Sejarah Demokrasi di Indonesia dan Keterkaitan Demokrasi dengan Islam
Desember 04, 2016
DEMOKRASI II
A.
Sejarah
Demokrasi di Indonesia
Demokrasi lahir melalui proses yang
sangat panjang. Demokrasi pada hakikatnya lahir karena dilatarbelakangi oleh
beberapa hal sebagai berikut[1]:
1.
Penindasan dan
eksploitasi terhadap rakyat, terutama eksploitasi tenaga dan pikiran rakyat,
sehingga rakyat hanya punya kewajiban tanpa hak. Sebaliknya penguasa atau
pemerintah tampak seolah-olah hanya punya hak tanpa kewajiban.
2.
Kondisi
kehidupan seperti yang tercantum pada poin
pertama akan selalu mengakibatkan konflik dengan korban yang lebih banyak di
pihak rakyat.
3.
Kesejahteraan
yang bertumpu pada para penguasa, sedangkan rakyat dibiarkan hidup melarat
tanpa jaminan masa depan.
Kondisi di atas menempatkan rakyat
sebagai objek penindasan oleh penguasa. Lama kelamaan rakyat yang tertekan
ingin adanya perubahan sehingga mengadakan pemberontakan untuk menggulingkan
kekejaman dari penguasa. Setelah itu, rakyat menciptakan suatu bentuk
pemerintahan yang langsung diawasi oleh rakyat. Inilah cikal bakal pemerintahan
demokrasi yang kemudian berkembang hingga saat ini.[2]
Jika diurutkan secara lebih rinci, pertumbuhan dan perkembangan
demokrasi dapat diurutkan sebagai berikut[3]:
1.
Demokrasi masa
Yunani Kuno
Konsep
demokrasi lahir di Yunani kuno dan dipraktikkan dalam hidup bernegara antara
abad IV sebelum Masehi hingga abad VI Masehi. Demokrasi yang dipraktikkan pada
saat itu adalah demokrasi langsung, artinya hak rakyat untuk membuat keputusan
politik dijalankan oleh seluruh rakyat atau warga negara (yang berjumlah kurang
lebih 300.000 orang). Demokrasi dapat dilaksanakan pada waktu itu karena
alasan:
a)
Berlangsung
dengan kondisi yang sederhana.
b)
Wilayahnya
terbatas.
c)
Jumlah
penduduknya sedikit.
2.
Demokrasi pada
Abad Pertengahan
Gagasan
demokrasi Yunani Kuno boleh dikatakan berakhir ketika bangsa Romawi dikalahkan
oleh suku Eropa Barat dan Benua Eropa pada Abad Pertengahan (abad VI Masehi
sampai abad XII Masehi yang disebut dengan Abad Kegelapan), yang dicirikan dengan:
a)
Struktur
masyarakatnya yang feodal.
b)
Kehidupan
spiritual dikuasai oleh Paus dan pejabat agama.
c)
Kehidupan
politik ditandai oleh perebutan kekuasaan diantara para bangsawan. Dengan
demikian, kehidupan sosial, politik dan agam ditentukan oleh elit-elit
masyarakat (kaum bangsawan dan agamawan).
Selama
abad pertengahan, perbedaan pendapat diantara kalangan gereja dan ilmuan sering
menimbulkan pertentangan yang tak terselesaikan. Misalnya, ketika pihak greja
berpegang pada pendapat, bahwa dunialah yang dikitari matahari (geocentrism)
dengan berbagai alasan yang didasarkan pada keimanan Nicholaus Copernicus
(1473-1543), seorang astronom dari Polandia, melalui observasi empirik dan
perhitungan matematik yang cermat sampai pada kesimpulan yang menyatakan, bahwa
matahari merupakan pusat yang dikitari oleh benda-benda angkasa lainnya (heleocentrism).
Sementara gereja berpegang pada geosentrisme sebagai ajaran resmi, maka
heleosentrisme dianggap merupakan penyimpangan dan penganutnya bisa dikenai
hukuman ekskomunikasi. Seorang pendeta Dominikan yang menganut pandangan
Copernicus, Gioroano Bruno (1548-1600), dijatuhi hukuman bakar pada tiang
pancang. Nasib yang sama dialami oleh filsuf Italia, Lucilio Vanini
(1585-1619).
3.
