Peran kurikulum dan guru dalam meningkatkan proses pembelajaran Artikel
Februari 01, 2017
PERAN KURIKULUM DAN GURU DALAM MENINGKATAKAN PROSES PEMBELAJARAN
Oleh: Siti Nurhayati Ningsih
Abstrak: Ketika ilmu pengetahuan masih terbatas, ketika
penemuan hasil-hasil teknologi belum berkembang hebat seperti sekarang ini,
maka peran utama guru disekolah adalah penyampain ilmu pengetahuan sebagai
warisan kebudayaan masa lalu yang dianggap berguna sehingga harus dilestarikan.
Dalam kondisi demikian guru berperan sebagai sumber belajar (learning
resources) bagi siswa. Siswa akan belajar apa yang keluar dari mulut guru.
Oleh karena itu, ada pepatah mengatakan “Bagaimanapun Pintarnya Siswa,Maka
Tidak Mungkin Dapat Mengalahkan Pintarnya Guru”. namun demikian dalam
proses pembelajaran mempunyai peran yang sangat penting. Bagaimanapun hebatnya
kemajuan teknologi, peran guru akan tetap diperluakan sebagai educator, manajer, administrator, Supervisor, Leader,
Inovator, Motivator, Dinamisator, Evaluator, dan Facilitator. Dalam konteks pembelajaran, sam sekali tidak berarti
memperbesar peranan siswa disatu pihak dan memperkecil peranan guru dipihak
yang lain. Dalam istilah pembelajaran, guru tetap harus berperan secara
optiamal demikian halnya dengan siswa.
Kata kunci: Kurikulum, Guru,
Proses Pembelajaran
Pendahuluan
Pendidikan merupakan hal yang sangat mendasar
(central basic) yang dapat membawa
perubahan terhadap manusia. Perubahan tersebut sifatnya bertahap dan memerlukan
waktu yang cukup lama. Telah banyak perkembangan dan kemajuan di segala bidang
yang disebabkan oleh adanya pendidikan. Dengan demikian adanya pendidikan dapat
mengubah suatu keadaan (Negara, Bangsa bahkan Perorangan) menjadi kondisi
kehidupan yang lebih baik. Melalui pendidikan manusia memperoleh berbagai ilmu
pengetahuan, sikap dan keterampilan, sehingga dapat dikembangkan di lingkungan
masyarakat untuk kepentingan masyarakat itu sendiri termasuk juga kepentingan
dirinya sendiri. Mengingat begitu pentingnya pendidikan, maka sudah sepatutnya
apabila berbagai lembaga pendidikan dari waktu ke waktu senantiasa meningkatkan
peranannya, termasuk dalam peningkatan mutu pembelajarannya. Upaya peningkatan
mutu pembelajaran di setiap jenjang dan satuan pendidikan pada saat ini
terus-menerus diupayakan.
Peran kurikulum, dan fungsi kurikulum
Kurikulum dipersiapkan dan dikembangkan
untuk mencapai tujuan pendidikan, yakni mempersiapkan peserta didik agar mereka
dapat hidup dimasyarakat. Dengan demikian, dalam sistem pendidikan kurikulum
merupakan komponen yang sangat penting, sebab didalamnya bukan hanya menyangkut
tujuan dan arah pendidikan saja akan tetapi juga pengalaman belajar yang harus
dimiliki oleh setiap siswa serta bagaimana mengorganisasi pengalaman itu
sendiri. Sebagai salah satu komponen
pendidikan, paling tidak kurikulum memiliki tiga peran, yaitu Peran Konservatif,
Peranan Kreatif, serta Peran Kritis dan Evaluatif (Hamalik, 1990).[1]
1.
Peranan Konservatif
Peran
konservatif adalah melestarikan berbagai nilai budaya sebagai warisan masa
lalu. dikaitkan dengan era globalisasi sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, yang memungkinkan mudahnya pengaruh budaya asing menggerogoti
budaya lokal, maka peran konservatif dalam kurikulum memiliki arti yang sangat
penting. Melalui peran koservatifnya, kurikulum berperan dalam menangkal
berbagai pengaruh yang dapat merusak nilai-nilai luhur masyarakat, sehingga
keajekan dan identits masyarakat akan tetap terpelihara dengan baik.
