Hadits Dari Sisi Kuantitasnya (Terminologi Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad - Argumentasi Kehujjahan Hadits Ahad)
November 26, 2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ditinjau dari segi jumlah perawi yang meriwayatkan maka
hadits terbagi dalam dua bagian, yaitu ;
1. Hadits Mutawatir.
2. Hadits Ahad.
1. Hadits Mutawatir.
2. Hadits Ahad.
Disini akan dibahas tentang kedua bagian hadits tersebut,
untuk lebih mudahnya pemahaman tentang keduanya, maka terlebih dahulu akan
dijelaskan secara singkat dua istilah dalam ulum al-hadits, yaitu tentang
istilah perawi dan sanad.
• Perawi adalah orang orang yang meriwayatkan hadits, mulai dari perawi pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.
• Sanad adalah rangkaian mata rantai perawi yang meriwatkan hadits.
• Perawi adalah orang orang yang meriwayatkan hadits, mulai dari perawi pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.
• Sanad adalah rangkaian mata rantai perawi yang meriwatkan hadits.
Hadits sebagai sumber hukum Islam
yang kedua setelah Al-Qur’an, yang berupa aqwal, af’al dan taqrir nabi
Muhammad SAW. Diriwayatkan pertama kali melalui penuturan para shahabat yang
mendengar atau menyaksikan secara langsung peristiwa yang dilakukan nabi,
kepada para shahabat yang tidak menyaksikan langsung dari nabi, atau kepada
para tabi’in. Para sahabat yang mendengar atau menyaksikan langsung peristiwa
yang dilakukan nabi, disebut perawi pertama, dari perawi pertama ini hadits
nabi tersebar melalui perawi kedua, ketiga dan seterusnya. Rangkaian mata
rantai perawi, dari perawi pertama, kedua, ketiga dan seterusnya disebut sanad.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa klasifikasi hadits mutawatir
yang di bagi para ulama ?
2. Ada berapa klasifikasi hadits ahad ?
sebutkan !
C.
Tujuan masalah
1. Untuk
mengetahui klasifikasi
hadits mutawatir yang di bagi para ulama
2. Untuk mengetahui klasifikasi hadits
ahad
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Terminologi
Hadits Mutawatir dan hadits ahad
1.
Hadits
Mutawatir
Secara
etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam
terminologi ilmu hadits, ia merupakan hadits yang diriwayatkan oleh orang
banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat
untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak
thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Adapun hadis mutawatir menurut istilah
ulama hadis, yang artinya adalah ; “khabar
yang didasarkan pada panca indra yang di kabarkan oleh sejumlah orang yang
mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk mengkabarkan berita itu dengan
dusta”
Mutawatir, menurut bahasa adalah isim fa’il musytaq dari At-tawatur artinya At-tatabu’
(berturut-turut).
·
Syarat-syarat
Hadits Mutawatir
Syarat hadits mutawatir ini adalah :
1. Pewartaan
yang di sampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca
indra, yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil
pendengaran atau penglihatan sendiri.
2. Jumlah
rawinya harus mencapai kuantitas tertentu sehingga tidak mungkin mereka sepakat
untuk berdusta. Dengan demikian, jumlahnya adalah relative, tidak ada batas
tertentu. Menurut Abu Ath-Thayib, jumlah perawinya empat orang, Ashhab
Asy-syafi’I menyatakan lima orang, dan ulama lain menyatakan mencapai dua puluh
atau empat puluh orang.
3. Adanya
keseimbangan jumlah antara para rawi dalam thabaqah
pertama dengan jumlah rawi dalam thabaqah
berikutnya.
·
Klasifikasi Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi tiga, yaitu mutawatir lafdzi, mutawatir maknawi, dan
mutawatir amali.
Ø Hadits Mutawatir Lafzhi
Hadits
mutawatir lafzhi adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang
susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dan lainnya,
yakni Contoh hadits mutawatir lafzhi
adalah, yang Artinya : “barang siapa yang
sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat
duduknya di neraka” (H.R. Bukhari).
Menurut Abu
Bakar Al-Bazzar, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Sebagian
ulama mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan
lafazh dan makna yang sama. Hadis tersebut terdapat pada sepuluh kitab hadis,
yaitu Al-Bukhari, Muslim, Ad-Darimi, Abu
Dawud, Ibnu Majah, At-Tirmidzi, At-Thayasili,
Abu Hanifah, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim.