Perkembangan
Demokrasi di Prancis
Di
Prancis, perkembangan demokrasi dimulai pada awal abad XII Masehi dengan
bermunculan pusat-pusat belajar yang bisa dianggap sebagai cikal bakal
perguruan tinggi. Mereka ini kemudian membentuk sebuah penghimpunan yang
disebut universitas magistrorum et schofarum.penghimpunan ini sangat
penting artinya dalam sejarah pendidikan tinggi karena berhasil mendapat
pengukuhan statusnya yang otonom berdasarkan dekrit pimpinan tertinggi gereja.
4.
Perkembangan
Demokrasi Melalui Magna Charta tahun 1215 di Inggris
Selanjutnya,
tonggaak baru kemunculan demokrasi ditandai dengan kelahiran HAM melalui Magna
Charta pada abad XII Masehi di Inggris. Magna Charta merupakan piagam yang
berisi perjanjian antara beberapa bangsawan dan Raja Jhon di Inggris yang
intinya menyatakan, bahwa raja mengakui dan menjamin beberapa hak. Hal ini
terjadi akibat kecaman terhadap monarkhi dan gereja yang pada masa itu masih
sangat dominan. Dari sini timbul gagasan membatasi kekuasaan pemerintah dan
menjamin hak-hak politik rakyat sehingga kekuasaan pemerintah diimbangi
kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum (sistem konstitusional).
5.
Demokrasi pada
Masa Renaissance
Renaissance
merupakan gerakan menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno
yang merupakan gelombang-gelombang kebudayaan dan pemikiran yang dimulai di
Italia pada abad XIII Masehi dan mencapai puncaknya pada abad XVI Masehi. Masa
Renaissance adalah masa dimana orang mematahkan ikatan dan menggantinya dengan
kebebasan bertindak yang sesuai dengan yang dipikirkan (kebebasan berpikir dan
bertindak).
6.
Reformasi
Gereja
Reformasi
gereja merupakan gerakan revolusi agama yang terjadi di Eropa pada abad XVI
Masehi yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan dalam gereja Katolik yang
hasilnya adalah Protestanisme (ajaran dari Martin Luther yang hidup pada tahun
1483-1546). Reformasi dimulai pada pintu gereja Wittenberg (31 Oktober 1517),
yang kemudian segera memancing terjadinya serangan terhadap gereja. Martin
Luther memiliki keyakinan bahwa gereja telah keliru dalam beberapa kebenaran
sentral dari ke-Kristenan yang diajarkan dalam Kitab Suci. Salah satunya adalah
doktrin tentang pembenaran oleh iman semata. Martin Luther mulai mengajarkan,
bahwa keselamatan sepenuhnya adalah pemberian dari anugerah Allah melalui
Kristus yang diterima oleh iman. Intinya, seruan Martin Luther kepada gereja
agar kembali kepada ajaran-ajaran Alkitab telah melahirkan tradisi baru dalam
agama kristen. Gerakan pembaruannya juga mengakibatkan perubahan radikal di
lingkungan gereja katolik roma dalam bentuk reformasi katolik. Ajaran Martin
Luther disambut dimana-mana dan menyulut api pemberontakan di jerman dan
sekitarnya.sengketa dengan gereja berjalan lama dan menyulut perang besar
selama kurang lebih sepuluh tahun (1618-1648), dan berakhir dengan terjadinya
perjanjian Wespalia.
Perjanjian
Wespalia ini ditandatangani di Westphalen, Jerman. Perjanjian tersebut dapat
dikatakan telah mensahkan suatu sistem negara bangsa karena telah mengakui
bahwa gereja dan kerajaan-kerajaan tidak dapat lagi memaksakan kehendaknya
kepada negara-negara bagiannya atau wilayahnya. Bahkan dalam perjanjian ini,
pimpinan tertinggi gereja – Paus – dibatasi kekuasaannya.
Perjanjian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam
sejarah hukum Internasional modern. Sebabnya adalah:
a)
Mengakhiri
perang panjang di Eropa yang melibatkan kaum Katolik dan Protestan yang dimulai
pada tahun 1618 hingga tahun 1648.
b)
Hubungan antara
negara-negara di dunia di lepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan
didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing.
c)
Kemerdekaan
negara Nederland (Belanda), Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui
dalam perjanjian Westphalia.