2.
Peranan
kretif
Sekolah
memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan hal-hal baru sesuai dengan tuntunan
zaman. Sebab, pada kenyataannya masyarakat tidak bersifat statis, akan tetapi dinamis yang
selalu mengalami perubahan. Dalam rangka inilah kurikulum memiliki peran
kreatif. Kurikulum harus mampu menjawab tantangan sesuai dengan perkembangan
dan kebutuhan masyarakat yang cepat berubah. Dalam peran kreatifnya, kurikulum
harus mengandung hal-hal baru sehingga dapat membantu siswa untuk mengembangkan
setiap potensi yang dimilikinya agar dapat berperan aktif dalam kehidupan
sosial masyarakat yang senantiasa bergerak maju secara dinamis.
3.
Peran Kritis dan
Evaluatif
kurikulum
berperan untuk menyeleksi nilai dan budaya mana yang perlu dipertahankan, dan
nilai atau budaya baru yang mana yang harus dimiliki anak didik. Dalam rangka
peran kritis dan evaluatif kurikulum sangat diperlukan. Kurikulum harus
berperan dalam menyeleksi dan mengevaluasi segala sesuatu yang dianggap bermanfaat
untuk kehidupan anak didik.[2]
Berkaitan
dengan fungsi kurikulum, Alexander Inglis (dalam Hamalik, 1990) mengemukakan
enam fungsi kurikulum untuk siswa:
1.
Fungsi Penyesuian
(The Adjustive or Adaptive Function)
Fungsi
Penyesuaian adalah kurikulum harus dapat mengantar siswa agar mampu menyesuaikan diri dalam kehidupan
sosial masyarakat. Kehidupan masyarakat tidak bersifat statis, akan tetapi
dinamis, artinya kehidupan masyarakat selalu berubah dan berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman. Oleh sebab itu, siswa harus dapat beradaptasi dalam
kehidupan masyarakat yang begitu cepat berubah itu.
2.
Fungsi Integrasi
(The Integrating Function)
Fungsi
Integrasi adalah kurikulum harus dapat mengembangkan pribadi siswa secara utuh.
Kemampuan kognitif, efektif, dan psikomotor harus berkembang secara terintegrasi.
Kurikulum bukan hanya diharapkan dapat mengembangkan kemampuan intelektual atau
kecerdasan saja, akan tetapi juga harus dapat membentuk sikap sesuai dengan nilai
yang berlaku di masyarakat, serta dapat memberikan keterampilan untuk dapat
hidup di lingkungan masyarakat.
3.
Fungsi Diferensiasi
(The Differentiating Function)
Fungsi
Diferensiasi adalah kurikulum harus dapat melayani setiap siswa dengan segala
keunikannya. Sebab, siswa adalah organisme yang unik, yakni memiliki
perbedaan-perbedaan, baik perbedaan minat, bakat, maupun perbedaan kemampuan.
4.
Fungsi
persiapan (The Preparation Function)
Fungsi
Persiapan mengandung makna, bahwa kurikulum harus dapat memberikan pengalaman
belajar bagi anak baik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi, maupun untuk kehidupan dimasyarakat. Bagi siswa yang memiliki potensi
untuk belajar pada jenjang yang lebih tinggi, maka kurikulum harus membekali
mereka dengan berbagai pengetahuan yang diperlukan agar mereka mengikuti
pelajaran pada level pendidikan di atasnya; namun bukan itu saja, kurikulum
juga harus membekali mereka agar dapat belajar dimasyarakat, bagi mereka yang
tidak memiliki potensi untuk melanjutkan
pendidikannya.
5.
Fungsi Pemilihan
(The Selective Functionic Function)
Fungsi
Pemilihan adalah fungsi kurikulum yang dapat memberikan kesempatan kepada
setiap siswa untuk belajar sesuai dengan bakat dan minatnya. Kurikulum harus
bersifat fleksibel, artinya menyediakan berbagai pilihan program pendidikan
yang dapat dipelajari.
