Sejarah Demokrasi di Indonesia dan Keterkaitan Demokrasi dengan Islam

DEMOKRASI II

A.  Sejarah Demokrasi di Indonesia
Demokrasi lahir melalui proses yang sangat panjang. Demokrasi pada hakikatnya lahir karena dilatarbelakangi oleh beberapa hal sebagai berikut[1]:
1.      Penindasan dan eksploitasi terhadap rakyat, terutama eksploitasi tenaga dan pikiran rakyat, sehingga rakyat hanya punya kewajiban tanpa hak. Sebaliknya penguasa atau pemerintah tampak seolah-olah hanya punya hak tanpa kewajiban.
2.      Kondisi kehidupan seperti yang tercantum pada poin pertama akan selalu mengakibatkan konflik dengan korban yang lebih banyak di pihak rakyat.
3.      Kesejahteraan yang bertumpu pada para penguasa, sedangkan rakyat dibiarkan hidup melarat tanpa jaminan masa depan.
Kondisi di atas menempatkan rakyat sebagai objek penindasan oleh penguasa. Lama kelamaan rakyat yang tertekan ingin adanya perubahan sehingga mengadakan pemberontakan untuk menggulingkan kekejaman dari penguasa. Setelah itu, rakyat menciptakan suatu bentuk pemerintahan yang langsung diawasi oleh rakyat. Inilah cikal bakal pemerintahan demokrasi yang kemudian berkembang hingga saat ini.[2]
Jika diurutkan secara lebih rinci, pertumbuhan dan perkembangan demokrasi dapat diurutkan sebagai berikut[3]:
1.    Demokrasi masa Yunani Kuno
Konsep demokrasi lahir di Yunani kuno dan dipraktikkan dalam hidup bernegara antara abad IV sebelum Masehi hingga abad VI Masehi. Demokrasi yang dipraktikkan pada saat itu adalah demokrasi langsung, artinya hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan oleh seluruh rakyat atau warga negara (yang berjumlah kurang lebih 300.000 orang). Demokrasi dapat dilaksanakan pada waktu itu karena alasan:
a)      Berlangsung dengan kondisi yang sederhana.
b)      Wilayahnya terbatas.
c)      Jumlah penduduknya sedikit.
2.    Demokrasi pada Abad Pertengahan
Gagasan demokrasi Yunani Kuno boleh dikatakan berakhir ketika bangsa Romawi dikalahkan oleh suku Eropa Barat dan Benua Eropa pada Abad Pertengahan (abad VI Masehi sampai abad XII Masehi yang disebut dengan Abad Kegelapan), yang dicirikan dengan:
a)      Struktur masyarakatnya yang feodal.
b)      Kehidupan spiritual dikuasai oleh Paus dan pejabat agama.
c)      Kehidupan politik ditandai oleh perebutan kekuasaan diantara para bangsawan. Dengan demikian, kehidupan sosial, politik dan agam ditentukan oleh elit-elit masyarakat (kaum bangsawan dan agamawan).
Selama abad pertengahan, perbedaan pendapat diantara kalangan gereja dan ilmuan sering menimbulkan pertentangan yang tak terselesaikan. Misalnya, ketika pihak greja berpegang pada pendapat, bahwa dunialah yang dikitari matahari (geocentrism) dengan berbagai alasan yang didasarkan pada keimanan Nicholaus Copernicus (1473-1543), seorang astronom dari Polandia, melalui observasi empirik dan perhitungan matematik yang cermat sampai pada kesimpulan yang menyatakan, bahwa matahari merupakan pusat yang dikitari oleh benda-benda angkasa lainnya (heleocentrism). Sementara gereja berpegang pada geosentrisme sebagai ajaran resmi, maka heleosentrisme dianggap merupakan penyimpangan dan penganutnya bisa dikenai hukuman ekskomunikasi. Seorang pendeta Dominikan yang menganut pandangan Copernicus, Gioroano Bruno (1548-1600), dijatuhi hukuman bakar pada tiang pancang. Nasib yang sama dialami oleh filsuf Italia, Lucilio Vanini (1585-1619).