Dua
kejadian terakhir (renaissance dan reformasi gereja) mempersiapkan Eropa masuk
pada Aufkalrung(abad pemikiran) dan rasionalisme yang mendorong mereka
untuk memerdekakan pikiran dari batas-batas yang ditentukan gereja untuk
mendasarkan pada pemikiran atau akal (rasio) yang selanjutnya melahirkan
bermacam hak bagi manusia.[4]
Selanjutnya, demokrasi berkembang dan tumbuh subur hingga dewasa
ini. Akan tetapi, demokrasi modern pada sekarang ini merupakan sifat hakiki
dari demokrasi tidak langsung yang dilakukan melalui asas perwakilan. Asas
perwakilan ini kemudian mendasari lahirnya lembaga legislatif.[5]
B.
Keterkaitan
Demokrasi dengan Islam
Memperbincangkan hubungan islam dan
demokrasi pada dasarnya sangat aksiomatis. Sebab, islam merupakan agama
dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalat
manusia. Sedangkan demokrasi hanyalah sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme
kerja antar anggota masyarakat serta simbol yang diyakini membawa banyak
nilai-nilai positif. Polemik hubungan islam dan demokrasi ini berakar pada
sebuah ketegangan teologis antara rasa keharusan maemahami doktrin yang
telah mapan oleh sejarah-sejarah dinasti muslim dengan tuntutan untuk
memberikan pemahaman baru pada doktrin tersebut sebagai respon atas fenomena
sosial yang terus berubah.[6]
Hubungan islam dan demokrasi
merupakan hubungan yang sangat kompleks. Sebab, dunia islam tidak hidup dalam
keseragaman ideologi sehingga terdapat satu spektrum panjang terkait antara
hubungan islam dan demokrasi ini. Dalam kaitan ini, Khalid Abu al-Fadl
mengatakan bahwa meskipun Al- Qur’an tidak secara spesifik dan ekplisit
menunjukkan preferensi terhadap satu bentuk pemerintahan tertentu, tetapi
dengan gamblang memaparkan seperangkat nilai sosial dan politik penting dalam
suatu pemerintahan untuk muslimin. Diantaranya adalah tiga nilai penting
berikut: keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu,
membangun suatu pemerintahan yang konsultatif yang tidak otokratis,
melembagakan kasih sayang dalam interaksi sosial.[7]
Masykuri Abdillah juga melihat di
dalam Al- Qur’an tidak dapat ditemukan konsep negara karena konsep negara
adalah buah pemikiran yang muncul belakangan. Bahkan kata dawlah Islamiyah
sendiri adalah kata baru yang muncul di abad ke-20. Istilah dawlah baru
dipakai sejak masa Dinasti Mu’awiyah dan Abbasiyah, yang dipakai dalam arti
dinasti. Meskipun demikian, ia juga melihat bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat
prinsip-prinsip hidup berkemasyarakatan diantaranya kejujuran dan tanggung
jawab (al-amanah); keadilan (al-adalah); persaudaraan (al-ukhuwah);
menghargai kemajemukan dan pluralisme (al-ta’adduddiyah); persamaan (al-musawah);
permusywaratan (al-syura); mendahulukan perdamaian (al-silm); dan
kontrol (amr bi al-maruf nahy an munkar). Secara prisinpil hal ini
sejalan dengan doktrin politik dan konsep demokrasi.[8]
Dalam konteks ini, John L Espito
James P piscatori, sebagaimana yang dikutip Riza Sihbudi, menyatakan bahwa
islam pada kenyataannya memberikan kemungkinan pada bermacam interpretasi,
islam dapat digunakan untuk mendukung demokrasi maupun kediktatoran,
republikalisme maupun monarki. Lebih lanjut, Esposito dan piscatori, mengidentifikasi
tiga hubungan islam dan demokrasi. Pertama, islam menjadi sifat dasar demokrasi
karena syura’, ijtihad dan ijma’ merupakan konsep yang sama dengan demokrasi.
Kedua, menolak bahwa islam berhubungan dengan demokrasi. Menurut pandangan ini,
kedaulatan rakyat tidak dapat berdiri di atas kedaulatan Tuhan, dan juga tidak
dapat disamakan antara muslim dan non-muslim dan antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini bertentangan dengan konsep equality demokrasi.
Ketiga, sebagaimana pandangan pertama bahwa islam merupakan dasar demokrasi,
meskipun kedaulatan rakyat tidak dapat bertemu dengan kedaulatan Tuhan, perlu
diketahui bahwa kedaulatan rakyat merupakan subordinasi hukum Tuhan. Terma ini
dikenalm dengan theodemocracy yang diperkenalkan oleh al-Maududi.[9]
Senada dengan yang disampaikan oleh
Esposito Piscatori di atas, Ubaedillah Abdul Rozak, menegaskan secara garis
besar wacana islam demokrasi terdapat tiga kelompok pemikiran. Pertama,
menyatakan bahwa islam dan demokrasi adalah dua sistem yang berbeda. Kedua,
islam berbeda dengan demokrasi. Ketiga islam adalah sistem nilai yang
membenarkan serta mendukung demokrasi.[10]
C.
