Filsafat Ibnu Maskawaih Artikel
Desember 31, 2016
A.
PENDAHULUAN
Dalam tradisi pemikiran filsafat islam,
etika merupakan salah satu aspek yang paling dominan. Betapa tidak, sejak
masuknya gelombang Hellinisme (wave of
Hellenism) dalam dunia pemikiran islam, etika telah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari filsafat. Tokoh-tokoh filsafat di masa itu adalah juga dikenal
sebagai tokoh-tokoh penggagas etika, seperti pada aliran stoic (al-ruwwaqiyyah), Pythagoras, gelenus,
Pluto, socrates, dan Aristotle sendiri, bahkan tokoh-tokoh filsafat
neo-platonisme, seperti plotinus dan porphirus adalah sumber-sumber penting
etika dalam islam. Di samping itu, persoalan etika sebenarnya menyangkut cara
berpikir (mode of thought) yang
berlaku dalam tradisi yanghidup (living
tradition) yangmencakup beberapa factor yang saling terkait, yangnota bene
adalah persoalan filsafat, dan bukan berbagai aturan yang menentukan berbagai
sikap masyarakat yang menyangkut baik buruk.
Di antara para tokoh etika islam adalah
filosof ibn miskawayh, yang dalam dunia filsafat islam dikenal sebagai guru
ketiga (al-mu’allim al-tsalits)
setelah aristoteles dan al-farabi dianggap sebagai salah seorang tokoh filosof
yang menggagas filsafat etika, semangat dan perhatiannya yang begitu intens
terhadap bidang ini, dimulai ketika ibn miskawayh menjabat sebagai pejabat pada
pemerintahan ‘Adlud al-Dawlah (tahun
367-372 H.) dimasa kekuasaan bani buwaih (dawlat
bani buwaih). Kajian ini tidak mengeksplorasi semua pemikiran filsafat
etika ibn miskawayh, melainkan hanya menelusuri pemikiran etika miskawayh dari perspektif
pendidikan. Untuk itu akan dikemukakan dalam konteks ini, setting historis pemikiran dan biografi ibn miskawayh bidang etika
terutama ditinjau dari sudut pandang pendidikan[1]
B. PEMBAHASAN
1. RIWAYAT
HIDUP IBNU MISKAWAIH
Nama
lengkapnya adalah ahmad ibnu Muhammad ibnu ya’qubibnu miskawaih. Ia lahir pada
tahun 320 H/932 M. di ray, dan meninggal di isfahanpada tanggal 9 shafar tahun
412H/16 februari 1030 M. ibnu miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti
buwaihi (320-450H./ 932-1062 M.) yang sebagian besar pemukannya bermazhab
syi’ah.
Perhatiannya
dalam menuntut ilmu sangat besar. Hal itu tercermin dari bidang ilmu
pengetahuan yang ditekuninya. Dalam bidang sejarah misalnya, ia belajar kepada
abu bakar ahman abn kamil al-Qadhi, filsafat dengan ibn al-Khammar, dan kimia
dengan Abu Thayyib.
Ibn
miskawayh mempunyai hubungan yang baik dengan orang-orang penting dan penguasa
di zamannya. Ia pernah mengabdi pada abu fadl al-Amid. Kedua tokoh yang disebut
terakhir adalah menteri pada masa dinsti buwaihi (945-1055 M). ia juga pernah
mengabdi pada adud al-Daulah, salah seorang penguasa buwaihi. Ibn miskawaih
mempunyai pengaruh besar di daerah rayy[2].