6.
Fungsi Diagnostik
(The Diagnot)
Fungsi
Diagnostik, adalah fungsi untuk mengenal berbagai kelemahan dan kekuata siswa.
Melalui fungsi ini kurikulum berperan untuk menemukan kesulitan-kesulitan dan
kelemahan yang dimiliki siswa, disamping mengeksplorasi berbagai
kekuatan-kekuatan sehingga melalui pengenalan itu siswa dapat berkembang sesuai
dengan potensi yang dimilikinya.[3]
Peran dan Fungsi
Guru
Sehubungan dengan peran dan fungsi guru
dalam pembelajaran, maka diperlukan adanya usaha dari guru untuk mengoptimalkan
peran dan fungsinya tersebut. Peranan guru tersebut akan senantiasa
menggambarkan pola tingkah laku yang diharapkan dalam berbagai interaksinya,
baik dengan siswa, sesama guru maupun dengan staf sekolah atau bahkan dengan
kepala sekolah. Dalam proses pengembangan kurikulum peran guru lebih banyak
dalam tataran kelas. Murry Printr (1993) mencatat peran guru dalam level ini
adalah sebagai:
Pertama, sebagai
Implenter, guru berperan untuk mengaplikasikan kurikulum yang sudah ada.
Dalam melaksanakan perannya guru hanya menerima berbagai kebijakan perumus
kurikulum. Guru tidak memiliki ruang baik untuk menentukan isi kurikulum maupun
menentukan target kurikulum. Pada fase sebagai implementor kurikulum, peran
guru dalam mengembangkan kurikulum sebatas hanya menjalankan kurikulum yang
sudah disusun.
Kedua, sebagai
Adapters, lebih hanya sebagai pelaksanaan kurikulum, akan tetapi sebagai
penyelaras kurikulum denga karakteristik dan kebutuhan daerah dalam fase ini
guru diberi kewenangan untuk menyesuaikan kurikulum yang sudah ada dengan
karakteristik sekolah dan kebutuhan
lokal.
Ketiga, peran
sebagai pengembangan kurikulum, guru memiliki kewenangan dalam mendisain sebuah
kurikulum. Guru bukan saja dapat menentukan tujuan dan isi pelajaran yang akan
disampaikan, akan tetapi juga dapat menetukan strategi apa yang harus
dikembangkan serta bagaimana cara mengukurnya.
Keempat, sebagai
fase terakhir adalah peran guru sebagai peneliti kurikulum (curiculum
researcher). Peran ini dilaksanakan sebagai bagian dari tugas guru
profesional guru yag memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan kinerjanya
sebagai guru.[4]
Dari sisi lain, guru sering dicitrakan
memiliki peran ganda dikenal sebagai EMASLIMDES (Educator, Manajer, Administrator,
Supervisor, Leader, Inovator, Motivator, Dinamisator, Evaluator, dan Facilitator).
EMASLIMDES lebih merupakan peran kepala sekolah, tetapi dalam skala mikro
dikelas, peran itu juga harus dimiliki oleh para guru.
Sebagai Educator merupakan peran
yang pertama dan utama khususnya untuk peserta didik pada jenjang pendidikan
dasar (SD dan SMP). Peran ini lebih tampak sebagai teladan bagi peserta didik
sebagai role model, memberikan contoh dalam sikap dan prilaku membentuk
kepribadian peserta didik.
Sebagai Manajer, pendidik
memiliki peran untuk menegakkan ketentuan dan tata tertib yang telah disepakati
bersama disekolah memberikan arahan atau rambu-rambu ketentuan agar tata tertib
disekolah dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh seluruh warga sekolah.
Sebagai Administrator, guru
memiliki peran untuk melaksanakan Administrasi sekolah, seperti buku presensi
siswa, buku daftar nilai, buku rapor, administrasi kurikulum, dan administrasi
penilaian.
Sebagai Supervisor terkait dengan pemberian bimbingan dan
pengawasan kepada peserta didik, memahami permasalahan yang dihadapi peserta
didik, menemukan permasalahan yang terkait dengan proses pembelajaran, dan
akhirnya memberikan jalan keluar atau solusi pemecahan masalah.