3.  Perkembangan Demokrasi di Prancis
Di Prancis, perkembangan demokrasi dimulai pada awal abad XII Masehi dengan bermunculan pusat-pusat belajar yang bisa dianggap sebagai cikal bakal perguruan tinggi. Mereka ini kemudian membentuk sebuah penghimpunan yang disebut universitas magistrorum et schofarum.penghimpunan ini sangat penting artinya dalam sejarah pendidikan tinggi karena berhasil mendapat pengukuhan statusnya yang otonom berdasarkan dekrit pimpinan tertinggi gereja.
4.  Perkembangan Demokrasi Melalui Magna Charta tahun 1215 di Inggris
Selanjutnya, tonggaak baru kemunculan demokrasi ditandai dengan kelahiran HAM melalui Magna Charta pada abad XII Masehi di Inggris. Magna Charta merupakan piagam yang berisi perjanjian antara beberapa bangsawan dan Raja Jhon di Inggris yang intinya menyatakan, bahwa raja mengakui dan menjamin beberapa hak. Hal ini terjadi akibat kecaman terhadap monarkhi dan gereja yang pada masa itu masih sangat dominan. Dari sini timbul gagasan membatasi kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak politik rakyat sehingga kekuasaan pemerintah diimbangi kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum (sistem konstitusional).
5.  Demokrasi pada Masa Renaissance
Renaissance merupakan gerakan menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno yang merupakan gelombang-gelombang kebudayaan dan pemikiran yang dimulai di Italia pada abad XIII Masehi dan mencapai puncaknya pada abad XVI Masehi. Masa Renaissance adalah masa dimana orang mematahkan ikatan dan menggantinya dengan kebebasan bertindak yang sesuai dengan yang dipikirkan (kebebasan berpikir dan bertindak).
6.  Reformasi Gereja
Reformasi gereja merupakan gerakan revolusi agama yang terjadi di Eropa pada abad XVI Masehi yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan dalam gereja Katolik yang hasilnya adalah Protestanisme (ajaran dari Martin Luther yang hidup pada tahun 1483-1546). Reformasi dimulai pada pintu gereja Wittenberg (31 Oktober 1517), yang kemudian segera memancing terjadinya serangan terhadap gereja. Martin Luther memiliki keyakinan bahwa gereja telah keliru dalam beberapa kebenaran sentral dari ke-Kristenan yang diajarkan dalam Kitab Suci. Salah satunya adalah doktrin tentang pembenaran oleh iman semata. Martin Luther mulai mengajarkan, bahwa keselamatan sepenuhnya adalah pemberian dari anugerah Allah melalui Kristus yang diterima oleh iman. Intinya, seruan Martin Luther kepada gereja agar kembali kepada ajaran-ajaran Alkitab telah melahirkan tradisi baru dalam agama kristen. Gerakan pembaruannya juga mengakibatkan perubahan radikal di lingkungan gereja katolik roma dalam bentuk reformasi katolik. Ajaran Martin Luther disambut dimana-mana dan menyulut api pemberontakan di jerman dan sekitarnya.sengketa dengan gereja berjalan lama dan menyulut perang besar selama kurang lebih sepuluh tahun (1618-1648), dan berakhir dengan terjadinya perjanjian Wespalia.
Perjanjian Wespalia ini ditandatangani di Westphalen, Jerman. Perjanjian tersebut dapat dikatakan telah mensahkan suatu sistem negara bangsa karena telah mengakui bahwa gereja dan kerajaan-kerajaan tidak dapat lagi memaksakan kehendaknya kepada negara-negara bagiannya atau wilayahnya. Bahkan dalam perjanjian ini, pimpinan tertinggi gereja – Paus – dibatasi kekuasaannya.
Perjanjian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah hukum Internasional modern. Sebabnya adalah:
a)      Mengakhiri perang panjang di Eropa yang melibatkan kaum Katolik dan Protestan yang dimulai pada tahun 1618 hingga tahun 1648.
b)      Hubungan antara negara-negara di dunia di lepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing.
c)      Kemerdekaan negara Nederland (Belanda), Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui dalam perjanjian Westphalia.