Dari
segi latar belakang pendidikannya tidak dijumpai data sejarah yang rinci. Namun
dijumpai keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari abu bakar ahmad ibnu
kamil al_Qadi; mempelajari filsafat dri ibnu al_akhmar, dn mempelajari kimia
dari abu thayyib.dalam bidang pekerjaan, tercatat, bahwa pekerjaan utama ibnu
miskawayh adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan dan pendidik anak para
pemuka dinasti buwaihi. Selain akrab dengan penguasa, ia juga banyak bergaul
dengan para ilmuan seperti abu Hayyan at-tauhidi, yahya ibn ;adi dan ibn sina. Selain
itu ibnu miskawayh juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemashurannya
melebihi pendahulunnya, at-thabari (w.310 H./923 M.) selanjutnya ia juga
dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian ibn miskawayh dalam
berbagai bidang ilmu tersebut antara lain dibuktikan dengan karya tulisnya
berupa buku dan artikel.[3]
Seperti
para ilmuwan lain yang hidup pada masa itu, ibnu miskawayh mempelajari sejarah
dan filsafat, terutama filsafat etika, sebagai alat mencari kebenaran. Dalam
setiap kajian filsafatnya, ia selalu mencari bagaimana cara membangun moral
yang sehat dan jiwa yang harmonis. Dikemudian hari, para pemikir muslim,
seperti Muhamed Arkoun, meyebut ibnu miskawayh sebagaiseorang muslim yang
humanis jika dilihat dri sudut pandang tradisi inteektual islam, bukan tradisi
intelektual muhanisme eropa.
Sebagai
ahli filsafat, ibnu miskawayh sangat terpengaruh oleh pemikiran neoplationisme.
Sehubungan dengan itu, ia telah menghasilkan sebuah karyamonumental berjudul
Tahdib al-Akhlak (pembinaan ahklak). Kitab yang terdiri dari tujuh bagianini
berisi sejumlah cara mencapai kebahagiaan tertinggi.[4]
2. PEMIKIRAN IBNU MISKAWAYH
Ibn
miskawayh merupakan pemikir yang produktif. Hal itu terlihat dari sejumlah
tulisannya, yang mencakup berbagai bidang. Adapun karya tulisnya adalah;
a)
Al-fawz
Al-Ashghar;
b)
Al-faiwz
Al-akbar;
c)
Tajarib
Al- Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar, ditulis tahun 979 M);
d)
Uns
Al=Farid (anekdot, syair, peribhasa dan kata=kata mutiara);
e)
Tartib
As-Sa’adah (akhlak dan politik)
f)
Al-Mushthafa
(syair-syair pilihan)
g)
Jawidan
Khirad (kumpulan ungkapan bijak)
h)
Al-Jami’,
As-Siyar (tentang aturan hidup), obat-obatan sederhana (kedoktern), komposisi
bajat (seni memasak);
i)
Kitab
Asyribah (minuman);
j)
Tahdib
Al-Akhlaq (etika);
k)
Risalah
fi Ladzdzat wa Al-‘Alam fi jawhar An-Nafs;
l)
Ajwibah
wa Asilah fi An-Nafs wa Al-Aql;
m)
Al-jawwab
fi Matsa’ilAts-Tsalat;
n)
Risalah
fi jawab fi su’ul’ibn Muhammad AbuHayyan Ash-Shufi fi Haqiqat;
o)
Al-Aql;
p)
Thaharat
An-Naft. (Anton Athoilah, 1998:115)
Jika dilihat karya-karyanya, ibn
miskawayh adalah seorang yang hampir memiliki kapasitas multidimensi dalam
penguasaan ilmu pada masannya. Filsaat, etika, sejarah, sastra, politik,
kedokteran, seni, dan lain-lain dikuasainya. Walaupun begitu, ia lebih terkenal
sebagai seorang filsuf etika, dengan kitabnya Tahdzib Al-Akhlaq, dari pada lainnya, sehingga sebelum
kemunculannya, filsafat islam hampir tanpa kajian secara khusus tentang akhlak[5].