Pelaksanaan
Demokrasi di Indonesia
Dalam sejarah ketatanegaraan negara
Republik Indonesia yang telah lebih dari setengah abad, perkembangan demokrasi
mengalami pasang surut. Masalah pokok yang di hadapi bangsa Indonesia adalah
bagaimana meningkatkan kehidupan ekonomi dan membangun kehidupan sosial politik
yang demokrtis dalam masyarakat yang plural.[11]
Fluktualisasi demokrasi di Indonesia pada hakikatnya dapat di bagi
dalam lima periode[12]:
1.
Periode
1945-1949 dengan sistem demokrasi pancasila
Pada periode ini sistem pemerintahan
Demokrasi Pancasila seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 belum sepenuhnya
dapat dilaksanakan karena negara dalam keadaan darurat dalam rangaka
mempertahankan kemerdekaan. Misalnya, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
yang semula berfungsi sebagai pembantu presiden menjadi berubah fungsi sebagai
MPR. Sistem kabinet yang seharusnya presidensial dalam pelaksanaannya menjadi
sistem parlementer seperti yang berlaku dalam Demokrasi Liberal.
2.
Periode
1949-1959 dengan sistem Demokrasi Parlementer
Periode ini sangat menonjolkan peran
parlemen dan partai politik. Pada periode ini berlaku Konstitusi RIS
(1949-1950) dan UUDS 1950 (17 Agustus-5 Juli 1959). Pada masa ini pula,
Indonesia di bagi dalam beberapa negara bagian. Pemerintahan dijalankan oleh
Perdana Menteri dan Presiden hanya sebagai lambang. Selanjutnya, RIS ditolak
oleh rakyat Indonesia, sehingga pada tanggal 17 Agustus 1950, Presiden Soekarno
menyatakan kembali kepada Negara Kesatuan dengan menggunakan UUD sementara
1950. Kabinet pada sistem demokrasi parlementer ini selalu silih berganti,
akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar. Masing-masing partai lebih memperhatikan
kepentingan partai atau golongannya. Setelah berjalan hampir 9 tahun, maka
rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Parlementer
tidak cocok dijalankan di negara ini. Akhirnya presiden menganggap bahwa
keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa,
serta merintangi pembangunan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur,
sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarnio mengumumkan Dekrit
pembubaran Konstituante berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS
1950.
3.
Periode 1959
1965 dengan sistem Demokrasi Terpimpin
Sistem demokrasi terpimpin merupakan
sistem demokrasi yang menyimpang dari konstitusional. Periode ini juga sering
disebut dengan periode lama. Presiden Soekarno menjabat sebagai “Pemimpin Besar
Revolusi”. Dengan demikian pemusatan kekuasaan ada pada tangan Presiden.
Terjadinya pemerintahan yang berpusat pada tangan Presiden menimbulkan
penyimpangan dan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang puncaknya
terjadi perebutan kekuasaan oleh PKI pada tanggal 30 September 1965 (G30S/PKI)
yang merupakan bencana nasional bagi bangsa Indonesia.
4.
Periode
1965-1998 dengan sistem Demokrasi Pancasila (Orde Baru)
Demokrasi Pancasila Orde Baru yang
merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial.
Periode ini dikenal dengan pemerintahan Orde Baru yang bertekad menjalankan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Secara tegas dilaksanakan
fungsi Pancasila dan dikembalikan fungsi lembaga tertinggi dan tinggi Negara
sesuai dengan amanat UUD 1945. Dalam pelaksanaannya, sebagai akibat dari
kekuasaan dan masa jabatan presiden yang tidak di batasi periodenya, maka
kekuasaan menumpuk pada presiden, sehingga terjadilah penyalahgunaan kekuasaan.
Akibatnya adalah tumbuh suburnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Kebasan berbicara dibatasi, praktik demokrasi menjadi semu, dan Pancasila hanya
dijadikan alat legitimasi politik. Lembaga negara berfungsi sebagai alat
kekuasaan pemerintah. Oleh karena itu, lahirlah gerakan reformasi yang
dipelopori mahasiswa yang menuntut reformasi dalam berbagai bidang. Puncaknya
adalah dengan pernyataan pengunduran diri Soeharto sebagai presiden.