Dua kejadian terakhir (renaissance dan reformasi gereja) mempersiapkan Eropa masuk pada Aufkalrung(abad pemikiran) dan rasionalisme yang mendorong mereka untuk memerdekakan pikiran dari batas-batas yang ditentukan gereja untuk mendasarkan pada pemikiran atau akal (rasio) yang selanjutnya melahirkan bermacam hak bagi manusia.[4]
Selanjutnya, demokrasi berkembang dan tumbuh subur hingga dewasa ini. Akan tetapi, demokrasi modern pada sekarang ini merupakan sifat hakiki dari demokrasi tidak langsung yang dilakukan melalui asas perwakilan. Asas perwakilan ini kemudian mendasari lahirnya lembaga legislatif.[5]

B.  Keterkaitan Demokrasi dengan Islam
Memperbincangkan hubungan islam dan demokrasi pada dasarnya sangat aksiomatis. Sebab, islam merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalat manusia. Sedangkan demokrasi hanyalah sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja antar anggota masyarakat serta simbol yang diyakini membawa banyak nilai-nilai positif. Polemik hubungan islam dan demokrasi ini berakar pada sebuah ketegangan teologis antara rasa keharusan maemahami doktrin yang telah mapan oleh sejarah-sejarah dinasti muslim dengan tuntutan untuk memberikan pemahaman baru pada doktrin tersebut sebagai respon atas fenomena sosial yang terus berubah.[6]
Hubungan islam dan demokrasi merupakan hubungan yang sangat kompleks. Sebab, dunia islam tidak hidup dalam keseragaman ideologi sehingga terdapat satu spektrum panjang terkait antara hubungan islam dan demokrasi ini. Dalam kaitan ini, Khalid Abu al-Fadl mengatakan bahwa meskipun Al- Qur’an tidak secara spesifik dan ekplisit menunjukkan preferensi terhadap satu bentuk pemerintahan tertentu, tetapi dengan gamblang memaparkan seperangkat nilai sosial dan politik penting dalam suatu pemerintahan untuk muslimin. Diantaranya adalah tiga nilai penting berikut: keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu, membangun suatu pemerintahan yang konsultatif yang tidak otokratis, melembagakan kasih sayang dalam interaksi sosial.[7]
Masykuri Abdillah juga melihat di dalam Al- Qur’an tidak dapat ditemukan konsep negara karena konsep negara adalah buah pemikiran yang muncul belakangan. Bahkan kata dawlah Islamiyah sendiri adalah kata baru yang muncul di abad ke-20. Istilah dawlah baru dipakai sejak masa Dinasti Mu’awiyah dan Abbasiyah, yang dipakai dalam arti dinasti. Meskipun demikian, ia juga melihat bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat prinsip-prinsip hidup berkemasyarakatan diantaranya kejujuran dan tanggung jawab (al-amanah); keadilan (al-adalah); persaudaraan (al-ukhuwah); menghargai kemajemukan dan pluralisme (al-ta’adduddiyah); persamaan (al-musawah); permusywaratan (al-syura); mendahulukan perdamaian (al-silm); dan kontrol (amr bi al-maruf nahy an munkar). Secara prisinpil hal ini sejalan dengan doktrin politik dan konsep demokrasi.[8]
Dalam konteks ini, John L Espito James P piscatori, sebagaimana yang dikutip Riza Sihbudi, menyatakan bahwa islam pada kenyataannya memberikan kemungkinan pada bermacam interpretasi, islam dapat digunakan untuk mendukung demokrasi maupun kediktatoran, republikalisme maupun monarki. Lebih lanjut, Esposito dan piscatori, mengidentifikasi tiga hubungan islam dan demokrasi. Pertama, islam menjadi sifat dasar demokrasi karena syura’, ijtihad dan ijma’ merupakan konsep yang sama dengan demokrasi. Kedua, menolak bahwa islam berhubungan dengan demokrasi. Menurut pandangan ini, kedaulatan rakyat tidak dapat berdiri di atas kedaulatan Tuhan, dan juga tidak dapat disamakan antara muslim dan non-muslim dan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini bertentangan dengan konsep equality demokrasi. Ketiga, sebagaimana pandangan pertama bahwa islam merupakan dasar demokrasi, meskipun kedaulatan rakyat tidak dapat bertemu dengan kedaulatan Tuhan, perlu diketahui bahwa kedaulatan rakyat merupakan subordinasi hukum Tuhan. Terma ini dikenalm dengan theodemocracy yang diperkenalkan oleh al-Maududi.[9]