Sejumlah peneliti tampaknya sepakat
bahwa pemikiran filsafatetika ibnu miskawayh adalah harmonisasi antarapemikiran
filsafat yunani dan pemikiranislam (termasuk didalamnya filsafat islam yang
juga dipenuhi oleh filsafat yunani) . konsep-konsep etika dariplato dan
ariestoteles yang diramu dengan ajaran dan hokum islam serta diperkaya dengan
pengalaman hidup pribadinya dan situasi zamannya adalah materi yang terdapat
dalam tahzib Al-Akhlak.
Pengaruh pemikiran ariestoteles pada ikhwan Ash-Shafa yang kemudian diadopsi
oleh ibnu miskawayh untuk kemudian dikembangkan labihlanjut menjadi teori kenabian.
Sebagai ariestoteles, ibn miskawayh menganggap kebahagiaan (sa’adah) sebgaipunck kenabian manusia.
Ibnu miskawayh mengidentifikasikan bahwa kebahagiaan adalah akhir dari
realisasi kekhalifahan Tuhan. Satu kedudukan yang manusia peroleh melalui evaluasi
kosmik dengan kebajikan dari sifatnya yang khas, yaitu rasionalitas.
Ibnu miskawayh memasukkan pembahasanjiwa
pada bagian psikologi. Ia membuktikan kepada kaum materialis bahwapada diri
manusia terdapat sesuatu yang boleh jadi berbeda dan bahkan bertentangan
bentuknya dalam waktu yang bersamaan. Akan tetapi, sesuatu itu tidak dapat
berupa materi karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu,
sesuatu itu adalah jiwa. Ia (dapat) mencerap hal-hal yang sederhana dan
kompleks, yang ada di hadapan atau yang tidak ada, yang dapat dirasakan atau
yang dipikirkan (pada saat yang sama)[6]
Pemikirannya tentang pendidikan lebih
berorientasi pada pentingnya pendidikan akhlak. Hal ini tercermin dari karya
momentalnya, Tahdzib al-Akhlak.
Melalui karyanya tersebut, ibn miskawayh telah berbicara tentang manusia.
Menurutnya manusia memiliki tiga rohaniah, yaitu daya nafsu (al-nafs al-bahimiyyah), daya berani (al-nafs al-siba’iyah), dan daya berfikir (al-nafs al-nathiqah). Ketiga daya ini merupakan unsure utama
manusia yang asal kejadiannya berbeda.
Selain itu, ibn miskawayh juga berbicara
tentang ahklak yang bersandar pada teori jalan tengah dengan prinsip
keseimbangan , moderat, harmoni, utama, mulia atau posisi tengah antara dua
ekstrim. Dengan teori jalan tengah ini, ibn miskawayh berpendapat, bahwa posisi
tengah al-nafs al-bahimiyyah adalah ‘iffah, yaitu sikap menahan diri dari
nafsu yang tidak baik. Posisi tengah al-nafs
al-siba;iyyah adalah al-syaja’iyah
atau perwira, yaitu kebenaran yang diperhitungkan dengan matang untung
ruginnya. Posisi tengah al-nafs al-
nathiqah adalah al-hikmah, yaitu
kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah
keadilan atau keseimbangan. Melalui teori jalan tengan juga, ibn miskawayh
menyimpulkan tentang adannya empat keutamaan akhlak, yaitu ‘iffah, al-syaja’iyah, al-hikmah, dan al-‘adalah.
Berdasarkan pandangannya tentang manusia
ini, ibn miskawaih merumuskan tujuan pendidikan, materi pendidikan, pendidik
dan anak didik, lingkungan pendidikan dan metodologi pendidikan. Menurutya,
tujuan pendidikan akhlak adalah terwujudnya sikap dan batin yang mampu
mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik.
Sedangkan materi pendidikan akhlak menurutnya mencakup hal-hal yang wajib bagi
jiwa, hal-hal yang wajib bagi hubungan dengan sesama manusia. Berkaitan dengan
lingan, ibn miskawahberpendapat bahwa manusia memerlukan kondisi yang baik dari
luar dirinya sendiri.