Peran sebagai Leader bagi guru
lebih tepat dibandingkan dengan peran sebagai menajer, karena menajer bersifat
kaku terhadap ketentuan yang ada. Dan aspek penegakan disiplin, sebagai misal, guru
menekankan disiplin mati. Sementara sebagai leader lebih memberikan kebebasan
secar bertanggung jawab kepada peserta didik. Dengan demikian, disiplin yang
ditegakkan oleh guru dari pern sebagai leader ini adalah disiplin hidup.
Peran sebagai Inovator, seorang
guru harus memiliki kemauan belajar yang cukup tinggi untuk menambah
pengetahuan dan keterampilannya sebagai guru. Tanapa adanya semangat belajar
yang tinggi, mustahil guru dapat meghasilkan inovasi-inovasi yang bermanfaat
untuk meningkatkan mutu pembelajaran disekolah.[5]
Adapun peran sebagai Motivator,
dalam proses pembelajaran, motivasi merupakan salah satu aspek dinamis yang
sangat penting. Sering terjadi siswa kurang berpartisipasi bukan disebabkan
oleh kemampuannya yang kurang, tetapi dikarenakan tidak adanya motivasi untuk
belajar sehingga ia tidak berusaha untuk mengarahkan kemampuannya. Dengan
demikian, bisa dikatakan siswa berprestasi rendah belum tentu disebabkan oleh
tidak adanya dorongan atau motivasi. Motivasi sangat erat hubungannya dengan
kebutuhan, sebab motivasi muncul karena kebutuhan. Seseorang akan terdorong
untuk bertindak manakala dalam dirinya ada kebutuhan.[6]
Sebagai fasilitator, guru berperan
dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses
belajar. Sebelum proses belajar dimulai guru sering bertanya: bagaimana caranya
agar ia mudah menyajikan bahan pelajaran? Pertanyaan ini sekilas memang ada
benarnya. Oleh karenaitu pertanyaan itu akan lebih bagus jika diarahkan kepada
siswa.[7]
Kurikulum dan Guru dalam Proses Pembelajaran
Dalam konteks implementasi kurikulum
tingkat satuan pendidikan mengajar bukan sekedar menyampaikan materi pelajaran,
akan tetapi juga dimaknai sebagai proses mengatur lingkungan supaya siswa
belajar. Makna lain mengajar yang demikian sering diistilahkan dengan
pembelajaran. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam proses belajar mengajar siswa
dijadikan sebagai pusat dari kegiatan. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk
watak, peradaban, meningkatkan mutu kehidupan peserta didik.
Dalam implementasinya, walau istilah yang
digunakan “Pembelajaran”, tidak berarti guru harus menghilangkan perannya
sebagai pengajar, sebab secara konseptual pada dasarnya dalam istilah mengajar
itu juga bermakna membelajarkan siswa. Mengajar-belajar adalah dua istilah yang
memiliki satu makna yang tidak dapat dipisahkan. Mengajar adalah suatu aktivitas
yang dapat membuat siswa belajar. Dari uraian itu, maka jelas bahwa istilah “Pembelajaran”
(instruction) itu menunjukkan pada usaha siswa mempelajari bahan
pelajaran sebagai akibat perlakuan guru. Disini jelas, proses pembelajaran yang
dilakukan siswa tidak mungkin terjadi tanpa perlakuan guru, yang membedakannya
hanya terletak pada peranannya saja. Bruce Weil, (1980). Mengemukakan tiga
prinsip penting dalam proses pembelajaran semacam ini.
Pertama, proses
pembelajaran adalah membentuk kreasi lingkungan yang dapat membentuk atau
mengubah struktur kognitif siswa. Tujuan pengaturan ini dimaksudkan untuk menyediakan
pengalaman belajar yang memberikan latihan-latihan pengunaan fakta-fakta.