Senada dengan yang disampaikan oleh Esposito Piscatori di atas, Ubaedillah Abdul Rozak, menegaskan secara garis besar wacana islam demokrasi terdapat tiga kelompok pemikiran. Pertama, menyatakan bahwa islam dan demokrasi adalah dua sistem yang berbeda. Kedua, islam berbeda dengan demokrasi. Ketiga islam adalah sistem nilai yang membenarkan serta mendukung demokrasi.[10]

C.  Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia
Dalam sejarah ketatanegaraan negara Republik Indonesia yang telah lebih dari setengah abad, perkembangan demokrasi mengalami pasang surut. Masalah pokok yang di hadapi bangsa Indonesia adalah bagaimana meningkatkan kehidupan ekonomi dan membangun kehidupan sosial politik yang demokrtis dalam masyarakat yang plural.[11]
Fluktualisasi demokrasi di Indonesia pada hakikatnya dapat di bagi dalam lima periode[12]:
1.      Periode 1945-1949 dengan sistem demokrasi pancasila
Pada periode ini sistem pemerintahan Demokrasi Pancasila seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 belum sepenuhnya dapat dilaksanakan karena negara dalam keadaan darurat dalam rangaka mempertahankan kemerdekaan. Misalnya, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang semula berfungsi sebagai pembantu presiden menjadi berubah fungsi sebagai MPR. Sistem kabinet yang seharusnya presidensial dalam pelaksanaannya menjadi sistem parlementer seperti yang berlaku dalam Demokrasi Liberal.
2.      Periode 1949-1959 dengan sistem Demokrasi Parlementer
Periode ini sangat menonjolkan peran parlemen dan partai politik. Pada periode ini berlaku Konstitusi RIS (1949-1950) dan UUDS 1950 (17 Agustus-5 Juli 1959). Pada masa ini pula, Indonesia di bagi dalam beberapa negara bagian. Pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri dan Presiden hanya sebagai lambang. Selanjutnya, RIS ditolak oleh rakyat Indonesia, sehingga pada tanggal 17 Agustus 1950, Presiden Soekarno menyatakan kembali kepada Negara Kesatuan dengan menggunakan UUD sementara 1950. Kabinet pada sistem demokrasi parlementer ini selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar. Masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Setelah berjalan hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Parlementer tidak cocok dijalankan di negara ini. Akhirnya presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta merintangi pembangunan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarnio mengumumkan Dekrit pembubaran Konstituante berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950.
3.      Periode 1959 1965 dengan sistem Demokrasi Terpimpin
Sistem demokrasi terpimpin merupakan sistem demokrasi yang menyimpang dari konstitusional. Periode ini juga sering disebut dengan periode lama. Presiden Soekarno menjabat sebagai “Pemimpin Besar Revolusi”. Dengan demikian pemusatan kekuasaan ada pada tangan Presiden. Terjadinya pemerintahan yang berpusat pada tangan Presiden menimbulkan penyimpangan dan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang puncaknya terjadi perebutan kekuasaan oleh PKI pada tanggal 30 September 1965 (G30S/PKI) yang merupakan bencana nasional bagi bangsa Indonesia.
4.      Periode 1965-1998 dengan sistem Demokrasi Pancasila (Orde Baru)
Demokrasi Pancasila Orde Baru yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial. Periode ini dikenal dengan pemerintahan Orde Baru yang bertekad menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Secara tegas dilaksanakan fungsi Pancasila dan dikembalikan fungsi lembaga tertinggi dan tinggi Negara sesuai dengan amanat UUD 1945. Dalam pelaksanaannya, sebagai akibat dari kekuasaan dan masa jabatan presiden yang tidak di batasi periodenya, maka kekuasaan menumpuk pada presiden, sehingga terjadilah penyalahgunaan kekuasaan. Akibatnya adalah tumbuh suburnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kebasan berbicara dibatasi, praktik demokrasi menjadi semu, dan Pancasila hanya dijadikan alat legitimasi politik. Lembaga negara berfungsi sebagai alat kekuasaan pemerintah. Oleh karena itu, lahirlah gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa yang menuntut reformasi dalam berbagai bidang. Puncaknya adalah dengan pernyataan pengunduran diri Soeharto sebagai presiden.