Sementara itu, yang berkaitan dengan
metodologi pendidikan, ibn miskawaih berpendapat bahwa masalah perbaikan akhlak
bukanlah merupakan bawaan atau warisan, karena jikademikian keadaannya, maka
pendidikan tidak diperlukan. Ia berpendirian bahwa akhlak seseorang dapat
diusahakan atau menerima akhlak seseorang dapat diusahakan atau menerima
perubahan yang diusahakan. Jika demikian halnya, maka usaha-usaha untuk
mengubahnya diperlukan adannya cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal
dengan istilah metodologi[7].
1. Pengertian
akhlak
Kata akhlak adalah bentuk jamak (plural)
dari kata khuluq maskawayh memberikan pengertian khuluq sebagai barikut.
“khuluq adalah : peri
keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan- perbuatan tanpa
dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya”.
Dengan kata lain, khuluq adalah : peri
keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan. Peri
keadaan jiwa itu dapat merupakan fitrah sejak kecil, dan dapat pula merupakan
hasil latihan membiasakan diri[8]sedangkan
secara terminologi, akhlak adalah kondisi jiwa manusia yang mendorongnya untuk
melakukan perbuatan tanpa pikir dan ragu (secara spontan).
Dari pengertian khuluq yang dikemukakan
miskwayh di atas, dapat dipahami, bahwa manusia betapapu watak dan karakternya
dapat berubah dari yang tidak baik menjadi baik, dan begitu seterusnya. Maka,
manusia pada dasarnya cenderung dapat berprilaku yang bermacam-macam, baik
secara cepat maupun lamba. Hal ini dapat disaksikan pada perubahan yang dialami
anak pada masa pertumbuhannya, yang senantiasa berubah dari satu keadaan ke
keadaan yang lainnya, sesuai dengan lingkungan yang mengintarinnya berikut
pendidikan yang diperolehnya, baik darikeluarga maupun dari lingkungan sosial
masyarakatnya[9].
2. Tujuan
pendidikan akhlak.
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan
ibn miskawayh adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara
spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga mencapai
kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna. Dengan alas an
ini, maka Ahmad Abd al-hamid as- sya’ir dan Muhammad yusuf musa menggolongkan
ibn miskawayh sebagai filosof yang bermazhab as-sa’adat di balik akhlak.
Al-sa’adat memang merupakan persoalan utama dan mendasar bagi hidup manusia dan
sekaligus bagi pendidikan akhlak. Makna al-sa’adat sebagaimana dinyatakan
M.Abdul Hak Ansari tidak mungkin dapat dicari padanan katannya dalam bahasa
inggris walaupun secara umum diartikan sebagai happiness. Menurutnya as-sa’adat
merupakan konsep komprehensif yang di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity), keberhasilan (succes), kesempurnaan (perfection), kesenangan (blessedness), dan kecantikan (beautitude)[10]
3. Materi
pendidikan akhlak.
Untuk
mencapai tujuan yang telah dirumuskan, ibnu miskawayh menyebutkan beberapa hal
yang perlu dipeljari, diajarkan atau dipraktekkan. Sesuai dengan konsepnya
tentang manusia, secara umum ibn miskawayh menghendaki agar semua sisi
kemanusiaa mendapatkan materi didikan yang member jalan bagi tercapainya tujuan
pendidikan. Materi-materi dimaksudkan oeh ibn misnawayh diabadikan pula sebagai
bentuk pengabdian kepada Allah SWT.
Selain
dengan uraian tersebut diatas, ibn miskawayh menyebutkan tiga hal pokok yang dapat
dipahami sebagai materi pendidikan ahklaknya. Tiga hal pokok tersebut adalah
a) Hal-hal
yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia.
b) Hal-hal
yang wajib bagi jiwa,
c) Hal-hal
yang wajib bagi hubungannya dengan sesame manusia.