Ø Hadits Mutawatir Ma’nawi
Hadits
Mutawatir Ma’nawi adalah hadis yang lafazh dan maknanya
berlainan antara satu riwayat dan riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaian
makna secara umum (kulli). Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis, “Hadis yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna
umum”.
Contoh
hadis Mutawatir Ma’nawi, yang artinya
; “Nabi SAW. Tidak mengangkat kedua tangannya
dalam doa-doa beliau, kecuali dalam
sholat istiqa, dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua
ketiaknya”. (H.R. Bukhari).
Hadis-hadis
yang semakna dengan hadis tersebut banyak sekali lebih dari 100 hadis.
Ø Hadits Mutawatir Amali
Hadis
Mutawatir Amali adalah, “Sesuatu
yang diketahui dengan mudah bahwa ia
dari agama dan telah mutawatir dikalangan umat islam bahwa Nabi SAW.
mengerjakannya atau menyuruhnya atau selain dari itu. Dari hal itu dapat
dikatakan soal yang telah di sepakati”.
Contoh hadis mutawatir amali adalah berita-berita
yang menerangkan waktu dan rakaat shalat, shalat janazah, shalat ied, hijab
perempuan yang bukan mahram, kadar
zakat, dan segala rupa amal yang telah menjadi kesepakatan.
·
Kitab-kitab
Tentang Hadits-hadits Mutawatir
Sebagian
ulama telah mengumpulkan hadis-hadis mutawatir dalam sebuah kitab tersendiri.
Di antara kitab-kitab tersebut adalah :
1.
Al-Azhar
Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya
As-Suyuthi, berurutan berdasarkan bab.
2.
Qathf
Al-Azhar, karya As-Suyuthi , ringkasan dari kitab di atas.
3.
Al-La’ali
Al-Mutanatsirah fi Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abu
Adillah Muhammad bin thulun Ad-Dimasyqi.
4.
Nazhm
Al-Mutanatsirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya
Muhammad bin Ja’far Al-Kattani.
2.
Hadis
Ahad
Hadis Ahad adalah
hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir , tidak memenuhi syarat mutawatir , dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir. Kata ahad sendiri
merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu”
jadi, kata ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan.
Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yang diriwayatkan oleh orang
perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk
dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah
hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu
hadis berikut ;
“hadis
yang tidak sampai jumlah rawinya kepada jumlah hadis mutawatir, baik rawinya
itu seorang, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya dari bilangan-bilangan yang
tidak memberi pengertian bahwa hadis itu dengan bilangan tersebut masuk kedalam
hadis mutawatir”.
·
Klasifikasi
Hadis Ahad
Jumlah rawi dari
masing-masing thabaqah , mungkin satu
orang, dua orang atau malah lebih banyak , namun tidak sampai pada tingkat mutawatir.
Berdasarkan jumlah dari thabaqah masing-masing rawi tersebut,
hadis ahad ini dapat di bagi dalam tiga macam, yaitu masyhur, aziz, dan gharib.
Ø Hadis Masyhur
a.
Pengertian Hadis Masyhur
Menurut
bahasa, masyhur adalah muntasyir,
yaitu sesuatu yang yang sudah tersebar , sudah popular. Adapun menurut
istilah, hadis masyhur adalah;
“hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih-pada setiap thabaqah-tidak mencapai derajat mutawatir”.
“hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih-pada setiap thabaqah-tidak mencapai derajat mutawatir”.
b.
Klasifikasi Hadis masyhur
Istilah
‘masyhur’ yang diterapkan
pada suatu hadis kadang-kadang bukan
untuk memberikan sifat-sifat hadis menurut ketetapan di atas, yakni banyaknya rawi yang meriwayatkan suatu
hadis, tetapi di terapkan juga untuk memberikan sifat suatu hadis yang
mempunyai ketenaran di kalangan para ahli ilmu tertentu atau kalangan
masyarakat ramai. Dari segi ini, hadis masyhur
terbagi kepada :
1)
Masyhur
dikalangan para muhaditsin dan lainnya (golongan ulama
ahli ilmu dan orang umum), seperti hadis berikut ;
“seorang muslim adalah orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya”.
“seorang muslim adalah orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya”.