5.      Periode 1998-sekarang dengan sistem Demokrasi Pancasila (Orde Reformasi)
Demokrasi Pncasila pada era Reformasi berakar pada kekuatan multi partai yang berupaya mengembalikan perimbangan kekuatan antar lembaga negara. Demokrasi yang dikembangkan pada era reformasi ini adalah demokrasi dengan mendasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945, dengan penyempurnaan pelaksanaanya dan perbaikan peraturan-peraturan yang dianggap tidak demokratis, meningkatkan peran lembaga-lembaga tinggi negara dengan menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan, dan tata hubungan yang jelas antara lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Demokrasi pada masa ini telah dimulai dengan terbentuknya DPR-MPR hasil pemilu yang tekah memilih presiden dan wakil presidan serta terbentuknya lembaga-lembaga tertinggi yang lain. Dalam perkembangannya, pemerintahan fokus pada pembagian kekuasaan antara presiden dan parpol dalam DPR, sehingga rakyat terabaikan.
Berdasarkan dapat kita simpulkan, bahwa pada hakikatnya Indonesia menganut sistem demokrasi pancasil, walaupun pernah menerapkan sistem demokrasi yang lain. sistem demokrasi pancasila menganut sistem musyawarah dan mufakat dalam mengatasi segala macam persoalan. Sistem demokrasi parlementer dan demokrasi terpemimpinterbukti tidak cocok diterapkan di Indonesia. Walaupun sistem demokrasi pancasila yang diimplementasikan masih terjadi juga penyimpangan, akan tetapi penyimpangan tersebut bukan berasal dari sistemnya, namun berasal dari manajemen yang melaksanakannya. Jika seandainya demokrasi pancasila dilaksanakan secara murni dan konsekuen, Indonesia akan menjadi negara besar, bukan hanya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi semata, akan tetapi juga dilihat dari karakter yang dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia.[13]
Penerapan sistem demokrasi pancasila di Indonesia di sesuaikan dengan nilai-nilai sosial budaya bangsa Indonesia. Nilai-nilai bangsa Indonesia yang banyak itu di sederhanakan dengan mengambil yang universalnya. Inilah yang disebut dengan nilai-nilai pancasila. Menurut Sihombing (1984: 9) untuk mendapatkan pengertian demokrasi pancasila secara lengkap dan utuh dilakukan dengan 2 alat pengukur yang saling melengkapi, yaitu[14]:
a.       Alat pengukur yang konsepsionil, dan
b.      Alat pengukur tingkah laku (kebudayaan).
Dari alat pengukur pertama dapat diambil pengertian, bahwa demokrasi pancasila adalah kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila pancasila. Artinya dalam menggunakan hak-hak demokrasi haruslah selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjungjung tinggi nilai kemanusiaan, mampu mempersatukan bangsa serta dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengertian semacam ini lebih bersifat formalistuk dan diatur dalam UUD 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.[15]
Sementara alat pengukur kedua bersifat kebudayaan, yaitu berupa tingkah laku yang bersumber dari kebudayaan bangsa Indonesia. Pengertian demokrasi melalui alat pengukur kedua ini melengkapi pengertian alat pengukur pertama, karena memberikan struktur informal terhadap demokrasi pancasila. Kearifan dan kebijaksanaan dalam tingkah laku merupakan ke khasan dalam demokrasi pancasila.[16]



[1] Ibid. 84-85.
[2] Ibid. 85.
[3] Ibid. 85-88.
[4] Ibid. 88.
[5] Ibid.
[6] Haryanto Al-Fandi, Desain Pembelajaran yang Demokratis dan Humanis (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2011), hlm. 49-50.
[7]Ibid. 50.
[8]Ibid. 50-51.
[9]Ibid. 51.
[10] Ibid. 52.
[11] Juliardi, Pendidikan Kewarganegaraan, hlm. 96.
[12] Ibid. 96-98.
[13] Ibid. 98-99.
[14] Ibid. 99.
[15] Ibid.
[16] Ibid. 99.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel