dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nadhai. Kitab-kitab karya
ketiga tokoh ulama tersebut masih mencakup qawaid ushuliyah dan qawaid
fiqhiyah, kecuali kitab karya al-Zarkasyi.
Pada abad XI dan XII H, ilmu qawaid fiqhiyyah terus berkembang. Dengan demikian, fase kedua dari ilmu qawaid fiqhiyah adalah fase perkembangan dan pembukuan. Fase ini ditandai dengan munculnya al-Karkhi dan al-Dabbusi. Para ulama yang hidup dalam rentang waktu ini (abad IV-XII) hampir dapat menyempurnakan ilmu qawaid fiqhiyah.
Pada abad XI dan XII H, ilmu qawaid fiqhiyyah terus berkembang. Dengan demikian, fase kedua dari ilmu qawaid fiqhiyah adalah fase perkembangan dan pembukuan. Fase ini ditandai dengan munculnya al-Karkhi dan al-Dabbusi. Para ulama yang hidup dalam rentang waktu ini (abad IV-XII) hampir dapat menyempurnakan ilmu qawaid fiqhiyah.
3. Fase Kematangan dan Penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh,
meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh
pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H
adalah
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali
ada izin dari pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi
idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa
izin.
Pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah mencapai
puncaknya ketika disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh komite (lajnah)
Fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Azis Khan al-Utsmani (1861-1876 M) pada
akhir abad XIII H. Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan
lembaga-lembaga peradilan pada masa itu.
Kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah, yang
ditulis dan dibukukan setelah diadakan pengumpulan dan penyeleksian terhadap
kitab-kitab fiqh, adalah suatu prestasi yang gemilnag dan merupakan indikasi
pada kebangkitan fiqh pada waktu itu. Para tim penyusun kitab itu sebelumnya
telah mengadakan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, lalu mengkonstruknya
dalam bahasa undang-undang yang lebih bagus dari sebelumya. Kitab Majalllat al-Ahkam al-‘Adliyyah inilah yang menyebabkan
qaidah fiqh semakin tersebar luas dan menduduki posisi yang sangat penting
dalam proses penalaran hokum fiqh.
Kitab-Kitab Qawaid Fiqhiyah
Berikut karya-karya dalm bidang qawaid
fiqhiyah:
1. Sumber-sumber kaidah fiqhiyah mazhab hanafi
a. Ushul al Karkhi (261-340 H) di syarahi oleh Najmuddin an
Nasfi (537 H)
b. Abi zaid Ad Dabusi (430 H), terdapat 86 kaidah
di dalamnya.
c. Asbah wa Nazhair, karya Ibnu Najim (970 H) karya ini kemudian
mendapat tanggapan luar biasa dengan setidaknya memunculkan 5 karya yang
berkaitan dengan karya ini.
d. Muhammad Mustofa al Khadimi (1176 H)
2. Sumber-sumber kaidah fiqhiyah mazhab maliki
a. Ushulul fataya karya Muhammad bin Harits bin asan Al Khosyni
(361 H)
b. Al Farq karya Al Qarafi (684 H), memuat 548 kaidah fikih.
c. Al Qawaid karya Muhammad Al Muqorry (758 H), memuat 758 kaidah fikih.
d. Idhoh al masalik ila qawaid imam malik karya Ahmad bin Yahya alwansarisyi (914 H), memuat 118 kaidah fikih.
3. Sumber-sumber kaidah fiqhiyah mazhab syafii
a. Qawaid al ahkam fi mashalih al anam karya Izzudin bin Abdi salam (660 H)
b. Asbah wa nadhair karya Ibnu Wakil As Syafii (716 H)
c. Asbah wa nadhair karya Ibnu Wakl (716 H)
d. Al Majmu’ fi qawaid al mazhab karya kholil al ‘Alaby (671 H)
e. Asbah wa nadhair karya Ibnu subki (771 H)
f. Al mantsur fi tartibi al qawaid al fiqhiyah karya al Zarkasyi (794 H)
g. Asbah wa nadhair karya ibnu Mulqon (804 H)
h. Al Qawaid karya Abi Bakar al hashani (729 H)
i. Asbah wa nadhair karya Al suyuthi (911 H), memuat 20 kaidah.