2)
Masyhur
dikalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya hanya masyhur dikalangan ahli
hadis saja, ahli fiqh saja, ahli tasawuf saja, dan sebagainya.
Contoh hadis
yang termasyur dikalangan ulama fiqh adalah ;
“Tidaklah sah shalat bagi orang yang berdekatan dengan masjid, selain
shalat di dalam masjid”.
3)
Masyhur
dikalangan
masyarakat umum, seperti hadis berikut ;
“Bagi si peminta-minta ada hak, walaupun datang dengan kuda”
(H.R Ahmad dan An-Nasa’i)
(H.R Ahmad dan An-Nasa’i)
c.
Kitab-kitab yang berisi tentang kumpulan
hadis masyhur, antara lain Al-Maqasid Al-Hasanah fi ma
isytahara ala Al-Alsinah, karya As-Sakhawi, kasyf
Al-Khafa’ wa Muzill Al-Ilbas fi
Ma Isytahara min Al-Hadits ‘ala
Alsinah An-Nas min Al-Hadits, karya ibnu Daiba’
As-Syaibani.
Ø Hadis Aziz
Aziz
menurut bahasa adalah Asy-Safief (yang
mulia) An-Nadir (yang sedikit
wujudnya), Ash-Shab’bul ladzi yakadu la
yuqwa alaih (yang sukar diperoleh), dan Al-Qawiyu
(yang kuat).
Adapun
menurut istilah adalah sebagai berikut; “Hadis
yang diriwayatkan oleh dua orang , walaupun dua orang rawi tersebut terdapat
pada satu thabaqah saja, kemudian orang-orang
meriwayatkannya”.
Ø Hadis Gharib
a.
Pengertian Hadis Gharib
Gharib
menurut
bahasa adalah (1) ba’idun ‘anil wathani (yang
jauh dari tanah), dan (2) kalimat yang sukar dipahamai. Adapun menurut istilah;
“Hadis gharib adalah hadis yang
diriwayatkan oleh seorang rawi”.
Dalam
pengertian lain hadis gharib adalah; “Hadis
yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana
saja penyendiriannya itu terjadi”.
b.
Klasifikasi hadis gharib
1.
Gharib
Muthlaq
Gharib
muthlaq adalah hadis yang rawinya menyendiri dalam
meriwayatkan hadis itu. penyendiri rawi hadis gharib muthlaq itu berpangkal pada
tempat ashlus sanad, yakni tabiin
bukan sahabat.
2.
Gharib
Nisby
Gharib
Nisby adalah apabila penyendirian itu mengenai
sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi. Penyendirian rawi mengenai
sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi mempunyai beberapa
kemungkinan, antara lain :
·
Sifat keadilan dan ke-dhabit-an (ke-tsiqat-an) rawi.
·
Kota atau tempat tinggal tertentu.
·
Meriwayatkannya dari orang tertentu.
c.
Cara untuk menetapkan ke-gharib-an hadis.
Untuk menetapkan
suatu hadis itu gharib, hendaklah
periksa dulu pada kitab-kitab hadis, seperti kitab fami’ dan kitab Musnad, apakah hadis tersebut mempunyai
sanad lain yang menjadi mutabi’ dan
atau matan lain yang menjadi syahid.
Adapun menurut
istilah, ilmu hadis mutabi’ adalah ; “Hadis
yang mengikuti periwayatan rawi lain dari gurunya (yang terdekat), atau gurunya
guru (yang terdekat itu)”.
v Mutabi’ ada dua macam, yaitu sebagai berikut ;
1. Mutabi’ tam, yaitu
bila periwayatan mutabi’ itu
mengikuti periwayatan guru (mutaba’)
dari yang terdekat sampai guru yang terjauh.
2. Mutabi’ qashir ,
yaitu bila periwayatan mutabi’ itu
mengikuti periwayatan guru (mutaba’)
yang terdekat saja, tidak sampai mengikuti gurunya guru yang jauh sekali.
Adapun syahid
adalah ; “Meriwayatkan sebuah hadis lain
sesuai dengan maknanya.”
v Hadis syahid ada dua macam, yaitu:
a.
Syahid
bi Al-Lafzhi, yaitu bila matan hadis yang
diriwayatkan oleh sahabat yang lain sesuai redaksi dan maknanya dengan hadis fard-nya.
b.
Syahid
bi Al-Ma’na, yaitu bila matan hadis yang diriwayatkan
oleh sahabat lain itu, hanya sesuai dengan maknanya.