Ketiga pokok materi tersebut menurut ibn
miskawayh dapat diperoleh dariilmu-ilmu yang secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadidua. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran
yang selanjutnya disebut al-ulum
al-fikriyah, dan kedua ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indera yang selanjutnya
disebut aal-ulum al-bissiyat. Berbeda dengan Al-Ghaazali, ibn miskawayh
tidak membeda-bedakan antara materi yang terdapat dalam ilmu agama dan materi
yang terdapat dalam ilmu non=-agama serta hokum mempelajarinnya.[11]
4.
Pendidikan
Ahklak Pada Anak-anak
Maskawayh juga menaruh perhatian
besarterhadap pendidikan akhlak pada anak-anak. Ia mengatakan bahwa kejiwaan
anak-anak adalah mata rantai antara jiwa binatang dan jiwa manusia berakal.
Pada jiwa anak-anak berakhirlah ufuk binatang dan malailah ufuk manusia. Jiwa
anak-anak berkembang dari tingkat sederhana kepada tingkat yang lebih tinggi,
semula tanpa ukuran, kemudian berkembanglah padanya kekuatan perasaan nikmat
dan sakit, kemudian timbulpula kekuatan yang lebih kuat, yaitu kekuatan
syahwat, yang sering disebut dengan nafsu kebinatangan (bahimiyah) dalam perkembangan berikutnya timbul pula kekuatan sabu’iyah atau ghadhabiyah, akhirnya dalam perkembangan berikutnya lahir pula
kekuatan berpikir, atau jiwa cerdas, yang ditandai dengan timbulnya rasa malu
pada anak-anak.pada tahapan ini, anak-anak dapat merasakan mana yang baik dan
mana yang buruk. Pada saat inilah paling tepat pendidikan leutamaan mulai
ditanamkan pada anak-anak .
Kehidupan utama pada anak-anak
memerlukan dua syarat, syarat kejiwaan dan syarat sosial. Syarat pertama
tersimpul dalam menumbuhkan watak cinta pada kebaikan, yang dapt dilakukan
dengan mudah pada anak-anak yangberbakat baik, dan dapat dilatih dengan
membiasakan diri pada anak-anak yang tidak berbakat untuk cenderung kepada kebaikan.
Syarat kedua dapat dicapai dengan cara memilihkan teman-teman yang baik,
menjauhkan dari pergaulan dengan teman-temannya yang berperangai buruk. Amat
berfaedah menjauhkan anak-anak dari lingkungan keluargannya sehari-hari pada
saat-saat tertentu dan memasukkan mereka kelingkungan lain yang lebih kondusif
dalam menumbuh kembangkan rasa percaya diri pada dirinya[12]
Ada beberapa pedoman pendidikan akhlak
yang harus diberikan kepada anak, misalnya:
a) Seorang
anak harus dididik memiliki kehidupan sederhana;
b) Seorang
anak harus tumbuh di antara orang-orang bijak;
c) Pendidikan
anak harus dimulai dengan memberikan perhatian terhadap aturan ketika makan;
dan
d) Seorang
laki-laki harusdibiasakan tidak banyak tidur dan diberikan fasilitas yang
terlalu mewah dan jangan diajarkan untuk mencintai emas[13].
Agar pendidikan mampu mengantarkan
peserta didik pada tujuan pendidikan dimaksudkan, maka materi pendidikan yang
ditawarkan harus mampu menyentuh hal-hal yang wajib bagi tumbuhnya potensi jasmani
dan rohani peserta didik, serta persoalan-persoalan kemanusiaan. Ketiga bentik
materi itu bias diperoleh melalui dua bentuk ilmu pengetahuan, yaitu pertama,
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran (rasional). Kedua, ilmu-ilmu
yangberkaitan dengan panca indra. Melalui perpaduan kedua bentuk ilmu tersebut,
peserta didik akan mampu menganalisisberbagai fonomena dan gejala sosialseecara
baik. Akan tetapi, agar penganalisisan tersebut berubuah padatumbuhnyaakhlak karimah, maka harus senantiasa
mengacu pada nilai-nilai syariat sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur’an
dan al-hadist.