Kedua,
berhubungan tipe-tipe pengetahuan yang harus dipelajari. Ada tiga tipe yang
masing-masing memerlukan situasi yang berbeda dalam mempelajarinya. Pengetahuan
tersebut adalah pengetahuan fisis, sosial, logika.
Ketiga, dalam
proses pembelajaran harus melibatkan peran lingkungan sosial. Anak akan lebih
baik mempelajari pengetahuan logika dan sosial dari temannya sendiri. Melalui
pergaulan dan hubungan sosial, anak akan belajar lebih efektif dibandingkan
dengan belajar yang menjauhkan dari hubungan sosial. Oleh karena itu, melalui
hubungan sosial itulah anak berinteraksi dan berkomunikasi, berbagi penglaman
dan lain sebagainya, yang menentukan mereka berkembang secara wajar.
Dari uraian diatas, maka proses pembelajaran
harus diarahkan agar siswa mampu mengatasi setiap tantangan dan rintangan dalam
kehidupan yang cepat berubah, melaluai sejumlah kompetensi yang harus dimiliki,
yamg meliputi, kompetensi akademik, kompetensi kultural, dan kompetensi
temporal. Itulah sebabnya, makna belajar bukan hanya mendororng anak agar mampu
menguasai sejumlah materi pelajaran akan tetapi Bagaimana agar anak itu
memiliki sejumlah kompetensi untuk mampu mengahadapi rintangan yang muncul sesuai
dengan perubahan kehidupan masyarakat.[8]
Sesuai
dengan maknanya, maka terdapat sejumlah prinsip dalam mengajar sebagai
implementasi kurikulum, yakni:
1.
Berorientasi Pada
Tujuan
Dalam
sistem pembelajaran tujuan merupakan komponen yang utama. Segala aktivitas guru
dan siswa, mestilah diupayakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Ini
sangata penting, sebab mengajar adalah proses yang bertujuan. Oleh karenanya
keberhasilan suatu strategi pembelajaran dapat ditentukan dari keberhasilan siswa
mencapai tujuan pembelajaran.
2.
Aktivitas
Belajar
bukanalah menghafal sejumlah fakta atau informasi. Belajar adalah berbuat;
memperoleh pengalaman tertentu sesuai dengantujuan yang diharapkan. Oleh karena
itu, strategi pembelajaran harus dapat memdorong aktivitas siswa. Aktivitas
tidak dimaksudkan terbatas pada aktivitas fisik, akan tetapi juga meliputi
aktivitas yang bersifat psikis seperti aktifitas mental.
3.
Individualitas
Mengajar
adalah usaha mengembangkan setiap individu siswa. Walaupun kita mengajar pada
sekelompok siswa, namun pada hakikatnya yang ingin dicapai adalah perubahan
perilaku setiap siswa. Semakin tinggi standar keberhasilan ditentukan, maka
semakin berkualiatas proses pembelajaran.
4.
Integritas
Mengajar
harus dipandang sebagai usaha mengembangkan seluruh pribadi siswa. Mengajar
bukan hanya mengembangkan kemampuan kognitif saja, akan tetapi juga meliputi
pengembangan aspek afektif dan aspek psikomotor. Oleh karena itu, strategi
pembelajaran harus dapat mengembangkan seluruh aspek kepribadian siswa secara terintegrasi.
5.
Interaktif
Prinsip
interaktif mengandung makna, bahwa mengajar bukan hanya sekedar menyampaikan
pengetahuan dari guru ke siswa; akan tetapi mengajar di anggap sebagai proses
mengatur lingkungan yang dapat merangsang siswa untuk belajar. Dengan demikian,
proses pembelajaran adalah proses interaksi baik antara guru dan siswa, antara
siswa dan siswa; maupun antara siswa dan
lingkungannya. Melalui proses interaksi, memungkinkan kemapuan siswa akan berkembang
baik mental maupun intelektual.
6.
Inspiratif
Proses
pembelajaran adalah proses inspiratif, yang memungkinkan siswa mencoba dan
melakukan sesuatu. Berbagai informasi dan proses pemecahan masalah dalam
pembelajaran bukan haraga mati, yang bersifat mutlak, akan tetapi merupakan
hipotesis yang merangsang siswa untuk mencoba dan mengujinya. Oleh karena itu,
guru harus membuka kemungkinan yang dapat dikerjakan.