5.
Periode
1998-sekarang dengan sistem Demokrasi Pancasila (Orde Reformasi)
Demokrasi Pncasila pada era
Reformasi berakar pada kekuatan multi partai yang berupaya mengembalikan
perimbangan kekuatan antar lembaga negara. Demokrasi yang dikembangkan pada era
reformasi ini adalah demokrasi dengan mendasarkan kepada Pancasila dan UUD
1945, dengan penyempurnaan pelaksanaanya dan perbaikan peraturan-peraturan yang
dianggap tidak demokratis, meningkatkan peran lembaga-lembaga tinggi negara
dengan menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang mengacu pada prinsip
pemisahan kekuasaan, dan tata hubungan yang jelas antara lembaga-lembaga
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Demokrasi pada masa ini telah dimulai
dengan terbentuknya DPR-MPR hasil pemilu yang tekah memilih presiden dan wakil
presidan serta terbentuknya lembaga-lembaga tertinggi yang lain. Dalam
perkembangannya, pemerintahan fokus pada pembagian kekuasaan antara presiden
dan parpol dalam DPR, sehingga rakyat terabaikan.
Berdasarkan dapat kita simpulkan,
bahwa pada hakikatnya Indonesia menganut sistem demokrasi pancasil, walaupun
pernah menerapkan sistem demokrasi yang lain. sistem demokrasi pancasila
menganut sistem musyawarah dan mufakat dalam mengatasi segala macam persoalan.
Sistem demokrasi parlementer dan demokrasi terpemimpinterbukti tidak cocok
diterapkan di Indonesia. Walaupun sistem demokrasi pancasila yang
diimplementasikan masih terjadi juga penyimpangan, akan tetapi penyimpangan
tersebut bukan berasal dari sistemnya, namun berasal dari manajemen yang
melaksanakannya. Jika seandainya demokrasi pancasila dilaksanakan secara murni
dan konsekuen, Indonesia akan menjadi negara besar, bukan hanya dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi semata, akan tetapi juga dilihat dari karakter
yang dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia.[13]
Penerapan sistem demokrasi pancasila
di Indonesia di sesuaikan dengan nilai-nilai sosial budaya bangsa Indonesia.
Nilai-nilai bangsa Indonesia yang banyak itu di sederhanakan dengan mengambil
yang universalnya. Inilah yang disebut dengan nilai-nilai pancasila. Menurut
Sihombing (1984: 9) untuk mendapatkan pengertian demokrasi pancasila secara
lengkap dan utuh dilakukan dengan 2 alat pengukur yang saling melengkapi, yaitu[14]:
a.
Alat pengukur
yang konsepsionil, dan
b.
Alat pengukur
tingkah laku (kebudayaan).
Dari alat pengukur pertama dapat
diambil pengertian, bahwa demokrasi pancasila adalah kedaulatan rakyat yang
dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila pancasila. Artinya dalam
menggunakan hak-hak demokrasi haruslah selalu disertai dengan rasa tanggung
jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjungjung tinggi nilai kemanusiaan, mampu
mempersatukan bangsa serta dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Pengertian semacam ini lebih bersifat formalistuk dan
diatur dalam UUD 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.[15]
Sementara alat pengukur kedua
bersifat kebudayaan, yaitu berupa tingkah laku yang bersumber dari kebudayaan
bangsa Indonesia. Pengertian demokrasi melalui alat pengukur kedua ini
melengkapi pengertian alat pengukur pertama, karena memberikan struktur
informal terhadap demokrasi pancasila. Kearifan dan kebijaksanaan dalam tingkah
laku merupakan ke khasan dalam demokrasi pancasila.[16]
[1] Ibid. 84-85.
[2] Ibid. 85.
[3] Ibid. 85-88.
[4] Ibid. 88.
[5] Ibid.
[6] Haryanto
Al-Fandi, Desain Pembelajaran yang Demokratis dan Humanis (Jogjakarta:
Ar-ruzz Media, 2011), hlm. 49-50.
[7]Ibid. 50.
[8]Ibid. 50-51.
[9]Ibid. 51.
[10] Ibid. 52.
[11] Juliardi, Pendidikan
Kewarganegaraan, hlm. 96.
[12] Ibid. 96-98.
[13] Ibid. 98-99.
[14] Ibid. 99.
[15] Ibid.
[16] Ibid. 99.