B.
Argumentasi
Kehujjahan Hadis Ahad
Para ahli hadis berbeda pendapat tentang
kedudukan hadis ahad. Pendapat tersebut antara lain :
1.
Segolongan ulama, seperti Al-Qasayani ,
sebagian ulama Dhahiriyah dan Ibnu Dawud, mengatakan bahwa kita tidak wajib
beramal dengan hadis ahad.
2.
Jumhur ulama ushul menetapkan bahwa hadis ahad
wajib diamalkan sesudah diakui
kesahihannya.
3.
Sebagian ulama menetapkan bahwa hadis ahad diamalkan dalam segala bidang.
4.
Sebagian muhaqqiqin menetapkan bahwa hadis ahad hanya wajib diamalkan dalam urusan amaliyah (furu’), ibadah, kaffarat, dan hudud,
namun tidak digunakan dalam urusan aqa’id
(akidah).
5.
Imam syafi’I berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapuskan suatu hukum dari
hukum-hukum Al-Quran.
6.
Ahlu
Zhahir (pengikut
Daud Ibnu Ali Al-Zhahiri) tidak membolehkan men-takhshis-kan umum ayat-ayat Al-Quran dengan hadis ahad.
Hadits Ahad menurut para ahli hadits
dan mayoritas ulama muslimin, wajib diamalkan apabila memenuhi syarat
keshahihan dan diterimanya hadits itu.
Namun, Ada golongan atau orang yang berkeyakinan bahwa Hadits Ahad bukan hujjah (argumentasi) dalam hal 'aqidah. Karena menurut mereka, Hadits Ahad itu bukan sumber yang pasti, Dan menganggap tidak dapat memberikan khobar pasti yang bersifat keilmuan dan yaqin. Keyakinan seperti ini merupakan pendapat yang sangat salah dan bathil.
Namun, Ada golongan atau orang yang berkeyakinan bahwa Hadits Ahad bukan hujjah (argumentasi) dalam hal 'aqidah. Karena menurut mereka, Hadits Ahad itu bukan sumber yang pasti, Dan menganggap tidak dapat memberikan khobar pasti yang bersifat keilmuan dan yaqin. Keyakinan seperti ini merupakan pendapat yang sangat salah dan bathil.
Berikut
ini penjelasan tentang berahujjah atau berargumentasi dengan Hadits Ahad. Dalam
hal ini, terdapat 3 pendapat;
1.
Hadits Ahad dapat memberikan informasi atau kabar yang pasti
bersifat ilmu dan yaqin secara mutlak.
Pendapat
tersebut jelas-jelas tidak benar dan tidak masuk akal. Sebab bagaimana mungkin
kita bisa membayangkan ada orang berakal yang membenarkan semua berita yang
didengarnya. Padahal kita tahu, bahwa ada sekelompok manusia yang dikenal hobi
berbohong, dan suka lalaii dalam meriwayatkan hadits.
2.
Hadits Ahad tidak dapat memberikan informasi yang pasti atau tidak
bersifat ilmu dan yaqin secara total.
3.
Hadits Ahad memberikan informasi yang pasti (bersifat ilmu dan
yaqin) secara bersyarat.
Inilah pendapat yang
benar. Yang dimaksud di sini adalah Khabar (berita) yang dipertegas
dengan dalil-dalil penguat. Dalil penguat itu bisa
jadi terkait dengan khabar itu sendiri, bisa juga terkait dengan pembawa
berita dan bisa jadi terkait dengan kedua-duanya yakni khabar dan
pembawa khabar.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pembagian
hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu
hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi
menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan
hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur,
sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi, aziz .
B.
Saran
Bahwa didalam mempelajari studi hadits
hendaklah benar-benar mengetahui pembagian hadits itu sendiri, supaya timbul ke
inginan kita dalam menyampaikan hadits, dan untuk bisa membedakan keshahihan
suatu hadits harus mengetahui pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita
termasuk golongan orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.
DAFTAR
PUSTAKA
1997. membahas ilmu –ilmu hadits. Jakarta :
Pustaka Firdaus.
Wijaya, utang ranu.
1998. Ilmu hadits. Jakarta : Gaya
Media Pratama.
Yaqub, Ali Mustafa.
2004. Kritik Hadits. Jakarta :
Pustaka Firdaus.