Dengan mengacu padapola ini, maka
peserta didik (manusia) akan mampu berteguh keimanannyadan berbuat sesuai
dengan nilai-nilai yang diridhoi oleh Allah. Kepribadian yang demikian akan
tercermindalam peserta didik dengan bentuk akhlak
karimah dan al-sa’adat (kebahagiaan yang sempurn). Untuk memperoleh
kepribadian yang demikian, maka ibn miskawayh mengajurkan agar peserta didik
senantiasa mempelajari buku yang membicarakan tenytang keutamaan akhlak, agar
ia termotivasi untuk hidup mulia dn beradab[14].
C.
PENUTUP
Ibn miskawayh merupakan pemikir yang produktif. Hal
itu terlihat dari sejumlah tulisannya, yang mencakup berbagai bidang. Jika
dilihat karya-karyanya, ibn miskawayh adalah seorang yang hampIr memiliki kapasitas
multidimensi dalam penguasaan ilmu pada masannya. Filsaat, etika, sejarah,
sastra, politik, kedokteran, seni, dan lain-lain dikuasainya. Walaupun begitu,
ia lebih terkenal sebagai seorang filsuf etika, dengan kitabnya Tahdzib Al-Akhlaq, dari pada lainnya,
sehingga sebelum kemunculannya, filsafat islam hampir tanpa kajian secara
khusus tentang akhlak
“khuluq adalah : peri keadaan jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan-
perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya”.
Dengan
kata lain, khuluq adalah : peri keadaan jiwa yang mendorong timbulnya
perbuatan-perbuatan secara spontan. Peri keadaan jiwa itu dapat merupakan
fitrah sejak kecil, dan dapat pula merupakan hasil latihan membiasakan diri
D.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata
Abuddin, pemikiran para tokoh pendidikan
islam seri kajian filsafat pendidikan islam, (Jakarta, Grafindo
Persada,2003).
Murtiningsih
Wahyu, biografi para ilmuan muslim,
(Yogyakarta, insane madani, 2009).
Basri
Hasan, filsafat pendidikan islam,
(Bandung: PUSTAKA SETIA, 2009)
Tim
Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, pendidikan islam,(Malang, Malang Press, 2009)
Siswanto,
filsafat dan pemikiran pendidikan islam, (Surabaya, pena salsabila,2015)
Mustofa,
filsafat islam, (Bandung, PUSTAKA
SETIA, 2009
[1] Tim dosen fakultas tarbiyah UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang, pendidikan
islam,(Malang, Malang Press, 2009)hlm,137.
[2] Siswanto, filsafat dan pemikiran pendidikan islam, (Surabaya, pena
salsabila,2015)hlm,115
[3] Abuddin Nata, pemikiran para tokoh pendidikan islam seri
kajian filsafat pendidikan islam, (Jakarta, Grafindo Persada,2003) hlm; 5
[4] Wahyu murtiningsih, biografi para ilmuan muslim,
(Yogyakarta, insane madani, 2009) hlm; 179
[5] Hasan Basri, filsafat pendidikan islam, (Bandung:
PUSTAKA SETIA, 2009)hlm,230
[6]Ibid,
hasan basri, hlm.231
[7]
Ibid, Siswanto, hlm,116
[8] Mustofa, filsafat islam, (Bandung, PUSTAKA SETIA, 2009)hlm,177.
[9] Tim
Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, hlm,145.
[10]
Ibid, Abuddin, hlm;12
[11]
Ibid, hlm;13
[12]
Ibid, musthofa, hlm.181
[13] Ibid, Siswanto,hlm,118.
[14]
Ibid, siswanto, hlm.119