j. Al Istighna karya Sulaiman Al Bakary (1411 H)
4. Sumber-sumber kaidah fiqhiyah mazhab hambali
a. Al Qawaid Al Nuraniyah Al fiqhiyah karya Ibn Taimiyah (728 H)
b. Al Qawaid Al Fiqhiyah karya Ahmad Ibn Hasan (771 H)
c. Taqrir al Qawaid wa Tahrir al Fawaid Ibn Rajb (795 H) yang terkandung di dalamnya
160 kaidah fiqhiyah.
d. Al Qawaid al Kulliyah wa al Dhawabith al Fiqhiyah karya
Yusuf Ibn Hasan (909 H)
e. Qawaid majallat al ahkam al syariyah ala
mazhab imam ahmad ibn hanbal karya Ahmad Ibn Abdullah Al Hanafi (1359 H)
5. Pada masa sekarang banyak kitab-kitab kaidah
yang ditulis, seperti :
a. Al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Ali Ahmad al-Nadwi.
b. Syarh al-Qawa’id al-fiqhiyah oleh Syekh Ahmad bin Syekh Muhammad Zarqa.
c. Al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kuliyyah oleh Muh. Shiddieqy bin Ahmad al-Burnu.
d. Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Syekh Abdullah bin Said Muhammad Ibadi.
e. Kaidah-kaidah Fikih oleh Asymuni A Rahman (dalam Bahasa
Indonesia).
f. Kaidah Fikih oleh Jaih Mubarok (dalam Bahasa Indonesia).
Metodologi Penyusunan Qawaid Fiqhiyah
Metodologi ulama dalam penyusunan qawaid
fiqhiyah dalam penyusunan kaidah fiqhiyah ulama tidak hanya berdasarkan atas
satu metodologi saja. Terdapat bermacam-macam metodologi penyusunan kaidah
fiqhiyah, diantaranya :
1. Penyusunan sesuai dengan huruf hijaiyah
2. Penyusunan sesuai dengan subyek pembahasannya
3. Penyusunan sesuai dengan bab dalam fiqh
4. Mengumpulkan kaidah-kaidah tidak secara urut
Metodologi ulama dalam hubungan antara kaidah
fiqhiyah dengan yang ilmu yang lain :
1. Mengumpulkan kaidah
fiqhiyah dengan kaidah-kaidh yang lainya
2. Mengumpulkan kaidah
fiqhiyah dengan subyek pembahasan fiqhiyah yang lain.
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Sejarah perkembangan qawaid fiqhiyyah menurut
Ali Ahmad al-Nadawi dapat dibagi ke dalam tiga fase, yaitu:
1. Fase
pertumbuhan dan pembentukan
2. Fase
perkembangan dan kodifikasi
3. Fase
kematangan dan penyempurnaan
Dari ketiga fase tersebut, dapat kita ketahui
bahwa:
1. Kaidah-kaidah yang terdapat dalam
lembaran-lembara kitab fiqh yang ditulis oleh para pendiri dan pemuka madzhab
seluruhnya bukan berupa kaidah umum, namun masih dalam bentuk qa’idah madzhab.
Dalam artian, kaidah itu hanya sesuai pada suatu maszhab tertentu tidak pada
madzhab lain.
2. Sebagian besar kaidah yang dibukukan pada
abad-abad belakang atau sekarang, ternyata telah dikemukakan oleh para ulama
sebelumnya dengan redaksi yang berbeda. Misalnya dalam Majallat al-Ahkam
al-‘Adliyyah ada kaidahالاقرار
حجة قاصرة (pengakuan adalah
hujjah yang terbatas). Dengan redaksi yang berbeda, kaidah ini telah dkemukakan
al-Karkhi dalam kitabnya Risalah al-Karkhi (ushul al-karkhi) sebagai berikut: ان المرء يعامل فى حق نفسه كما اقربه ولا يصدق على ابطال حق الغير ولا
بالزام الغير حقا(orang menggunkan hak pribadi sesuai
dengan pengakuannya. Ia tidak dapat
membatalkan hak orang lain atau menetapkan hak kepadanya).
3. Qawaid fiqhiyyah terbentuk menjadi
sebuah disiplin ilmu tersendiri secara berangsur-angsur. Di samping itu dalam
pembuatannya pun para fuqaha membentuknya secara bertahap. Pada awalnya, hanya
berupa pemikiran tentang suatu persoalan, kemudian
setelah pemikiran tersebut mantap, baru mereka bentuk menjadi sebuah kaidah.