7.
Menyenangkan
Proses
pembelajaran yang menyenangkan dpat dilakukan pertama, dengan menata ruangan
yang apik dan menarik, yaitu memenuhi unsur kesehatan misalnya dengan
pengaturan cahaya, ventilasi, serta memenuhi unsur keindahan, misalnya cat
tembok yang segar dan bersih, bebas dari debu, lukisan dan karyakarya siswa
yang tertata rapi, vas bunga. Kedua, melalui pengolahan pembelajaran yang hidup
dan bervariasi, yakni belajar yang relevan serta gerakan-gerakan guru yang
mampu membangkitkan motivasi belajar siswa.
8.
Menantang
Proses
pembelajaran adalah proses yang menantang siswa untuk mengembangkan kemampuan
berfikir, yakni merangsang kerja otak secar maksimal. Kemampuan tersebut dapat
menumbuhkan dengan cara mengembangkan ras ingin tahu siswa melalui kegiatan
mencoba-coba, berfikir intuitif atau bereksplorasi.
9.
Motivasi
Motivasi
adalah aspek yang sangat penting untuk
mebelajarkan siswa. Tanapa adanya motivasi tidak mungkin siswa memiliki
kemampuan uantuk belajar. Oleh karena itu, membangkitka motivasi merupakan
salah satu peran dan tugas guru dalam proses pembelajaran.[9]
Penutup
Pendidikan merupakan
kebutuhan dasar bagi manusia untuk meningkatkan kualitas diri dan kemampuannya
agar berguna baik untuk kehidupannya sendiri maupun lingkungannya. Mengingat
guru sebagai figur yang secara langsung terlibat dalam pembelajaran di dalam
kelas. Peranan guru dalam meningkatkan pendidikan dapat diidentifikasi dari
perilaku guru sebagai Educator, Manajer, Administrator, Supervisor, Leader,
Inovator, Motivator, Dinamisator, Evaluator, dan Facilitator . Kesemua
peran tersebut membutuhkan lagi usaha yang lebih konkrit dan langsung menyentuh
terhadap kebutuhan peserta didik agar pembelajaran lebih baik. Jadi peranan guru
senantiasa menggambarkan pola tingkah laku yang diharapkan dalam interaksinya
dengan anak didik dan dengan lingkungan sekitar.[10]
Selain dari itu guru berperan untuk
mengaplikasikan kurikulum yang sudah ada. Dalam melaksanakan perannya guru
hanya menerima berbagai kebijakan perumus kurikulum. Guru tidak memiliki ruang
baik untuk menentukan isi kurikulum maupun menentukan target kurikulum. Pada
fase sebagai implementor kurikulum, peran guru dalam mengembangkan kurikulum
sebatas hanya menjalankan kurikulum yang sudah disusun.
Daftar
Pustaka
Wina Sanjaya, Kurikulum
Dan pembelajaran, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
Mohammad Kosim, Pengantar
Ilmu Pendidikan
Suprlan,
Guru Sebagai Profesi, Yokyakarta: Hikayat Publishing, 2006.
Wina
Sanjaya, Strategi Pembelajaran, Jakarata: Kencana Prenada Media, 2006
[1] Wina Sanjaya, Kurikulum Dan
pembelajaran,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Hlm:10
[2] Ibid. Hlm:10-11
[3] Ibid. Hlm:14-16
[4] Ibid. Hlm:28-39
[5] Suprlan, Guru Sebagai Profesi,(Yokyakarta:
Hikayat Publishing, 2006). Hlm: 34-35
[6] Wina Sanjaya, Strategi
Pembelajaran, (Jakarata: Kencana Prenada Media, 2006) . Hlm: 27
[7] Ibid. Hlm:21
[8] Wina Sanjaya, Kurikulum Dan
pembelajaran, hlm: 215-219
[9] Ibid. Hlm: 224-228
[10] Mohammad kosim, pengantar
ilmu pendidikan. Hlm:66